Heboh Timnas U-20 , Israel dan RI Sering Malu-Malu Kucing

27 March 2023, 16:05

Jakarta, CNBC Indonesia – Perhelatan Piala Dunia U-20 di Indonesia sudah di depan mata yang dimulai 20 Mei 2023. Namun, muncul polemik soal kehadiran Timnas Israel di Piala Dunia U-20 2023.
Polemik itu tentu tidak terlepas dari posisi Indonesia yang mendukung Palestina pada konflik dengan Israel. Bagi Indonesia, Israel sama saja seperti penjajah karena masih mencengkeram tanah Palestina. Indonesia tak punya hubungan diplomatik resmi dengan Israel selama Negara Yahudi itu tidak mengakui Palestina.
Atas dasar inilah, berbagai pihak pun menolak kedatangan Timnas Israel di Indonesia, mulai dari Gubernur Bali Wayan Koster hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sikap ini kemudian membuat FIFA membatalkan pengundian Piala Dunia di Bali pada 31 Maret mendatang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Meski demikian, di atas kertas kedua negara memang tidak pernah menjalin hubungan. Namun, rupanya hubungan tak resmi sudah pernah terjalin antara Jakarta dan Tel Aviv. Apa saja?
Sektor pertahanan
Berada di tengah kawasan Arab dan terus terusik kedaulatannya membuat Israel berbenah di sektor militer. Dengan dukungan kuat Amerika Serikat, Israel menjelma menjadi negara dengan kekuatan militer terbaik di dunia. 
Kedudukan ini tentu membuat Indonesia meliriknya. Pada 1978, Menteri Pertahanan, Jenderal M. Jusuf, pernah naksir terhadap pesawat A-4 Skyhawk buatan AS yang super canggih.
Sebagaimana dipaparkan Jim Winchester dalam Douglas A-4 Skyhawk: Attack and Close Support Fighter Bomber (2004), ketertarikan Jusuf kemudian disambut oleh Wapres AS Walter Mondale yang menawarkan 16 Skyhawks pada Mei 1978. Namun, untuk memiliki pesawat itu Indonesia perlu mengambilnya dari Israel, bukan AS. 
Ya, pesawat Skyhawk yang dimaksud adalah bekas Israel. Jadi, mau tak mau, Indonesia harus menjalin perjanjian dengan Israel. Karena kebutuhan yang besar, maka Indonesia menerima tawaran itu. Tentu semua ini dilakukan secara diam-diam dalam operasi senyap bersandi “Alpha”.
Tercatat, Indonesia menekan pembelian 28 Skyhawks dan 11 helikopter dari Israel. Salah satu perwira Angkatan Udara yang terlibat adalah Marsekal Muda Faustinus Djoko Poerwoko. Dalam otobiografi berjudul Menari di Angkasa (2007), Djoko menceritakan kalau dia terbang ke Israel untuk melobi pembelian, sekaligus belajar mengendalikan pesawat itu.
Singkat cerita, pada 1980 mereka sukses membawa pulang pesawat Skyhawk Israel. Menhan M. Jusuf selalu memaparkan ke publik kalau pesawat itu adalah bekas Israel yang dibeli AS lalu dijual ke Indonesia. Tujuannya adalah untuk meminimalisir kecaman publik yang memandang pemerintah tidak tegak membela Palestina.
Pertemuan Rahasia Soeharto-Yitzhak Rabin
Retno Abdulgani dalam Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President (2007) menceritakan pada 15 Oktober 1993, Presiden Soeharto menerima Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, di kediamannya di Cendana. Alasan Soeharto menerima Rabin dikarenakan posisinya sebagai ketua Gerakan Non-Blok.
“Karena mempertimbangkan persoalan agama yang sensitif, maka tidak ada satupun media yang mengetahuinya. Semuanya berjalan rahasia dan baru diketahui setelah 4 jam setelah Rabin pergi meninggalkan Indonesia,” tulis Retno.
Belakangan baru diketahui kalau pertemuan keduanya membahas lebih dari sekedar kedudukan di Gerakan Non-Blok. Mereka membahas juga rencana perdagangan senjata setelah AS menghentikan perdagangannya ke Indonesia, termasuk kemungkinan pembukaan hubungan dagang.
Sejak pertemuan rahasia itu hubungan dagang kedua negara tumbuh secara pesat, meski masih lewat pihak ketiga, yakni Singapura. Jika pada 1991 Indonesia mengeskpor barang senilai US$ 31.000 maka tahun-tahun berikutnya nilai ekspor meningkat jadi US$ 1,7 Juta.
Bahkan, pada Oktober 1994, delegasi Kamar Dagang Israel secara resmi datang ke Jakarta untuk melobi pembukaan perdagangan. Kedatangan ini kemudian membuat perdagangan berjalan positif.
Tercatat pada 1998, Indonesia nilai impor dari Israel mencapai US$ 12,4 Juta. Sedangkan nilai ekspor ke Israel mencapai hampir US$ 1 miliar. 
Menurut Retno, seluruh jalinan ini menunjukkan sikap pragmatisme Presiden Soeharto yang sesungguhnya ingin berdagang dengan Israel di tengah dukungannya terhadap Palestina.
Kemesraan berlanjut
Jika di era Orde Baru hubungan Indonesia-Israel dilakukan dalam kerahasiaan, maka hal ini tidak terjadi lagi di era reformasi. Sejak Presiden Abdurrahman Wahid berkuasa pada 1999, hubungan dengan Tel Aviv malah dilakukan secara terang-terangan, khususnya di sektor perdagangan.
Mengutip Abdurrahman Wahid dan Kedekatan Dengan Relasi Israel terbitan Tempo, Presiden Wahid memandang pembukaan dagang dengan Israel sangat menguntungkan Indonesia.
Sebab, Israel memiliki relasi kuat dengan AS dan berbagai lembaga keuangan. Diharapkan, jalinan itu membuat Indonesia lepas dari kesulitan ekonomi.
Apalagi, Wahid juga melihat perdagangan kedua negara selama ini berjalan positif. Dan selama itu terjadi yang paling diuntungkan adalah Singapura sebagai “jembatan” RI-Israel. Jadi dengan membuka hubungan langsung, dia percaya Indonesia bakal untung besar.
Meski ditentang banyak pihak, sosok yang pernah mengunjungi Israel pada 1994 ini tetap tak goyang. Pada Februari 2000, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Jusuf Kalla mencabut pembatasan perdagangan ke Israel. Sejak itu banyak pengusaha yang mulai berdagang langsung ke Tel Aviv, tak lagi melalui Singapura.
Legalitas perdagangan ini kemudian terjadi pada 2001 ketika Menperindag, Luhut Binsar Panjaitan, meneken Surat Keputusan Menperindag No.23/MPP/01/2001 tentang legaliltas hubungan dagang antara Indonesia dan Israel.
Namun, seiring kejatuhan Wahid, hubungan Israel redup dan berlanjut kembali di era Presiden SBY. Di masa SBY inilah barangkali hubungan dagang mencapai puncaknya. Meski SBY berulangkali menegaskan posisinya berada di pihak Palestina, tetapi untuk urusan bisnis dia berada di sisi Israel.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Diam-diam AS Dorong Israel Bantu Ukraina Sediakan Alat Perang

(mfa/mfa)