Dugaan Kecurangan Pemilu Kategori TSM Menghantui Episode Pemilu di Indonesia

19 February 2024, 8:09

TEMPO.CO, Jakarta – Istilah pelanggaran “terstruktur, sistematis, dan masif”  disingkat TSM kerap mewarnai proses pemilihan umum di Indonesia. Kecurangan pemilu TSM dikhawatirkan dapat mencederai demokrasi dan menghasilkan pemimpin yang tidak dipilih secara sah.Pada Pilpres 2014 dan 2019, isu TSM mencuat. Pihak pemenang di kedua pilpres tersebut dituduh melakukan kecurangan TSM sehingga memicu gugatan terhadap hasil pemungutan dan penghitungan suara yang dilakukan KPU.UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 mendefinisikan pelanggaran TSM dalam konteks pemilihan anggota legislatif. Pelanggaran terstruktur mengacu pada kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan, secara kolektif.Pelanggaran sistematis diartikan sebagai kecurangan yang direncanakan secara matang, tersusun, dan rapi. Sementara pelanggaran masif merujuk pada kecurangan yang dampaknya sangat luas terhadap hasil pemilihan.Peraturan Bawaslu No. 8 Tahun 2018 mengatur lebih detail mengenai pelanggaran TSM. Laporan atas dugaan pelanggaran TSM dapat disidangkan oleh Bawaslu jika dilengkapi dengan bukti yang menunjukkan pelanggaran terjadi di sejumlah wilayah.Pada Pilpres 2019, sidang PHPU di MK menolak gugatan Prabowo-Sandiaga terkait pelanggaran TSM. MK menegaskan bahwa kewenangan menangani pelanggaran TSM berada di tangan Bawaslu, sesuai dengan pasal 286 UU Pemilu. MK menjelaskan bahwa mereka hanya fokus pada perselisihan hasil pemilu dan tidak akan mencampuri ranah lembaga lain.Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan klaim kemenangan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno dengan perolehan suara sebesar 52 persen tak dilengkapi bukti yang lengkap.”Selain dalil pemohon tidak lengkap dan tidak jelas karena tidak menunjukkan secara khusus di mana ada perbedaan, pemohon juga tidak melampirkan bukti yang cukup untuk meyakinkan Mahkamah,” ujar Hakim MK Arief Hidayat dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 27 Juni 2019.Pada 2019 lalu, Bawaslu menegaskan bahwa pelanggaran TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif) merupakan salah satu pelanggaran pemilu terberat yang dapat mengakibatkan didiskualifikasinya peserta pemilu.Namun, pembuktian pelanggaran TSM tergolong rumit karena harus memenuhi ketiga unsur secara kumulatif: terstruktur, sistematis, dan masif.Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, menekankan bahwa bukti untuk pelanggaran TSM harus menunjukkan unsur pelanggaran yang menonjol dan berbeda dengan pelanggaran administrasi biasa.Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2018 mengatur syarat formil dan materil untuk menerima laporan dugaan pelanggaran TSM. Syarat formil meliputi identitas pelapor, sedangkan syarat materil memuat objek pelanggaran, waktu dan tempat peristiwa, saksi, bukti, dan uraian peristiwa.Iklan

Selain itu, laporan kecurangan pemilu TSM harus disertai minimal dua alat bukti dan pelanggaran harus terjadi di minimal 50% daerah pemilihan. Alat bukti yang sah termasuk keterangan saksi, surat/tulisan, petunjuk, dokumen elektronik, keterangan pelapor/terlapor, dan keterangan ahli. Terakhir, laporan dugaan pelanggaran TSM harus disampaikan paling lama 7 hari kerja sejak diketahui terjadinya pelanggaran. Jika melewati batas waktu, laporan tidak akan diterima.Sejauhmana Pemilu 2024 dihantui Kecurangan?Untuk memahami apa yang dimaksud dengan kecurangan pemilu, Film Dirty Vote telah membahas secara mendalam terkait proses kecurangan dalam pemilu ini. Misalnya, politisasi bansos, kecurangan KPUD untuk memenangkan meloloskan partai politik tertentu, kampanye dengan penggunaan fasilitas negara, menteri yang berkampanye di atas panggung kegiatan kenegaraan, dan banyak hal busuk lainnya.Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menyatakan bahwa kecurangan tersebut dapat dianalisis dalam fenomena politik gentong babi. Bivitri juga menyatakan bahwa peran Jokowi sentral dalam kontestasi Pemilu 2024.Bivitri menjelaskan, politik gentong babi merupakan istilah yang muncul pada masa perbudakan di Amerika Serikat. Saat itu, para budak harus berebut mengambil daging babi yang diawetkan dalam gentong. Para budak lantas memperebutkan babi di gentong tersebut.“Akhirnya muncul istilah bahwa ada orang-orang yang akan berebut jatah untuk kenyamanan dirinya,” kata Bivitri.Dalam konteks politik saat ini, Bivitri mengatakan politik gentong babi adalah cara berpolitik yang menggunakan uang negara. Uang tersebut digelontorkan ke daerah-daerah pemilihan oleh politisi agar dirinya bisa dipilih kembali.”Tentu saja kali ini Jokowi tidak sedang meminta orang untuk memilih dirinya, melainkan penerusnya,” ujar Bivitri.Dalam pemaparannya di film Dirty Vote, Bivitri menyoroti gelontoran anggaran bansos menjelang Pemilu 2024 menurutnya berlebihan. Sebab, untuk bulan Januari saja pemerintah sudah menghabiskan Rp 78,06 triliun jumlah. Jenis bantuan yang diberikan melalui anggaran tersebut, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan beras, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Indonesia Pintar (PIP), dan bantuan langsung tunai (BLT) El Nino.MICHELLE GABRIELA | DEWI NURITA | FIKRI ARIGI
Pilihan editor: Desak Pemilihan Ulang, Relawan Ganjar dan Anies Bakal Longmars dari Patung Kuda ke Bawaslu Besok