Media Singapura Sebut Budi Arie Menteri ‘Giveaway’, Ketua ProJo yang Dapat ‘Jatah’ dari Jokowi

PIKIRAN RAKYAT – Media Singapura, Channel News Asia (CNA) menjuluki Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi sebagai Menteri ‘Giveaway’. Julukan itu keluar, ketika mereka membahas mengenai kasus serangan ransomware terhadap Pusat Data Nasional (PDN) yang mempengaruhi 239 lembaga beberapa waktu lalu.

Apalagi setelah kejadian itu, Budi Arie Setiadi menghadapi seruan untuk mengundurkan diri. Sebuah petisi Change.org yang mendesak Menkominfo untuk mundur, telah mengumpulkan lebih dari 18.000 tanda tangan sejak diluncurkan pekan lalu oleh organisasi masyarakat sipil yang berbasis di Bali, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).

Petisi tersebut menyatakan bahwa Budi Arie Setiadi harus bertanggung jawab atas pelanggaran keamanan siber. Direktur eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum juga menuduh Menkominfo diberi jabatan, karena telah mendukung Presiden Jokowi ketika mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014 dan 2019.

“Jangan lanjutkan ‘hadiah’ seperti ini… (Peran) ini adalah posisi yang sangat strategis, terutama karena kita tidak dapat dipisahkan dari dunia digital,” ucapnya.

Menteri ‘Giveaway’

CNA kemudian membedah latar belakang Budi Arie Setiadi yang sebelumnya merupakan ketua Projo, kelompok relawan yang didirikan pada 2013 untuk mendukung pencalonan Jokowi sebagai Presiden.

“Menteri ‘giveaway’ Indonesia menghadapi tekanan yang meningkat untuk mengundurkan diri setelah serangan siber terburuk dalam beberapa tahun,” kata CNA dalam judul artikel yang dirilis pada Senin 1 Juli 2024.

Jokowi kemudian mengangkat Budi Arie Setiadi sebagai Wakil Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Wamendes PDTT) pada 2019. Dia kemudian mengangkat sang pendukung menjadi Menkominfo pada Juni 2023.

Budi Arie Setiadi lulus dari jurusan ilmu komunikasi di Universitas Indonesia (UI), dan melakukan studi pasca sarjana dalam manajemen pembangunan sosial. Namun, dia enggan mengomentari petisi tersebut.

“Tidak ada komentar tentang itu. Itu hak rakyat untuk berbicara,” ujarnya.

Petisi Dibuat Kubu yang Kalah Pilpres 2024?

Sementara itu, Projo mengatakan bahwa petisi itu bermotif politik. Itu dibuat oleh faksi-faksi yang menentang Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. Prabowo Subianto merupakan kandidat yang secara luas terlihat mendapat dukungan Jokowi dalam pemilihan Februari 2024, dan menang telak.

“Dari pemantauan yang dilakukan oleh tim, tokoh-tokoh (di balik petisi) adalah mereka yang menentang politik dalam konteks pemilihan presiden 2024,” tutur sekretaris jenderal Projo, Handoko.

Akan tetapi, Nenden Sekar Arum membantah motif politik di balik petisi tersebut.

“(Kinerja Budi) berdampak langsung pada publik. Masalah politik adalah sekunder karena ini untuk kepentingan publik,” katanya.

Serangan ransomware bulan lalu merupakan yang terburuk di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu telah mengakibatkan hilangnya data, gangguan akses publik terhadap data, dan perlambatan layanan online dari institusi yang terkena dampak.

Dampak Luas Serangan Siber PDN

Pihak berwenang Indonesia mengatakan, serangan itu dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yang dikembangkan oleh pakaian ransomware Rusia LockBit. Pusat data nasional yang terkena dampak menyimpan informasi penting termasuk data kependudukan seperti nama, alamat, nomor identitas pribadi, dan data keluarga.

Sistem itu juga menyimpan informasi spesifik sektor, seperti pada program kesehatan nasional dan kurikulum pendidikan.

Serangan itu juga mengganggu layanan imigrasi, termasuk yang terkait dengan visa, izin tinggal, dan aplikasi paspor online. Pada 21 Juni 2024, antrian panjang terbentuk di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta karena pemeriksaan paspor harus dilakukan secara manual setelah sistem otomatis turun.

Direktur jenderal imigrasi Indonesia, Silmy Karim mengatakan bahwa sistemnya telah pulih sepenuhnya. Namun, tidak semua data berhasil dipulihkan untuk beberapa agen imigrasi.

Pemerintah hanya mengumumkan bahwa serangan ransomware pada 24 Juni 2024 dan mengungkapkan luasnya dampak pada 27 Juni 2024, ketika Budi Arie Setiadi mengadakan rapat kerja dengan anggota DPR.

Pemerintah Indonesia telah menolak untuk membayar uang tebusan 8 juta dolar AS (Rp131 miliar) yang diminta oleh peretas untuk mengambil data terenkripsi. Serangan ransomware juga telah mengungkap kerentanan siber Indonesia.

Ketua badan keamanan siber dan sandi Indonesia (BSSN) mengatakan bahwa 98 persen data yang disimpan di pusat data yang disusupi belum dicadangkan.

“Secara umum kami melihat masalah utama adalah pemerintahan dan tidak ada cadangan,” ucapnya.

Akan tetapi, beberapa anggota parlemen membantah pernyataannya. Sementara Jokowi telah memerintahkan audit pusat data pemerintah.

“Jika tidak ada cadangan, itu bukan kurangnya tata kelola. Itu kebodohan!” Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Channel News Asia.***