Kriminolog: Judi Online Perilaku Tak Bertanggung Jawab yang Mengancam Kehidupan Sosial

Jakarta, Beritasatu.com – Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Haniva Hasna menyatakan bahwa judi online (judol) mampu merusak kehidupan sosial masyarakat. Haniva menekankan bahwa judi adalah penyakit karena memengaruhi pikiran dan perilaku.

“Hal ini akan menjadi semakin parah ketika perilaku ini berubah menjadi adiksi atau candu. Kecanduan judi, atau yang sering disebut sebagai problem gambling, merupakan salah satu dampak paling serius dari judi online,” katanya kepada Beritasatu.com beberapa waktu lalu.

Menurut Haniva, kecanduan ini berakibat pada gangguan psikologis seperti kecemasan, depresi, dan stres berat. Ketika seseorang terjebak dalam lingkaran perjudian, mereka sering kali gagal menghentikan kebiasaan ini meskipun telah menyadari konsekuensi negatifnya.

Selain itu, para penjudi online sering melakukan aktivitas perjudian di malam hari, yang mengakibatkan gangguan tidur dan berpotensi mengganggu kesehatan fisik dan mental serta mengurangi produktivitas sehari-hari.

“Aktivitas di depan layar dalam jangka waktu yang lama membuat penjudi online tidak memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain, bahkan orang terdekat seperti keluarga,” ujarnya.

Haniva menjelaskan bahwa kondisi menang, kalah, menang, kalah, kalah, kalah, kalah ini akan berpengaruh terhadap agresivitas pelaku judi online. Akibatnya, keluarga tidak bersimpati, menghindar bahkan menjauh karena merasa tidak nyaman dengan kemarahan atau emosi tidak stabil yang ditunjukkan.

Haniva menjelaskan bahwa pelaku judi online sebenarnya paham dengan alur kemenangan dan kekalahan dalam permainan ini. Namun, karena adiksi serta keyakinan adanya kemenangan di balik kekalahan inilah yang membuat pelaku judi online kesulitan mengendalikan diri. Akhirnya, mereka merelakan uang gaji yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan belanja, kesehatan, serta uang sekolah dengan keyakinan akan menang.

“Perilaku tidak bertanggung jawab inilah yang memicu pasangan dari pelaku judi online melakukan penuntutan atas biaya hidup, anak juga membutuhkan uang sekolah. Sementara pelaku judi online berkeyakinan bahwa judi adalah salah satu usaha,” urainya.

Kondisi tidak selaras antara kebutuhan, kekosongan finansial, ketidakpercayaan keluarga, serta kondisi pelaku judi online yang sedang mengalami gangguan mental inilah yang mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

KDRT, lanjut Haniva, bisa dilakukan oleh korban (anak, istri, orang tua) karena kekesalannya terhadap perilaku penjudi, atau bisa dilakukan pula oleh pelaku judi online itu sendiri terkait agresivitas akibat kekalahan demi kekalahannya.

“Dalam kasus yang lebih berat, perselisihan antara anggota keluarga akibat judol bisa berujung pada perceraian. Istri menggugat cerai akibat tidak lagi mendapat nafkah serta komunikasi yang tidak lagi sehat karena kebutuhan pokok tidak terpenuhi,” pungkas Haniva.