PR KPU Usai Hasyim Asy'ari Dipecat, Lebih Melek Perspektif Gender Nasional 6 Juli 2024

PR KPU Usai Hasyim Asyari Dipecat, Lebih Melek Perspektif Gender
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemecatan
Hasyim Asy’ari
dari kursi Ketua
KPU
RI oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) beberapa hari lalu masih menyisakan ekses.
Kasus Hasyim dianggap hanya puncak gunung es dari tantangan besar yang perlu dibenahi oleh lembaga penyelenggara pemilu tersebut, yakni pencegahan kekerasan seksual di internal kelembagaan.
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona menyarankan pembentukan satuan tugas (satgas) untuk menindaklanjuti kekerasan seksual di lembaga penyelenggara pemilu.
“Dalam hal ini (kerentanan) bisa jadi tidak saja bagi perempuan yang menjadi komisioner, tetapi juga perempuan yang menjadi staf KPU dan Bawaslu di pusat dan daerah. Jangan-jangan yang dihadapi oleh ketua KPU adalah fenomena gunung es,” kata Yance kepada
Kompas.com
, Jumat (5/7/2024).
Menurut Yance, lembaga penyelenggara pemilu juga perlu menginternalisasi nilai-nilai anti kekerasan seksual dalam seluruh aspek penyelenggaraan pemilu, mulai dari staf di lapangan sampai dengan edukasi kepada pemilih.
Dalam pandangannya, hal tersebut dapat dikerjasamakan dengan Komnas Perempuan atau Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Ini seperti yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu. Badan penyelengara pemilu itu sudah bekerja sama dengan Komnas Perempuan dalam bentuk nota kesepahaman/memorandum of understanding (MoU) terkait pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan di lingkungan kerja Bawaslu.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengapresiasi penandatanganan MoU ini karena tindakan kekerasan seksual di tempat kerja paling sering dilaporkan ke Komnas Perempuan, dengan mengeksploitasi relasi kuasa atasan-bawahan.
“Yang sering dilaporkan ke Komnas Perempuan ada empat hal. Pertama, pelecehan seksual, kedua, eksploitasi seksual, ketiga pemaksaan seksual, dan keempat kekerasan seksual berbasis elektronik,” kata Andy dikutip dalam keterangan Bawaslu, Rabu (12/6/2024).
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengeklaim, komitmen tak akan berhenti pada MoU, tetapi juga melalui rencana aksi yang dapat disosialisasikan ditingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
“MoU diharapkan dapat mencegah atau menghentikan kekerasan khususnya terhadap perempuan, misalnya tidak lagi menggunakan kata-kata yang bias gender, juga menyerang gender tertentu,” tegas Bagja usai membubuhi tanda tangan naskah MoU.
Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) mengungkapkan, pada periode 2017-2022, terjadi 25 kasus kekerasan seksual yang ditangani DKPP melibatkan penyelenggara pemilu.
Pada 2022-2023, ada 4 kasus yang ditangani dalam setahun, sebelum meningkat tajam menjadi 54 perbuatan asusila dan pelecehan seksual yang dilaporkan ke DKPP.
“Berbagai kasus tersebut terdiri dari pelecehan, intimidasi, diskriminasi, narasi seksis terhadap calon perempuan, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual di ranah privat maupun publik,” kata perwakilan koalisi, Titi Anggraini, kepada
Kompas.com
, Jumat
 
.
Lalu, berdasarkan temuan dari Kalyanamitra, misalnya terdapat pemaksaan perkawinan dengan motif kepentingan pemilu juga ditemukan di Sulawesi Selatan.
Studi Kalyanamitra pada 24 Juni lalu menemukan, faktor dan akar kekerasan berbasis gender dalam Pemilu 2024 adalah adanya ideologi patriarki dan norma gender, stereotip gender, ketimpangan relasi kekuasaan, kurangnya kesadaran dan pendidikan, kurangnya regulasi dan perlindungan, serta impunitas.
“Hal tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemilu memang berpotensi menjadi ruang yang rawan bagi perempuan,” kata Titi.
Ketimpangan relasi ini membuat penyelenggaraan pemilu menjadi satu potensi tempat terjadinya kekerasan berbasis gender.
Pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia itu menyoroti pentingnya pencegahan kasus sejenis berulang.
“Dalam perspektif penyelenggara pemilu, sanksi etik berupa pemberhentian memang adalah upaya terberat untuk menghukum pelaku, namun dalam kacamata negara, terdapat sanksi pidana yang juga harus ditegakkan sebagai simbol bahwa kekerasan seksual adalah suatu kejahatan yang patut dihukum berat,” ujar Mike Verawati Tangka, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com.
Sistem kolektif kolegial di internal KPU, yang seharusnya sebagai basis kontrol antara sesama kolega penyelenggara pemilu untuk mencegah terjadinya pelanggaran atau perbuatan menyimpang, dinilai juga gagal berfungsi.
KPU di era kepemimpinan Hasyim juga dianggap abai memastikan keterwakilan perempuan untuk berpartisipasi dalam Pileg 2024.
Mereka merevisi ketentuan yang membuat banyak partai politik dapat tetap ikut serta dalam pileg di suatu daerah pemilihan (dapil), kendati jumlah caleg perempuan mereka kurang dari 30 persen sebagaimana diwajibkan UU Pemilu.
Hasyim cs dinyatakan melanggar administrasi oleh Bawaslu RI terkait hal itu. Secara individual, mereka juga disanksi peringatan keras oleh DKPP karena hal yang sama.
Ketentuan bermasalah itu juga dinyatakan melanggar UU Pemilu oleh Mahkamah Agung. Terakhir, Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengabulkan gugatan agar digelar pileg ulang di dapil Gorontalo VI karena pengabaian KPU soal jumlah caleg perempuan ini.

Pemecatan oleh DKPP kemungkinan bukan yang terakhir untuk Hasyim, sebab desakan-desakan yang memberatkan dirinya terus bermunculan.
Titi cs meminta Presiden RI Joko Widodo mempercepat penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) terkait pemecatan dan proses pergantian antar waktu (PAW) Hasyim.
Pasalnya, tahapan Pilkada Serentak 2024 semakin krusial, dan KPU RI masih menghadapi sejumlah kewajiban menggelar pemilu legislatif ulang karena kalah sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK berharap agar Hasyim juga segera diberhentikan dari jabatannya sebagai dosen PNS di Universitas Diponegoro.
Hasyim memang dikenal dan masih tercatat sebagai dosen ahli/pengajar hukum tata negara pada universitas yang bertempat di Semarang itu.
“Untuk mencegah terjadinya keberulangan yang dapat terjadi di kampus sebagai tempat yang rentan terhadap para mahasiswinya,” kata Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia, Khotimun Sutanti, kepada Kompas.com kemarin.
Lembaga yang fokus mengadvokasi isu-isu gender dan perempuan itu juga menegaskan bahwa diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk kejahatan seksual, harus juga segera dimasukkan secara eksplisit dalam Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
“Harus segera disusun safeguarding yang memuat sistem pencegahan dan penanganan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender dalam tata kelola lembaga penyelenggaraan pemilu, mulai dari KPU, KPUD, sistem kerja Bawaslu, hingga menjadi sistem dalam seluruh pengelolaan penyelenggaraan pemilu,” jelas Khotimun.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.