Guru Besar Paramadina Komentari Bansos Ala Jokowi, Ini Isinya

8 February 2024, 11:40

Jakarta, CNBC Indonesia – Menjelang pemilihan presiden yang akan digelar pada 14 Februari 2024 mendatang banyak hal yang menjadi bumbu-bumbu kegiatan yang diasumsikan bermuatan politik. Kini kegiatan bantuan sosial (bansos) pemerintah menjadi sorotan masyarakat, termasuk akademisi atau perguruan tinggi.
Guru Besar Universitas Paramadina Prof Didin S Damanhuri menyebut, bansos sekarang sudah menjadi alat politik. Indikasinya pertama, Penggelontoran besar-besaran bansos sekira Rp500 triliun dan terbesar selama reformasi. Pasalnya, angka tersebut tidak didukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan.
“Jadi, semestinya kalau bansos digelontorkan dengan amat besar itu pertanda indikasi kemiskinan kembali meningkat, nyatanya kemiskinan sudah agak menurun, dan itu pertanda Bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang Pilpres 2024,” ujarnya mengutip resume diskusi virtual, Kamis (8/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Didin melanjutkan, sosok yang membagikan Bansos adalah Jokowi sendiri, dan bukannya Menteri Sosial. Padahal kuasa pemegang anggaran Menteri Sosial yang tidak dalam keadaan berhalangan atau sakit. Bahkan tidak mendampingi Jokowi ketika bansos dibagikan.
“Itu memperkuat bahwa terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan Pilpres. Di banyak daerah pembagian bansos bahkan dilabeli dengan Paslon 02 dengan pesan jika paslon 01 dan 02 menang maka bansos tidak lagi dibagikan,” sebutnya.
Analisa lebih jauh, dalam tinjauan ekonomi politik pada 5 tahun terakhir ada gejala Indonesia sedang ada dalam fase neo otoritarianism. Beberapa pihak sudah memastikan gejala-gejala itu dengan bukti-bukti yang sangat kuat.
“Pada era Soekarno, ketika memainkan isu Nasakom dengan perimbangan kekuasaan antara TNI-AD vs PKI, dan kemudian Soekarno menciptakan suatu ekosistem hingga MPR ketika itu memutuskan sebagai presiden seumur hidup meski dengan dekrit Soekarno sendiri. Era itulah Indonesia masuk dalam Otoritarianisme pertama,” ungkapnya.
Pada era Suharto, tercipta partai agar proses pembangunan ekonomi berlanjut dengan industrialisasi tanpa instabilitas politik. Mirip partai pelopor di Jepang, namun dengan represi politik domestik. Hingga Suharto pun dikategorikan sebagai Benevolent Otoritariansm (Diktator yang baik hati).
Protes-protes mahasiswa diajak dialog ke istana namun proses industrialisasi berjalan terus. Sehingga kemiskinan turun dari 56% ke 13% dengan 8 jalur pemerataan dan program-program terlembaga sehingga rezim orde baru menghasilkan tingkat pemerataan yang relatif baik.
Sejak 2014 Presiden Jokowi tampil dengan program-program nyata dan populis. Tapi masuk periode ke 2 pada 2019, Jokowi masuk pada proses-proses yang disebut Neo Otoritarian. Indikasinya parlemen yang pro kekuasaan semula 65% menjadi 85% pro kekuasaan.
Setelah itulah terjadi pelumpuhan mekanisme check and balance di parlemen dalam mengontrol proses legislasi dan lainnya, sehingga ada 8 Undang-undang yang konon bukan merupakan kepentingan rakyat banyak seperti UU KPK, UU Minerba, UU Ciptaker, UU Kesehatan dan lainnya.

“Hal itu semua adalah gejala di mana kepentingan kekuasaan sudah tidak bisa di check and balances oleh DPR. Apalagi dengan menciptakan buzzer dan influencer. Kelompok kritis dilumpuhkan oleh kelompok buzzer-buzzer tersebut,” ungkapnya.
Gejala lainnya Ia menambahkan, niat ke 3 periode kekuasaan, dan gagal ketika ditolak oleh Megawati Sukarnoputri, namun berlanjut dengan memasukkan Gibran Rakabuming putra Jokowi sendiri lewat MK, dengan memanipulasi proses hukum dan politik sehingga menjadi cawapres paslon 02.
Setelah itu kita melihat Bansos dijadikan alat politik untuk memenangkan kekuasaan dalam pilpres 2024. Suara-suara kampus dan civil society tidak diindahkan, bahkan tidak ada dialog sebagaimana dulu Soeharto mengadakan dialog dengan para mahasiswa. Itulah yang disebut gejala Otorianisme Baru.
“Jadi, Bansos sebagai instrumen pemenangan politik adalah bagian dari konstruksi politik Otoritarian,” pungkasnya.Hal senada juga dikatakan oleh dosen peneliti dari Fakultas Economica dan Bisnis (FEB) Universitas Gajah Mada (UGM) Erlan Satriawan berpendapat, bansos bukan satu-satunya instrument penanggulangan kemiskinan. Dalam mengentas kemiskinan, harus ada program perlindungan sosial yang berfungsi untuk melindungi agar kesejahteraan mereka tidak jatuh.
“Khususnya dalam situasi krisis. Contohnya adanya peristiwa penggusuran kaki lima, atau kepala keluarga yang sakit berkepanjangan, dan lainnya. Krisis yang sifatnya agregat atau pun yang unik per individu,” sebutnya.
Sementara FEB UI Ninasapti Triaswati mengatakan, sebenarnya tujuan bansos itu komprehensif bukan hanya memberikan sejumlah uang atau makanan/pendidikan, tapi lebih kompre yakni meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui berbagai kebijakan ekonomi dan keuangan.
Memang jika difokuskan dengan naiknya dana bansos menjadi Rp 496 triliun dibanding periode lalu yang sebesar Rp 476 trilium, memang besar. Tapi yang menjadi masalah bukan hanya tidak mencapai sasaran secara absolut tetapi juga adalah soal pemerataan antar kelompok pendapatan.
“Pada 2013 ke 2014 (Pemilu), Bansos ada Rp398 triliun, di akhir era SBY Rp 439 triliun, jadi ada lonjakan anggaran sekira Rp40 triliun. Yang paling besar memang pada 2020 sebesar Rp498 triliun (era covid). Angka terakhir bansos Rp498 triliun memang turun setelah covid ke angka Rp 397 triliun pada 2021. Dan lalu naik lagi di 2022 Rp 431 dan Rp 476 di 2023. Dari angka-angka itu memang ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul yakni kepentingan politik,” ungkapnya.
Sedangkan Direktur Pusat Media Dan Demokrasi Wijayanto menambahkan, bansos yang dibagikan saat pemilu merupakan suatu refleksi kegagalan negara untuk memenuhi amanah konstitusi. Tak hanya itu, bansos yang diberikan adalah refleksi kegagalan birokrasi negara untuk menjalankan bantuan sosial, sehingga terjadinya kegagalan birokrasi dan administratif didalamnya.
Yang menjadi permasalahan utamanya, adalah bansos yang nominalnya tidak seberapa diberikan sebagai iming-iming politik transaksional,” ucapnya.
Menurutnya, saat ini banyak sekali, hingga puluhan kampus saut-sautan untuk memprotes keadaan, menyuarakan perlawanan dan mengkoreksi pelanggaran etika. Salah satunya adalah ketidaknetralan pemerintah dalam pemilu ini.
“Rezim presiden Jokowi terjadi selama 4 periode dimana pada 2014-2016 diistilahkan sebagai honeymoon, namun pada 2016-2019 terlihat neo developmentalisme dimana pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan dan lain sebagainya, pada 2019-2022 terjadi oligarki ugal-ugalan dan pada 2023 hingga saat ini terjadi politik dinasti, politisasi bansos dan pengingkaran konstitusi,” pungkasnya.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Syarat Penerima BLT El Nino Rp 200 Ribu, Kamu Kebagian Gak?

(ayh/ayh)