Berharap Jadi Bangsa Maju, Irit Menggaji Guru

Bisnis.com, JAKARTA — Pendidikan tercatat sebagai salah satu sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, tetapi mirisnya termasuk sektor yang para pekerjanya menerima gaji di bawah rata-rata upah buruh nasional. Gaji yang kecil membuat para guru dan tenaga pendidikan berisiko menjadi kelompok menuju kelas menengah alias aspiring middle class.

Hal itu terungkap dalam data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024 yang dipaparkan oleh Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Scenaider C.H. Siahaan, saat rapat kerja dengan Komite IV DPD, Senin (2/9/2024).

Scenaider menjabarkan bahwa rata-rata upah buruh nasional per Februari 2024 ada di angka Rp3,04 juta per bulan. Sebagai angka rata-rata, artinya terdapat pekerja dengan gaji di atas itu maupun di bawahnya.

Sayangnya, menurut Scenaider, sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja justru cenderung memiliki upah di bawah rata-rata nasional.

“Kami mengidentifikasi sektor yang menyerap tenaga kerja besar tetapi memberikan upah di bawah rata-rata nasional,” ujar Scenaider, dikutip pada Rabu (4/9/2024).

Industri pengolahan yang menjadi cerminan industrialisasi berada dalam daftar itu, mencatatkan rata-rata upah pekerja Rp3,03 juta per bulan, sedikit di bawah garis rata-rata nasional. Sektor konstruksi pun demikian, para pekerjanya rata-rata menerima upah Rp2,95 juta per bulan.

Mirisnya, sektor pendidikan termasuk dalam kelompok dengan upah pekerja di bawah rata-rata nasional. Guru dan para pekerja pendidikan menerima upah rata-rata Rp2,84 juta per bulan.

Kondisi itu menjadi ironi karena sektor pendidikan merupakan pilar penting pembangunan bangsa dan negara, terlebih untuk mencapai tujuan Indonesia emas 2045.

“Sektor yang menyerap tenaga kerja besar, ada di pengolahan, konstruksi, pendidikan, pengadaan air, perdagangan, pertanian, akomodasi, dan aktivitas jasa lainnya tetapi masih memberikan upah di bawah rata-rata upah buruh nasional,” ujar Scenaider.

Upah rendah yang diterima para pekerja sektor pendidikan juga tidak berarti biaya pendidikan di Indonesia murah. Biaya pendidikan terus menanjak dan menjadi salah satu faktor pendorong inflasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa kelompok pendidikan menjadi penyumbang utama inflasi bulanan (month-to-month/MtM) pada Agustus 2024, meski pada bulan yang sama terjadi deflasi secara umum sebesar 0,03%.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengungkapkan kelompok pendidikan memberikan andil inflasi 0,04% atau mengalami inflasi sebesar 0,65%. Di mana biaya SD, perguruan tinggi, dan SMP, yang memberikan andil inflasi masing-masing sebesar 0,01%.

Pudji menyampaikan inflasi tersebut sejalan dengan adanya kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) maupun biaya pendidikan sekolah.

“Ini tercatat oleh BPS mengalami kenaikan di tahun ajaran baru 2024 ini. Kalau pendidikan tinggi negeri kan memang UKT ya, kalau di sekolah kan uang SPP-nya,” ungkapnya dalam konferensi pers, Senin (2/9/2024).

BPS mencatat kenaikan biaya pendidikan tersebut khususnya terjadi pada sekolah-sekolah swasta dan UKT di perguruan tinggi. Meskipun demikian, Pudji mengaku pihaknya tidak merekam lebih rinci lagi terkait besaran atau nominal UKT yang naik.

“Secara umum biaya kenaikan biaya perguruan tinggi pada bulan Agustus 2024 mengalami inflasi sebesar 0,46%. Salah satu contohnya adalah kenaikan UKT-nya. Dalam hal ini BPS tidak mencatat lebih rinci lagi untuk biaya perguruan tinggi,” jelasnya.

Sebelumnya per Juli 2024, kelompok pendidikan mengalami inflasi pada Juli 2024 sebesar 0,69% dengan andil inflasi sebesar 0,04%.

Secara historis pun, inflasi kelompok pendidikan sejak 2020—2024 selalu terjadi pada Agustus. Di mana pada 2020 inflasi pendidikan mencapai 0,57%, kemudian 2021 sebesar 1,2%, dan tertinggi pada 2023 sebesar 1,85%.

Guru Berisiko Tak Jadi Kelas Menengah

Upah rata-rata Rp2,84 juta per bulan yang diterima pekerja sektor pendidikan mungkin menempatkan banyak orang di kelompok kelas menengah. Mereka adalah orang-orang yang memiliki pengeluaran per kapita Rp2,04 juta—9,9 juta per bulan.

Namun demikian, banyaknya guru dan pekerja honorer yang diupah tidak layak sudah menjadi rahasia umum. Banyak di antara mereka yang hanya menerima gaji ratusan ribu rupiah per bulan, memikul tanggung jawab besar untuk mencerdaskan anak bangsa.

Penghasilan yang hanya ratusan ribu rupiah itu bisa menempatkan seseorang di kelompok menuju kelas menengah (aspiring middle class), rentan miskin, atau bahkan miskin.

Tak elok jika guru dan para tenaga pendidik, sebagai ujung tombak pendorong kualitas sumber daya manusia Indonesia, malah harus berjibaku dengan ekonomi diri dan keluarganya.

Kelas Pengeluaran
engeluaran
Pengeluaran per 2024

Kelas Atas
>17 kali GK
>9.909.844

Kelas Menengah
3,5—17 kali GK
2.040.262—9.909.844

Menuju Kelas Menengah
1,5—3,5 kali GK
874.398—2.040.262

Rentan Miskin
1,0—1,5 kali GK
582.932—874.398

Miskin

*GK adalah garis kemiskinan. Angka di atas adalah pengeluaran per kapita per bulan dalam rupiah

Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengungkap bahwa ada tekanan tertentu kelompok kelas menengah Indonesia, yakni mereka sulit untuk naik menuju kelas atas dan malah rentan untuk turun menjadi aspiring middle class. Pasalnya, berdasarkan median pengeluaran, kelas menengah cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokkan.

Nilai tengah atau median pengeluaran kelas menengah tercatat di angka Rp2.846.440 per kapita per bulan. Mereka harus meningkatkan pengeluaran per kapita hingga Rp7,06 juta untuk ‘naik kelas’, tetapi mereka hanya berjarak Rp806.178 dari batas bawah yang mengancamnya ‘turun kelas’.

“Ini memang relatif rentan kalau ada guncangan dia bisa masuk ke dalam kelompok menuju kelas menengah,” ujar Amalia.

Nilai median pengeluaran kelas menengah itu sendiri hampir setara dengan rata-rata upah bulanan pekerja sektor pendidikan. Maka, mereka tergolong kelompok yang rentan turun kelas.

Pada 2019, tercatat ada 57,33 juta kelas menengah atau 21,45% dari total penduduk Indonesia, tetapi kini jumlah kelas menengah menjadi 47,85 juta atau 17,13% dari total penduduk Indonesia.

Pada periode yang sama, terjadi peningkatan jumlah dan persentase kelompok penduduk rentan miskin (dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta atau dari 20,56% menjadi 24,23%) dan menuju kelas menengah (dari 128,85 juta menjadi 137,50 juta atau dari 48,2% menjadi 29,22%).

Artinya, 9,4 juta penduduk kelas menengah hilang selama 2019—2024, indikasinya karena mereka turun ke kelompok menuju kelas menengah.

Solusi dari Prabowo, Efektifkah?

Dalam debat calon presiden dan wakil presiden pada Minggu (4/2/2024) lalu, Prabowo Subianto menjanjikan kenaikan gaji guru, tenaga honorer, hingga TNI-Polri apabila terpilih sebagai Presiden RI 2024—2029. Kini, Prabowo telah terpilih dan harus menunaikan janjinya itu.

Prabowo mengatakan bahwa peningkatan gaji tersebut dilakukan agar kualitas hidup guru, honorer, hingga TNI/Polri menjadi lebih baik.

“Kita harus memperbaiki gaji guru, termasuk gaji honorer, meningkatkan kompetensi guru,kita harus memberi pelatihan-pelatihan, penataran-penataran, dan juga seluruh penyelenggara negara ASN, TNI, Polri,” ujar Prabowo dalam debat kelima di JCC Senayan, Jakarta Pusat pada Minggu (4/2/2024).

Prabowo menuturkan bahwa dengan adanya perbaikan gaji tersebut, maka hal itu akan berdampak pada pelayanan ke masyarakat.

“Kita perbaiki gajinya sehingga kualitas hidup mereka akan baik, sehingga mereka bsia memberi pelayanan kepada rakyat dengan sebaik-baiknya,” ungkapnya.

Menengok dokumen visi, misi, program Prabowo—Gibran, pasangan calon (paslon) nomor urut 2 itu akan melakukan pelayanan publik yang baik akan terlaksana bila aparatur sipil negara (ASN) terutama guru, dosen, dan tenaga kesehatan (nakes), tentara nasional Indonesia (TNI), kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan pejabat negara berada dalam kondisi sejahtera.

Keduanya menilai pendapatan guru hingga TNI/Polri perlu ditingkatkan secara layak. Menurutnya, kebijakan penggajian diarahkan pada upah minimum provinsi (UMP) dengan rentang gaji tertinggi mengacu pada jabatan profesional, meski pelaksanaan dilakukan bertahap sesuai kemampuan keuangan negara. (Annasa Rizki Kamalina, Rika Anggraeni)