Kompleksnya Operasional Penerbangan Haji Nasional 5 Juli 2024

Kompleksnya Operasional Penerbangan Haji
Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional
KEGIATAN
ibadah
haji
yang dilaksanakan selama sekitar dua setengah bulan setiap tahun selalu menarik perhatian masyarakat. Apapun kejadian yang terjadi selama kegiatan tersebut selalu menjadi pemberitaan besar.
Termasuk dalam hal operasional penerbangan jamaah haji, seperti terkait kondisi pesawat, kondisi di bandara, keterlambatan keberangkatan-kedatangan pesawat dan lainnya.
Misalnya, banyaknya pemberitaan baru-baru ini terkait
delay
penerbangan dari maskapai yang melayani
penerbangan haji
, yaitu
Garuda Indonesia
dan Saudi Airlines.
Tentu masyarakat banyak yang bertanya-tanya, kenapa hal ini bisa terjadi? Bukankah penerbangan haji sudah dilakukan setiap tahun?
Apalagi untuk Saudi Airlines yang merupakan maskapai
flag carrier
Arab Saudi, kenapa bisa ikut terlambat sampai berjam-jam?
Seperti pada penerbangan Saudi Airlines SV-5310 yang membawa rombongan kepulangan jemaah kloter 1 Palembang pada 22 Juni 2024, mengalami
delay
parah hingga 14 jam.
Kemudian SV-5314 pada 24 Juni 2024, yang membawa jemaah kloter 6 Jakarta dan SV-5350 pada 25 Juni 2024, untuk mengantarkan kloter 4 Batam, masing-masing mengalami keterlambatan satu jam.
Semua kejadian itu menggambarkan bahwa operasional penerbangan haji memang sangat kompleks dibanding penerbangan regular.
Terkait penerbangan haji, pada dasarnya, prosesnya sama seperti operasional penerbangan pada umumnya, yaitu mengangkut orang dari satu bandara asal ke bandara tujuan.
Namun ada beberapa hal yang membuat penerbangan haji lebih kompleks dibanding penerbangan umum.
Pertama, penerbangan haji bersifat penerbangan nonreguler atau sewa untuk waktu tertentu. Berbeda dengan penerbangan reguler berjadwal, maka maskapai yang menerbangkan haji harus meminta persetujuan dulu kepada bandara awal dan tujuan serta meminta slot kepada pengelola slot penerbangan di bandara-bandara tersebut, baik di Indonesia maupun Arab Saudi.
Untuk penerbangan nonhaji, baik reguler (berjadwal) maupun nonreguler, permintaan persetujuan bandara dan slot ini lebih mudah karena memang di setiap bandara disediakan slot untuk penerbangan tersebut.
Namun untuk penerbangan haji lebih kompleks karena jumlah penerbangannya yang lebih banyak dan waktu operasionalnya sempit.
Gambarannya begini: jemaah haji dari Indonesia sebanyak 241.000 orang, dibagi dalam 554 kelompok dan diterbangkan dari 13 bandara embarkasi haji selama sekitar sebulan untuk fase keberangkatan dan sebulan untuk fase kepulangan.
Jadi kira-kira setiap bandara melayani sekitar dua penerbangan keberangkatan dan dua penerbangan kepulangan haji tiap hari dengan pesawat berbadan besar yang mampu mengangkut 300-400 penumpang.
Nah, itu baru dari Indonesia. Bagaimana dengan penerbangan dari bandara negara lain yang juga sama-sama mengangkut jemaah haji ke Arab Saudi?
Tahun 2024 ini, pemerintah Arab Saudi memperkirakan jumlah jemaah haji bisa mencapai 2 juta orang.
Jika yang naik pesawat 1,5 juta orang dan rata-rata pesawat yang dipakai bisa mengangkut 250 orang, berarti akan ada 6.000 penerbangan.
Pemerintah Arab Saudi mengoperasikan lima bandara untuk melayani haji, yaitu bandara di Jeddah, Madinah, Riyadh, Damman dan Yanbu.
Jadi, dalam sehari selama sebulan penerbangan haji, tiap bandara harus melayani tambahan 40 slot penerbangan. Padahal, masing-masing bandara juga harus melayani penerbangan reguler tiap harinya.
Jadi, bisa dibayangkan betapa sibuknya pengelola navigasi penerbangan dan bandara di sana.
Saya pernah ke Arab Saudi melakukan liputan haji 2013, di mana waktu itu jumlah jemaah tidak sebanyak tahun ini.
Jemaah dari Indonesia waktu itu hanya berjumlah 155.000 orang. Saat itu saja kesibukan di Bandara Internasional King Abdul Aziz Jeddah sudah sangat luar biasa.
Kompleksitas lainnya terkait kesiapan maskapainya, baik dari sisi petugas dan awak pesawat, kesiapan armada dan prosedur standar operasinya.
Di Indonesia, maskapai yang ditunjuk adalah Garuda Indonesia dan Saudia Airlines. Garuda Indonesia ditunjuk karena dapat memenuhi kualifikasi, baik teknis penerbangan maupun komersial.
Sedangkan Saudia Airlines karena ada permintaan dari pemerintah Arab Saudi. Tentunya mereka juga harus memenuhi syarat teknis penerbangan.
Bagi maskapai penerbangan, tantangan terbesarnya adalah menyediakan dan mempersiapkan armada dan kru (pilot dan pramugari) serta operasional sesuai standar keselamatan, keamanan dan kenyamanan penerbangan.
Maskapai juga harus berkoordinasi dengan berbagai pihak, terutama untuk mendapatkan izin slot, baik dari Indonesia maupun Arab Saudi.
Di tahun 2024 ini, Garuda Indonesia mengoperasikan sekitar 14 unit pesawat di mana 6 (enam) pesawat milik sendiri dan 8 (delapan) pesawat sewa.
Sedangkan Saudia Airlines menggunakan 15 unit pesawat dengan 6 unit pesawat sendiri dan 9 unit sewa.
Menyewa pesawat sekarang tidak semudah tahun-tahun sebelum pandemi Covid-19. Pada saat itu, jumlah pesawat dan
sparepart
-nya banyak tersedia di pasaran.
Saat ini jumlah pesawat relatif masih sama, hanya
sparepart
-nya yang jumlahnya sedikit, bahkan untuk pesawat tertentu hampir tidak tersedia. Akibatnya banyak pesawat yang tidak bisa terbang, harus menginap di bengkel lebih lama.
Sebagai gambaran, saat ini pesawat komersial yang terdaftar di Indonesia sebanyak 614 unit, tetapi yang
on-ground
di bengkel sebanyak 105 unit.
Di dunia internasional, kondisinya juga sama. Maskapai harus berebut untuk menyewa pesawat yang tersedia.
Selain itu, juga ada kompleksitas terkait para jemaah hajinya, terutama asal Indonesia. Sebagian besar jemaah terdiri dari para lansia dan mereka yang tidak pernah menggunakan pesawat.
Para jemaah ini tentu memerlukan penanganan khusus, baik dari bandara, maskapai penerbangan serta tim khusus yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia.
Jemaah harus dipersiapkan dengan baik dan benar. Mereka juga harus mengikuti standar keselamatan, keamanan dan kenyamanan penerbangan saat berangkat dari Indonesia maupun saat pulang dari Arab Saudi.
Dari pemberitaan di internasional, penanganan jemaah haji Indonesia katanya lebih bagus dari jemaah haji dari negara lain. Tentu ini patut diapresiasi.
Di dalam operasional penerbangan, terdapat prinsip yang menjadi pedoman di seluruh dunia. Prinsip utama adalah keselamatan dan keamanan penerbangan.
Semua hal dalam penerbangan yang dilakukan oleh semua stakeholder, baik itu pemerintah, maskapai, bandara, airnav,
ground handling
hingga penumpang di seluruh dunia wajib mengacu pada prinsip ini.
Aturan terkait keselamatan dan keamanan penerbangan ini dibuat oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) sebagai badan khusus dari PBB untuk penerbangan.
Aturan ICAO tersebut kemudian diadopsi oleh semua negara, termasuk Indonesia dan dituangkan dalam Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (Civil Aviation Safety Regulatin/ CASR) dan Program Keamanan Penerbangan Nasional (PKPN).
Selanjutnya, ada prinsip terkait kenyamanan penerbangan, baik untuk penumpang, kru maupun pihak lain yang terlibat. Namun, prinsip kenyamanan ini harus tetap mengikuti prinsip keselamatan dan keamanan penerbangan.
Kenyamanan penerbangan ini kadangkala tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena faktor keselamatan dan keamanan penerbangan.
Misalnya, jika pesawat terdeteksi ada masalah, maka diperlukan waktu untuk mengecek pesawat tersebut. Jika terdeteksinya saat di udara, maka pesawat harus mendarat dulu di bandara asal atau bandara lain untuk pengecekan.
Pesawat tidak seperti bus, kereta, mobil atau kapal yang bisa berhenti di jalan untuk kemudian diperbaiki. Pesawat kalau ada masalah tidak bisa diperbaiki di udara, tetapi harus mendarat dulu dengan selamat dan kemudian baru bisa diperbaiki di darat.
Hal itu akan mengakibatkan pesawat terlambat terbang (
delay
) dan waktu penerbangan menjadi lebih lama, namun memang harus dilakukan.
Demikian juga kalau lalu lintas di bandara sangat padat karena pertambahan slot seperti saat penerbangan haji, maka pesawat harus antre terbang atau mendarat sesuai arahan dari petugas navigasi penerbangan.
Hal ini juga mengakibatkan keterlambatan penerbangan dan kenyamanan terganggu. Namun tetap harus dilakukan karena menyangkut keselamatan dan keamanan penerbangan.
Saya teringat ucapan mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, yaitu “lebih baik tidak terbang daripada terbang, tapi tidak sampai tujuan (karena kecelakaan).”
Ini mengingatkan kita betapa pentingnya keselamatan dan keamanan dibandingkan kenyamanan penerbangan.
Terkait penerbangan haji, karena kompleksitasnya yang melibatkan banyak pihak, kenyamanan penerbangan memang seringkali terganggu.
Semua maskapai di dunia yang melayani penerbangan haji, bahkan maskapai Saudia Airlines yang merupakan milik pemerintah Arab Saudi juga mengalami hal sama seperti
delay.
Semuanya itu dilakukan untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan.
Melihat kompleksitasnya penerbangan haji, untuk menjamin keselamatan, keamanan dan menghadirkan kenyamanan, memang diharuskan koordinasi dan kerja sama yang erat dari semua stakeholder terkait, baik itu di Indonesia maupun di Arab Saudi seperti pemerintah, maskapai, bandara,
ground handling
hingga penumpang.
Kita harus bersyukur penanganan jemaah haji Indonesia secara keseluruhan relatif lebih baik dibanding negara lain.
Bahkan, Garuda Indonesia beberapa kali mendapatkan penghargaan dari pemerintah Arab Saudi sebagai maskapai terbaik dalam penerbangan haji.
Namun, semua itu tentu bukan karena kerja Garuda sendiri, tetapi kerja sama dan koordinasi dengan semua stakeholder penerbangan. Hal itulah yang utama dan harus selalu dilakukan untuk menjamu para tamu Allah ini.
Akhirnya, selamat datang kembali para jemaah haji ke Tanah Air. Semoga semua mabrur.
 
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.