Skema Baru Gross Split Dinilai Kurang Ampuh Genjot Investasi Hulu Migas

Bisnis.com, JAKARTA – Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing dan investasi hulu migas, salah satunya melalui perubahan skema bagi hasil gross split yang memberikan porsi bagi hasil tambahan untuk kontraktor. 

Hal ini sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 13/2024 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang diundangkan dan berlaku pada 12 Agustus 2024.

Namun, Ekonom Energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, skema gross split baru bukan jalan yang tepat untuk mendongkrak investasi hulu migas.

“Tidak [efektif], karena yang diperlukan sejak awal untuk menarik investasi memang sebenarnya bukan gross split,” kata Pri kepada Bisnis, Rabu (21/8/2024). 

Menurut dia, skema baru tersebut hanya akan berdampak positif dalam meningkatkan keekonomian lapangan yang menggunakan gross split. Pasalnya, tambahan persentase bagi hasil juga dapat diberikan pada lapangan yang tidak mencapai nilai keekonomian proyek. 

Pada Permen sebelumnya yang kini telah dicabut yakni Peraturan Menteri ESDM No 8/2017 disebutkan bahwa persentase bagi hasil baru dapat ditambahkan untuk komersialisasi lapangan yang tidak mencapai nilai keekonomiannya dibatasi 5% untuk pengembangan lapangan pertama (PoD I).

Namun, dia menerangkan bahwa perubahan skema gross split hanya bagian kecil dari salah satu sistem fiskal yang ada. Dalam hal ini, skema gross split di Indonesia pun tidak lebih kompetitif dibandingkan sistem kontrak PSC cost recovery. 

“Sebaiknya jangan terlalu terus-menerus berkutat pada sistem gross split ini. Jika mau benar-benar progresif, lebih baik mengkaji penerapan sistem tax-royalti sebagaimana yang diterapkan di pertambangan umum,” jelasnya. 

Lebih lanjut, menurut Pri, investasi hulu migas dapat lebih berdaya saing dan menarik apabila prospek wilayah kerja (WK) berkualitas, kemudahan usaha melakukan operasional, keekonomian dan komersialitas yang kompetitif, dan konsistensi regulasi untuk kepastian usaha. 

Senada, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, penggunaan skema gross split bisa menjadi menarik apabila diberikan kepastian di awal penetapan kontrak PoD lapangan. 

“Yang jadi masalah adalah ketidakpastiannya. Itu kenapa gross split kita ini nggak terlalu menarik dibandingkan di luar sana, negara-negara lain pakai gross split atau royalty, fine aja karena ada kepastian di situ,” jelas Moshe, dihubungi terpisah. 

Di sisi lain, Moshe menerangkan yang dibutuhkan untuk menggenjot investasi hulu migas yaitu insentif fiskal berupa perpajakan. Sebab, industri migas membayar pajak sangat tinggi hingga 40% lebih rendah dibandingkan industri lainnya. 

Tak hanya itu, dia pun meminta pemerintah untuk memastikan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dapat mengoperasionalkan lapangan migas tanpa hambatan nonteknis. 

“Sebagai, contohnya pembebasan lahan, pengurusan perizinan. Karena itu aset milik pemerintah, mereka hanya kontraktor yang disewa pemerintah untuk menjalankan bisnis, jadi urusan nonteknis itu pemerintah harus permudah,” tuturnya.