Banyak Jalan Menuju Profesor

Jakarta

Nama “Scopus” bagaikan ‘hantu’ yang menakutkan di dunia akademik sejak beberapa tahun terakhir ini, khususnya bagi para dosen perguruan tinggi yang ingin mengajukan kenaikan jabatan ke jenjang Profesor.

Dosen di bidang ilmu apa pun yang ingin mengajukan kenaikan jabatan ke jenjang Profesor diwajibkan memiliki artikel yang diterbitkan di jurnal internasional bereputasi terindeks Scopus atau Web of Science (WoS), sebagai syarat khusus. Bila tidak memenuhi syarat usulan akan ditolak.

Karena bersifat mutlak, upaya agar artikel ilmiah dimuat jurnal internasional bereputasi layaknya sebuah ‘hutan rimba perburuan,’ yang untuk mendapatkannya berbagai cara, taktik dan strategi digunakan: plagiasi, jasa joki, pemalsuan data, jasa penulisan artikel, dan calo Scopus (Kompas, 10 Desember 2018).

Akibatnya, kaidah penulisan artikel ilmiah yang berlandaskan pada etika akademik menjadi terabaikan, demi artikel diterima di jurnal internasional bereputasi. Di sini-layaknya pertarungan politik-tujuan menghalalkan segala cara.

Dijadikannya artikel ilmiah terindeks Scopus sebagai syarat khusus menjadi Profesor telah banyak menuai kritik, dengan tudingan bahwa lembaga pengindeks ini menekankan keseragaman, dan mengabaikan keragaman bidang ilmu dan bentuk publikasi ilmiahnya (Kompas, 21 Februari 2017).

Akan tetapi, dengan telah terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2024 Tentang Profesi, Karier, Dan Penghasilan Dosen, sebuah cahaya terang dari lorong gelap “hantu Scopus” itu tampaknya mulai terbuka.

Bila dibaca secara cermat, peraturan baru yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) itu secara implisit membuka jalan terang bagi penghargaan atau rekognisi atas keberagaman bidang ilmu dan keragaman bentuk publikasi ilmiah.

Jalan terang itu terlihat di salah satu persyaratan bagi dosen yang mengajukan kenaikan jenjang jabatan akademik ke Profesor, yaitu “memiliki publikasi ilmiah.” Akan tetapi, kriteria publikasi ilmiah itu ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek).

Akan tetapi, mengingat berbagai masukan dari masyarakat akademik tentang perlunya mengakomodasi keragaman karya dan publikasi ilmiah, tentunya Kemendikbudristek akan mempertimbangkan visi di dalam PO PAK 2019 sendiri tentang pesatnya “perkembangan ragam karya tulis dan jenis tempat pemuatan karya tulis tersebut.”

Bila ketetapan Mendikbudristek mengakomodasi keragaman “publikasi ilmiah” seperti di atas, ini akan sejalan dengan aspirasi Konsorsium Seni Dan Desain Indonesia (KSDI), yang sejak dibentuk tahun 2019 “berjuang” bagi kesetaraan karya seni, desain dan sastra dengan artikel jurnal sebagai syarat khusus kenaikan jabatan, khususnya jabatan Profesor.

Selama ini, kendala besar para dosen seni, desain dan sastra yang hendak mengajukan kenaikan jabatan ke jenjang Profesor adalah kewajiban memiliki publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi (terindeks Scopus atau WoS) sebagai syarat khusus bersifat mutlak.

Padahal, untuk bidang seni, desain dan sastra, dikenal dua jalur pendidikan tinggi, yaitu “jalur kajian” dan “jalur penciptaan,” yang masing-masing memiliki sifat, cara kerja, bentuk karya ilmiah dan “habitat” yang berbeda. Karya yang dihasilkan dari jalur penciptaan ini yang dituntut agar dihargai “setara” dengan artikel di jurnal ilmiah.

Usulan kesetaraan karya seni, desain dan sastra dan artikel ilmiah di dasari oleh pandangan bahwa semuanya berasal dari akar keilmuan yang sama, yaitu Sains (S besar). Sains (s kecil) memahami bagaimana alam bekerja, sementara humaniora, termasuk seni, adalah sains tentang manusia (Burguette dan Lam, 2011).

Baik sains maupun seni, desain dan sastra sama-sama menghasilkan “karya ilmiah,” meskipun berbeda cara penilaiannya. Bila penilaian sains dilandasi oleh cara kerja matematika, cara penilaian karya seni, desain dan sastra adalah melalui interpretasi mendalam atau “eksegesis”, dalam bentuk “deskripsi karya” (Richard, 2004).

Sains dan seni (desain dan sastra) memiliki tugas sama mengungkap “kebenaran ilmiah”: sains mengungkap “kebenaran sains” berdasar logika matematis; sementara seni mengungkapkan “kebenaran seni”, melalui eksegesis. Karenanya, sains dan seni seharusnya tak dilihat sebagai pertentangan, tetapi persilangan mutual (Jones dan Galison, 2013).

Pluralisme Jabatan Profesor

Usulan kesetaraan karya seni dengan karya tulis ilmiah oleh KSDI tidak dimaksudkan sebagai tuntutan sempit hak kesetaraan dalam kenaikan jabatan akademik, melainkan ikut membangun dunia kehidupan akademik berlandaskan nilai-nilai keberagaman, keadilan dan kesetaraan.

Untuk jalur kajian seni, desain dan sastra, pencapaian ilmiah tertinggi untuk memperoleh jenjang jabatan Profesor-seperti bidang-bidang sains lainnya-memang harus ditunjukkan melalui publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi.

Akan tetapi, untuk jalur penciptaan, pencapaian ilmiah tertinggi tidak ditunjukkan melalui publikasi jurnal ilmiah, melainkan bentuk “publikasi” berbeda, seperti pameran, pertunjukkan, tayangan, streaming, eksekusi, produksi, dsb., yang sifat keilmiahannya ditunjukkan melalui “deskripsi karya.”

Meskipun berbeda dalam media ungkap, metode, cara kerja dan produk yang dihasilkan, berbagai cabang penciptaan seni, desain dan sastra: seni lukis, seni tari, seni pertunjukan; desain produk, desain komunikasi visual, multimedia, penciptaan sastra, dll., semuanya adalah aktivitas “riset ilmiah”, yang penilaian ilmiahnya ditunjukkan melalui eksegesis.

Di beberapa negara seperti Perancis, Kanada, Inggris dan Jepang diberikan ruang yang luas bagi keragaman publikasi ilmiah sebagai syarat menjadi Profesor. Misalnya, di Tokyo University of the Arts, Jepang, ada jabatan Profesor yang dicapai melalui artikel jurnal internasional bereputasi, tetapi ada juga Profesor Karya melalui jalur publikasi pameran.

Rekognisi dan pengakuan terhadap dua jalur “karya ilmiah” dan “publikasi ilmiah” dalam bidang seni, desain dan sastra tidak saja mendorong berbagai kajian tentang seni, desain dan sastra, tetapi meningkatkan gairah dalam penciptaan karya-karya seni, desain dan sastra hingga mencapai reputasi internasional.

Bila Mendikbudristek mengakomodasi visi PO PAK 2019 tentang rekognisi ragam karya tulis dan media publikasinya, maka ke depan akan terbangun ruang pengakuan yang lebih luas terhadap keragaman pencapaian akademik tertinggi, untuk mencapai jenjang jabatan Profesor, khususnya untuk bidang seni, desain dan sastra.

Rekognisi ini bisa diperluas bagi dosen yang ingin mengajukan kenaikan jabatan Profesor melalui karya, proyek dan riset-riset terapan lainnya, dengan bentuk publikasi ilmiah sendiri. Syaratnya, disamping berintegritas, ia harus menunjukkan hasil karya, proyek dan riset istiwewa, yang berdampak luas terhadap pengembangan keilmuan di bidangnya.

Dengan demikian, ke depan dunia akademik akan mendapatkan angin segar keragaman dan cakrawala luas pengakuan karya serta publikasi ilmiah. Ini menciptakan ruang “pluralisme jabatan Profesor”: Profesor jalur artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi, Profesor jalur karya seni, desain dan sastra bereputasi, dan Profesor jalur karya, proyek atau riset terapan bereputasi lainnya.

Yasraf A. Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB

(akd/akd)