Harga Rokok Harus Naik 2 Kali Lipat untuk Tekan Konsumsinya

Jakarta, Beritasatu.com – Untuk menekan konsumsi rokok, harga jual produk tembakau ini harus dinaikan hingga dua kali lipat. Dengan demikian, harga rata-rata rokok Rp 30.000 per bungkus harus dinaikan menjadi  Rp 60.000.

Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJSUI) Aryana Satrya mengungkapkan hasil survei yang dilakukannya pihaknya dengan melibatkan sebanyak 1.000 orang, terlihat lebih dari 80% mendukung kenaikan harga rokok.

Hal tersebut diungkapkan Aryana dalam konferensi pers secara daring oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di Jakarta, Kamis (3/10/2024), dilansir dari Antara.

“Bahkan 80% dari perokok mendukung kenaikan harga rokok. Berapa harga rokok yang ideal? Mereka mengatakan kalau harga rokok sampai Rp 60.000, maka 60% akan berhenti merokok. Kalau Rp 70.000, maka akan sampai 70% yang berhenti merokok,” kata Aryana.

Untuk bisa menaikkan harga rokok hingga dua kali lipat, cukai rokok harus dinaikkan. Sayangnya, hingga saat ini, cukai rokok masih belum agresif kenaikannya.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kata dia, memang memiliki niat meninjau menaikan harga jual eceran. Namun, hal tersebut dinilai tidak akan meningkatkan  pendapatan pemerintah da tidak efektif dalam menekan konsumsi rokok.

Pemerintah sebenarnya bisa menaikkan cukai rokok dalam tahun-tahun belakangan ini. Hal ini, kata dia, tidak akan signifikan menurunkan konsumsi, menurut data statistik Kemenkeu. Penurunan memang tidak besar atau relatif kecil, tetapi hal ini penting dilakukan untuk menekan prevalensi merokok.

“Nilai cukai yang diperoleh pemerintah selalu meningkat, dan bahkan pada saat akhir-akhir dua tahun terakhir ini,” katanya.

Dia menambahkan, riset lain yang dilakukan pihaknya mengenai stunting, memperlihatkan jika keluarga yang merokok, anaknya cenderung stunting 5,5%. Selain itu, tingkat intelegensinya juga lebih rendah.

Di sisi lain, mayoritas perokok merupakan warga miskin yang menerika bantuan sosial. Masalahnya, banyak bantuan sosial ini yang menjadi tidak bermanfaat karena dibelikan rokok.

“Jadi 1 persen kenaikan konsumsi rokok, menaikkan kemungkinan 6 persen untuk menjadi lebih miskin,” ungkap dia.