Tionghoa dan Tiongkok dalam Dinamika Nahdlatul Ulama (NU)

2 December 2023, 5:15

TIONGHOA dan Tiongkok merupakan dua istilah yang berkaitan, tetapi berbeda makna. Jika merujuk pada Keputusan Presiden RI No 12/2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, istilah Tionghoa merujuk pada penyebutan untuk orang dan/atau komunitas yang sebelumnya disebut sebagai Tjina/Cina/China. Lalu istilah Tiongkok merujuk pada nama negara yang sebelumnya disebut Republik Rakyat China menjadi Republik Rakyat Tiongkok.

Ketetapan ini berlaku dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, dengan tujuan menghapus psikososial-diskriminatif yang dialami oleh warga bangsa Indonesia keturunan Tionghoa dalam relasi sosial sebelumnya. Hal ini juga menjadi bagian dari komitmen pemerintah RI untuk menegakkan HAM serta menghapuskan diskriminasi ras dan etnis, sesuai nilai dan prinsip perlindungan warga bangsa dalam UUD 1945. Di samping itu, pulihnya hubungan baik dan semakin eratnya hubungan bilateral antara Indonesia dan Negara People’s Republic of China juga dipandang sebagai pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan tersebut.

Berbicara mengenai Tionghoa dan Tiongkok, tentu ada bagian dari sejarahnya yang bersinggungan dengan dinamika Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia. Bukan hanya karena secara demonstratif PBNU saat ini memiliki bendahara umum seorang keturunan Tionghoa, yakni H Mohammad Jusuf Hamka atau yang akrab disapa Babah Alun. Namun, jauh sebelum itu terdapat pertalian sejarah NU dengan Tionghoa dan Tiongkok, bahkan bisa dikatakan mengalami apa yang disebut oleh generasi muda sekarang ini sebagai love-hate relationship.

Merujuk pada Cambridge Dictionary, love-hate relationship dimaknai sebagai strong feelings about someone or something that are a mixture of love and hate . Sementara Melwani & Rothman (2015) mendefinisikannya sebagai ambivalensi dalam sebuah hubungan yang ditandai dengan adanya konflik dan ketegangan, yang melibatkan perasaan positif dan negatif terhadap pihak lain. Hal ini memang pernah terjadi dalam dinamika sejarah NU sebagai bentuk respons jam’iyyah atas kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang berkembang pada masanya, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Kilas Balik Eksistensi Tionghoa di Nusantara dan Hindia Belanda

Di tingkat nasional, belum banyak tulisan ilmiah yang secara komprehensif mengkaji tentang relasi NU sebagai ormas Islam yang didirikan pada 1926 dengan komunitas etnis Tionghoa pada masa sebelum kemerdekaan RI. Kita hanya mengetahui beberapa narasi sejarah Nusantara mengenai peristiwa-peristiwa besar yang secara umum menggambarkan interaksi etnis Tionghoa dengan kaum pribumi, Belanda, dan politik Islam.

Peristiwa yang paling lampau menggambarkan hal ini ialah kronik kemenangan Raden Wijaya atas pasukan Tar-tar (Dinasti Yuan) yang datang dari daratan Tiongkok dan menyerang Raja Jayakatwang (Kerajaan Kadiri) pada 1293. Peristiwa ini kemudian dimemorikan dalam benak masyarakat Indonesia sebagai tonggak awal berkembangnya perkampungan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar penerus Kerajaan Singosari dan Kerajaan Kadiri (Putri, 2018). Padahal fakta sejarah menunjukkan bahwa orang-orang Tionghoa sudah ada di Pulau Jawa sejak masa Dinasti Han (206-220 SM) (Yuanzhi, 2005).

Peristiwa sejarah yang terkenal dan terkenang bagi bangsa Indonesia selanjutnya ialah Geger Pecinan/Perang Sepanjang (1740-1743). Peristiwa ini menggambarkan bahwa pada suatu masa orang Tionghoa berperang bersama orang Jawa melawan pasukan Kompeni Hindia Belanda (VOC). Adapun dari sudut lain, perang ini justru dipandang sebagai upaya pemberontakan orang-orang Tionghoa dan sebagian orang Jawa terhadap kekuasaan Kerajaan Mataram (Paku Buwono II) yang bersekutu dengan pasukan Belanda dan Madura (Daradjadi, 2008).

Konflik ini juga melibatkan sosok ulama karismatik yakni Kiai Kasan Besari (kakek HOS Tjokroaminoto) dari Tegalsari, Ponorogo, yang diminta oleh PB II untuk membantu mengusir tentara gabungan Tionghoa-Jawa dari Keraton Mataram.

Lalu pada masa berikutnya, orang-orang Tionghoa sering dicurigai oleh kalangan pribumi sebagai antek penjajah karena mereka memiliki kedekatan hubungan dengan pihak kolonial Belanda. Kedekatan tersebut sebenarnya merupakan buah dari keahlian dan semangat mereka dalam perdagangan, yang kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang Eropa dan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mendukung mobilisasi ekonomi di wilayah jajahan (Johansyah, 2013).

Kondisi ini semakin diperparah dengan penerapan politik separatisme antargolongan penduduk di wilayah Hindia Belanda dalam bentuk pembagian kelas sosial dan pemisahan perkampungan berdasarkan ras/etnis sejak 1920. Akibatnya sangat minim terjadi dialog apalagi asimilasi antar-ras/etnis sehingga timbul rasa curiga dan persaingan antara kaum pribumi dan komunitas Tionghoa, khususnya di bidang ekonomi.

Persaingan ekonomi antara kaum pribumi dan komunitas Tionghoa pada suatu ketika mendorong lahirnya salah satu organisasi pelopor kesadaran kebangsaan di kalangan bumiputra, yakni Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini didirikan oleh H Samanhudi di Surakarta pada 1905 sebagai wadah persekutuan pedagang batik bumiputra untuk membendung pedagang Tionghoa yang memonopoli perdagangan bahan batik.

Pedagang-pedagang Tionghoa memiliki hak maupun status sosial yang lebih tinggi daripada pedagang dari kalangan bumiputra dan usahanya lebih maju. Monopoli bahan batik oleh pedagang Tionghoa itu mendapat dukungan dari pemerintah kolonial Belanda sehingga merugikan rakyat pribumi (Latifah, 2020). Pada 1918, KH Hasyim Asy’ari (kelak menjadi Rais Akbar NU) dan KH Wahab Khasbullah (kelak menjadi salah satu pendiri dan penggerak NU) juga memelopori pendirian organisasi Kebangkitan Saudagar/Nahdlatut Tujjar (NT), dengan tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat di desa dan mendorong kebangkitan ekonomi mandiri di kalangan masyarakat bumiputra (Fatwa, 2004). Kelak NT akan berkembang menjadi organisasi masyarakat Islam yang lebih besar dan luas cakupannya, yakni NU.

Sentimen berbasis rasial dan konflik-konflik sosial yang melibatkan orang-orang Tionghoa, baru terjadi sejak abad ke-19 Masehi. Salah satu contohnya ialah kerusuhan sosial antara pribumi dan Tionghoa di Kudus pada 1918 (Niam, 2011). Konflik ini bermula dari gesekan para santri yang sedang membangun area Masjid Menara Kudus dengan orang-orang Tionghoa yang melakukan pawai melalui area di depan masjid.

Gesekan tersebut membesar hingga menjadi peristiwa kerusuhan, pembunuhan, dan penjarahan harta benda orang-orang Tionghoa.

Sebagai implikasi dari konflik sosial tersebut, sekitar 2.000 orang Tionghoa melarikan diri ke Semarang, dan pemerintah kolonial Hindia Belanda mengambinghitamkan para ulama Kudus termasuk KH Raden Asnawi (kelak menjadi salah satu pendiri dan penggerak NU), dengan tuduhan bahwa mereka telah memberi fatwa yang membolehkan tindakan perusakan dan perampasan, serta memimpin tindakan anarkistis umat Islam terhadap orang-orang Tionghoa di Kudus (Masyhuri, 2017).

Ketika Kekaisaran Manchu di Tiongkok runtuh pada 1912, orang-orang Tionghoa di Nusantara mulai berani mengatakan kepada kaum bumiputra bahwa republik yang baru akan segera mengusir Belanda, lalu orang Tionghoa akan naik menjadi penguasa dan tuan untuk pribumi. Mereka bahkan menuntut agar kaum bumiputra menyebut orang-orang Tionghoa dengan sebutan toean dan memberikan penghormatan yang sama dengan golongan priayi atau orang Belanda (Shiraishi, 2005).

Namun, di sisi lain, juga terdapat beberapa orang Tionghoa yang memiliki andil dalam peristiwa Sumpah Pemuda 1928 di Batavia sebagai dasar kebangsaan Indonesia, antara lain, Sie Kong Liong (penyedia tempat pertemuan), Kwee Thiam Hong (anggota Jong Sumatranen Bond), serta tiga anggota Kepanduan dari Sumatra, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie. Bahkan lagu Indonesia Raya

yang dimainkan oleh WR Supratman pada saat Kongres Pemuda II juga direkam untuk pertama kalinya oleh pengusaha rekaman yang berdarah Tionghoa, yakni Yo Kim Tjan, dan liriknya dicetak dengan penuh keberanian oleh surat kabar Tionghoa Sin Po (Putri, 2017).

Persinggungan Tionghoa dan NU pascakemerdekaan Indonesia

Peran kebangsaan orang-orang Tionghoa dalam upaya menuju kemerdekaan Indonesia terus berkembang. Pada 1936 berdiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang bersikap anti-Belanda, menolak nasionalisme Tiongkok, dan menganjurkan bekerja sama dengan pergerakan nasionalis Indonesia untuk mencapai kemerdekaan negara melalui cara-cara yang konstitusional (Suryadinata, 2002).

Lalu pada masa menjelang kemerdekaan Negara Republik Indonesia, terdapat empat orang Tionghoa yang duduk dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), antara lain Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Mr Tan Eng Hua, dan Liem Koen Hian. Sementara itu, di dalam keanggotaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) juga terdapat satu orang Tionghoa yang turut meresmikan UUD 1945 yakni Jap Tjwan Bing (Lembong, 2002).

Meskipun demikian, pada 1950-an pemerintah Indonesia malah menerapkan kebijakan ‘Benteng’, yakni pemberian keistimewaan kepada para pengusaha pribumi berupa kemudahan untuk memperoleh hampir seluruh lisensi, kredit, dan pelayanan pemerintah guna ‘mengangkat’ kondisi ekonomi mereka. Namun, ternyata, kebijakan tersebut gagal. Pengusaha keturunan Tionghoa memiliki ketekunan dan kesungguhan yang lebih besar daripada pengusaha pribumi sehingga mereka mulai menguasai dunia usaha, baik yang bersifat peredaran/perdagangan barang-barang maupun pembuatan/produksinya walaupun terdapat pembatasan.

Bahkan, pembatasan kuota bagi orang Tionghoa di bidang pendidikan dalam negeri masa itu justru memantik mereka yang mayoritas kaya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri. Hal ini berimplikasi pada kemajuan pola pikir dan penguasaan keahlian yang selanjutnya membuat mereka mampu menempati posisi/jabatan manajer/pimpinan di perusahaan-perusahaan. Jika sudah terjadi demikian, narasi yang dimunculkan ialah persoalan ‘pribumi dan nonpribumi’, padahal persoalan sesungguhnya ialah kesenjangan antara kaya dan miskin (Wahid, 2006).

Persinggungan Tionghoa dan NU pada masa Orde Lama, terjadi setelah NU menetapkan keputusan untuk keluar dari Masyumi pada 5 April 1952 dan berdiri menjadi partai politik tersendiri. NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi setelah terjadi konflik internal, yang mana tidak ada perwakilan NU di kabinet khususnya pada posisi menteri agama.

Hal itu sebenarnya merupakan bagian dari siasat politik para elite Masyumi untuk melokalisasi peran para Ulama NU hanya di ranah keagamaan. Maka, keputusan NU untuk keluar dari Masyumi ditegaskan kembali melalui Teks Putusan Muktamar Ke-19 NU di Palembang. Di samping itu, NU juga mengusulkan agar Masyumi mereorganisasi diri (dikembalikan bentuknya) menjadi badan federasi (seperti pada zaman pendudukan Jepang).

Selanjutnya, Partai Nahdlatul Ulama (PNU) bersama-sama dengan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), Dar al Da’wah wa al Irsyad, dan Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia (PTII) mendirikan Liga Muslimin Indonesia (LMI) sebagai suatu wadah federasi bagi partai-partai politik Islam di Indonesia (Noer, 2000).

Pada masa berikutnya, terutama pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), orang Tionghoa di Indonesia telah dikambinghitamkan secara massal oleh rezim Orde Baru (pemerintahan Presiden Soeharto) yang berkuasa setelah berhasil menggulingkan Rezim Orde Lama (pemerintahan Presiden Soekarno).

Pada masa ini, orang-orang Tionghoa mengalami diskriminasi atau menjadi korban dari upaya cultural genocide selama lebih dari 30 tahun. Mereka di-framing sebagai komunitas eksklusif yang mengeruk keuntungan dalam perekonomian nasional dan dituduh sebagai penyokong gerakan komunis di Indonesia/dicap sebagai perpanjangan tangan dari kepentingan rezim komunis di Beijing (Republik Rakyat Tiongkok) (Rustopo, 2007).

Implikasinya, hubungan pribumi dan Tionghoa menjadi renggang, begitu pula hubungan bilateral antara Indonesia dan RRT. Dalam konteks sosial dan politik yang sedemikian ini, NU secara nasional mengambil sikap yang berseberangan dengan paham komunisme, dan sangat mendukung kebijakan pembubaran PKI beserta penindakan kader-kadernya. Namun, PBNU tidak secara eksplisit mengarah pada orang-orang Tionghoa.

Benturan antara NU dan Tionghoa terjadi dalam beberapa kasus di akar rumput yang melibatkan struktur di tingkat cabang/daerah. Misalnya desakan dari PCNU Talang Padang pada 12 Juni 1966 agar warga Tionghoa dikembalikan ke negeri Tiongkok (ANRI, 2015).

Di sisi lain, terdapat kisah-kisah hubungan yang harmonis antara personal tokoh NU atau pemimpin pesantren NU dengan komunitas Tionghoa. Namun, kisahnya tidak banyak terekspos dalam pers kala itu, sebab media massa mengalami keterbatasan teknologi dan dikontrol secara ketat oleh rezim Orde Baru. Misalnya kisah Kiai Abbas Abdul Jamil dari Buntet Pesantren, Cirebon, yang bersikap moderat terhadap masyarakat Tionghoa (Fiza, 2018).

Lalu kisah KH Ahmad Umar Abdul Mannan dari Pondok Pesantren Al-Muayyad Magkuyudan, Surakarta, yang juga sangat toleran terhadap etnis Tionghoa (Ishom, 2016). Bahkan, di dalam NU sendiri terdapat kader dari peranakan Tionghoa, salah satunya Tan Kim Liong (Notonegoro, 2018). Puncaknya, saat hubungan sosial antara masyarakat pribumi dan komunitas Tionghoa menjadi chaos

karena krisis ekonomi-politik yang terjadi menjelang Reformasi 1998, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU justru tampil sebagai pembela orang-orang Tionghoa.

Selepas peristiwa kerusuhan Mei 1998, Gus Dur menyerukan kepada warga keturunan Tionghoa yang saat itu berada/melarikan diri di luar negeri untuk segera kembali ke Indonesia dan menjamin keselamatan mereka. Sementara itu, warga pribumi diimbau agar mau menerima dan membaur dengan warga keturunan Tionghoa. Perjuangan Gus Dur membela minoritas Tionghoa terus berlanjut hingga ia dilantik sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia.

Pada masa pemerintahannya, Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden RI No 6/2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dengan menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002 (Ibad & AF, 2012).

Tiongkok dan NU di era reformasi

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berhasil dipulihkan pada 8 Agustus 1990. Selanjutnya pemerintah kedua negara melakukan penandatanganan Strategic Partnership pada 25 April 2005. Kemitraan ini mencakup kerja sama di bidang politik dan keamanan; ekonomi dan pembangunan; sosial-budaya; serta bentuk kerja sama bilateral lainnya.

Setelah penandatanganan tersebut, hubungan bilateral antara Indonesia dan RRT bisa dikatakan menjadi semakin berkembang pesat (Sudjatmiko, 2012). Hal ini ditandai dengan adanya kesepakatan Comprehensive Strategic Partnership di antara kedua negara sejak 2013 (Hasanah, 2021).

Kemudian saat ini Indonesia juga tergabung dalam proyek kerja sama global (multilateral) yang digagas oleh RRT yakni One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI) sejak 2017.

Salah satu aktor non-negara di tingkat nasional yang menjadi fokus kebijakan luar negeri RRT terhadap Islam dan Indonesia ialah NU. Bagi RRT, NU merupakan mitra untuk melakukan diplomasi publik khususnya kepada umat Islam yang merupakan agama mayoritas bagi penduduk Indonesia, dan memiliki pengaruh dalam politik domestik (Rakhmat, 2022).

Sementara itu, di sisi NU, RRT memberikan beberapa manfaat bagi jam’iyyah dan warga Nahdliyin, seperti memberikan bantuan/donasi, beasiswa pendidikan, kerja sama ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menjadi mitra untuk menyebarluaskan Islam Nusantara atau moderasi beragama yang digagas oleh para ulama. Di samping itu, pada masa Gus Dur menjadi Presiden RI, pilihan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan RRT merupakan dorongan politik nasional untuk mengimbangi pengaruh Barat (AS dan sekutu). Gus Dur juga memiliki pehitungan dan intuisi bahwa Tiongkok akan menjadi salah satu kekuatan global pada masa-masa ke depan.

Pada masa sekarang ini, kedekatan NU dan RRT in line dengan kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin (Rais ‘Aam NU 2015-2018). Di sisi lain, juga terdapat upaya pendekatan yang dilakukan oleh pihak RRT terhadap NU secara aktif dan efektif dalam berbagai bentuk. Misalnya, mereka menjalin kerja sama dengan pengurus NU di daerah ataupun pesantren-pesantren NU di akar rumput dalam bentuk seminar, pertukaran pelajar, pelatihan bahasa, dan/atau pemberian beasiswa kepada para santri untuk belajar hingga ke negeri Tiongkok.

Hal ini, sebagaimana temuan dalam penelitian Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang PhD (staf pengajar Hubungan Internasional Universitas Indonesia) tentang peran kaum santri dalam hubungan Indonesia-RRT. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa peran NU dapat memperluas cakupan interaksi Indonesia dan Tiongkok, terkhusus kualitas interaksi antara komunitas muslim Tionghoa dan Indonesia. PCINU Tiongkok juga mengambil peran dalam menjembatani, menghubungkan, memediasi, memunculkan diskursus alternatif, dan memperkaya diskusi tentang RRT (NU Online , 2020).

Di balik mesranya hubungan NU dengan Tiongkok, ternyata ada semacam bara api dalam sekam atau kerikil dalam sepatu yang sewaktu-waktu dapat membakar atau sekadar membuat tidak nyaman jalannya relasi di antara keduanya. Setidaknya ada tiga. Pertama, isu pelanggaran HAM terhadap etnis muslim Uighur di Xinjiang yang dilakukan oleh pemerintah RRT. Terkait hal ini, PBNU mengambil sikap yang berimbang, antara tetap menyuarakan isu tersebut sebagai bentuk keprihatinan terhadap sesama muslim, tetapi tidak mau terjebak dalam narasi Barat yang memiliki tujuan politik lain terhadap RRT.

Kedua, isu pelanggaran batas teritorial RI oleh RRT di Laut Natuna Utara. Terkait isu ini PBNU mengambil sikap tegas mendukung kedaulatan dan integritas wilayah NKRI.

Ketiga, pergantian kepemimpinan Indonesia di tingkat nasional pada 2024, yang mana pemimpin baru belum tentu akan condong ke RRT sebagaimana pemimpin sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan bagi hubungan NU dengan RRT, apakah hubungan itu dibangun atas dasar independensi dan konsistensi, atau sekadar mengikuti pola kepemimpinan nasional.

Keempat, gesekan sosial-ekonomi akibat kesenjangan pendapatan, atau bahkan perbedaan kekayaan antara warga Tionghoa dan warga non-Tionghoa yang dipolitisasi. Hal ini patut diwaspadai oleh NU, mengingat masih adanya beberapa narasi kebencian yang laten seperti ‘pribumi vs Tionghoa’, ‘9 Naga’, ‘TKA Tiongkok’, dan sebagainya.

Sampai di sini kita dapat melihat tanda-tanda adanya keterkaitan/hubungan antara Tionghoa, Tiongkok, dan NU, yang mana pada bagian awal tulisan ini kita sebut layaknya love-hate relationship

. Pada akhirnya, relasi yang sedemikian itu akan menghasilkan suatu kebaikan jika pihak-pihak yang menjalin hubungan menjadi lebih dewasa dalam bersikap toleran dan tetap membuka jalur dialog, tetapi sebaliknya akan menghasilkan suatu keburukan jika menjadi dendam dan sentimen yang berkelanjutan.

TIONGHOA dan Tiongkok merupakan dua istilah yang berkaitan, tetapi berbeda makna. Jika merujuk pada Keputusan Presiden RI No 12/2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, istilah Tionghoa merujuk pada penyebutan untuk orang dan/atau komunitas yang sebelumnya disebut sebagai Tjina/Cina/China. Lalu istilah Tiongkok merujuk pada nama negara yang sebelumnya disebut Republik Rakyat China menjadi Republik Rakyat Tiongkok. 

Ketetapan ini berlaku dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, dengan tujuan menghapus psikososial-diskriminatif yang dialami oleh warga bangsa Indonesia keturunan Tionghoa dalam relasi sosial sebelumnya. Hal ini juga menjadi bagian dari komitmen pemerintah RI untuk menegakkan HAM serta menghapuskan diskriminasi ras dan etnis, sesuai nilai dan prinsip perlindungan warga bangsa dalam UUD 1945. Di samping itu, pulihnya hubungan baik dan semakin eratnya hubungan bilateral antara Indonesia dan Negara People’s Republic of China juga dipandang sebagai pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan tersebut. 

Berbicara mengenai Tionghoa dan Tiongkok, tentu ada bagian dari sejarahnya yang bersinggungan dengan dinamika Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia. Bukan hanya karena secara demonstratif PBNU saat ini memiliki bendahara umum seorang keturunan Tionghoa, yakni H Mohammad Jusuf Hamka atau yang akrab disapa Babah Alun. Namun, jauh sebelum itu terdapat pertalian sejarah NU dengan Tionghoa dan Tiongkok, bahkan bisa dikatakan mengalami apa yang disebut oleh generasi muda sekarang ini sebagai love-hate relationship.

Merujuk pada Cambridge Dictionary, love-hate relationship  dimaknai sebagai strong feelings about someone or something that are a mixture of love and hate . Sementara Melwani & Rothman (2015) mendefinisikannya sebagai ambivalensi dalam sebuah hubungan yang ditandai dengan adanya konflik dan ketegangan, yang melibatkan perasaan positif dan negatif terhadap pihak lain. Hal ini memang pernah terjadi dalam dinamika sejarah NU sebagai bentuk respons jam’iyyah  atas kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang berkembang pada masanya, baik di tingkat nasional maupun internasional.

 

Kilas Balik Eksistensi Tionghoa di Nusantara dan Hindia Belanda

Di tingkat nasional, belum banyak tulisan ilmiah yang secara komprehensif mengkaji tentang relasi NU sebagai ormas Islam yang didirikan pada 1926 dengan komunitas etnis Tionghoa pada masa sebelum kemerdekaan RI. Kita hanya mengetahui beberapa narasi sejarah Nusantara mengenai peristiwa-peristiwa besar yang secara umum menggambarkan interaksi  etnis Tionghoa dengan kaum pribumi, Belanda, dan politik Islam. 

Peristiwa yang paling lampau menggambarkan hal ini ialah kronik kemenangan Raden Wijaya atas pasukan Tar-tar (Dinasti Yuan) yang datang dari daratan Tiongkok dan menyerang Raja Jayakatwang (Kerajaan Kadiri) pada 1293. Peristiwa ini kemudian dimemorikan dalam benak masyarakat Indonesia sebagai tonggak awal berkembangnya perkampungan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar penerus Kerajaan Singosari dan Kerajaan Kadiri (Putri, 2018). Padahal fakta sejarah menunjukkan bahwa orang-orang Tionghoa sudah ada di Pulau Jawa sejak masa Dinasti Han (206-220 SM) (Yuanzhi, 2005). 

Peristiwa sejarah yang terkenal dan terkenang bagi bangsa Indonesia selanjutnya ialah Geger Pecinan/Perang Sepanjang (1740-1743). Peristiwa ini menggambarkan bahwa pada suatu masa orang Tionghoa berperang bersama orang Jawa melawan pasukan Kompeni Hindia Belanda (VOC). Adapun dari sudut lain, perang ini justru dipandang sebagai upaya pemberontakan orang-orang Tionghoa dan sebagian orang Jawa terhadap kekuasaan Kerajaan Mataram (Paku Buwono II) yang bersekutu dengan pasukan Belanda dan Madura (Daradjadi, 2008). 

Konflik ini juga melibatkan sosok ulama karismatik yakni Kiai Kasan Besari (kakek HOS Tjokroaminoto) dari Tegalsari, Ponorogo, yang diminta oleh PB II untuk membantu mengusir tentara gabungan Tionghoa-Jawa dari Keraton Mataram. 

Lalu pada masa berikutnya, orang-orang Tionghoa sering dicurigai oleh kalangan pribumi sebagai antek penjajah karena mereka memiliki kedekatan hubungan dengan pihak kolonial Belanda. Kedekatan tersebut sebenarnya merupakan buah dari keahlian dan semangat mereka dalam perdagangan, yang kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang Eropa dan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mendukung mobilisasi ekonomi di wilayah jajahan (Johansyah, 2013). 

Kondisi ini semakin diperparah dengan penerapan politik separatisme antargolongan penduduk di wilayah Hindia Belanda dalam bentuk pembagian kelas sosial dan pemisahan perkampungan berdasarkan ras/etnis sejak 1920. Akibatnya sangat minim terjadi dialog apalagi asimilasi antar-ras/etnis sehingga timbul rasa curiga dan persaingan antara kaum pribumi dan komunitas Tionghoa, khususnya di bidang ekonomi.

Persaingan ekonomi antara kaum pribumi dan komunitas Tionghoa pada suatu ketika mendorong lahirnya salah satu organisasi pelopor kesadaran kebangsaan di kalangan bumiputra, yakni Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini didirikan oleh H Samanhudi di Surakarta pada 1905 sebagai wadah persekutuan pedagang batik bumiputra untuk membendung pedagang Tionghoa yang memonopoli perdagangan bahan batik. 

Pedagang-pedagang Tionghoa memiliki hak maupun status sosial yang lebih tinggi daripada pedagang dari kalangan bumiputra dan usahanya lebih maju. Monopoli bahan batik oleh pedagang Tionghoa itu mendapat dukungan dari pemerintah kolonial Belanda sehingga merugikan rakyat pribumi (Latifah, 2020). Pada 1918, KH Hasyim Asy’ari (kelak menjadi Rais Akbar NU) dan KH Wahab Khasbullah (kelak menjadi salah satu pendiri dan penggerak NU) juga memelopori pendirian organisasi Kebangkitan Saudagar/Nahdlatut Tujjar (NT), dengan tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat di desa dan mendorong kebangkitan ekonomi mandiri di kalangan masyarakat bumiputra (Fatwa, 2004). Kelak NT akan berkembang menjadi organisasi masyarakat Islam yang lebih besar dan luas cakupannya, yakni NU.

Sentimen berbasis rasial dan konflik-konflik sosial yang melibatkan orang-orang Tionghoa, baru terjadi sejak abad ke-19 Masehi. Salah satu contohnya ialah kerusuhan sosial antara pribumi dan Tionghoa di Kudus pada 1918 (Niam, 2011). Konflik ini bermula dari gesekan para santri yang sedang membangun area Masjid Menara Kudus dengan orang-orang Tionghoa yang melakukan pawai melalui area di depan masjid. 

Gesekan tersebut membesar hingga menjadi peristiwa kerusuhan, pembunuhan, dan penjarahan harta benda orang-orang Tionghoa. 

Sebagai implikasi dari konflik sosial tersebut, sekitar 2.000 orang Tionghoa melarikan diri ke Semarang, dan pemerintah kolonial Hindia Belanda mengambinghitamkan para ulama Kudus termasuk KH Raden Asnawi (kelak menjadi salah satu pendiri dan penggerak NU), dengan tuduhan bahwa mereka telah memberi fatwa yang membolehkan tindakan perusakan dan perampasan, serta memimpin tindakan anarkistis umat Islam terhadap orang-orang Tionghoa di Kudus (Masyhuri, 2017).

Ketika Kekaisaran Manchu di Tiongkok runtuh pada 1912, orang-orang Tionghoa di Nusantara mulai berani mengatakan kepada kaum bumiputra bahwa republik yang baru akan segera mengusir Belanda, lalu orang Tionghoa akan naik menjadi penguasa dan tuan untuk pribumi. Mereka bahkan menuntut agar kaum bumiputra menyebut orang-orang Tionghoa dengan sebutan toean  dan memberikan penghormatan yang sama dengan golongan priayi atau orang Belanda (Shiraishi, 2005). 

Namun, di sisi lain, juga terdapat beberapa orang Tionghoa yang memiliki andil dalam peristiwa Sumpah Pemuda 1928 di Batavia sebagai dasar kebangsaan Indonesia, antara lain, Sie Kong Liong (penyedia tempat pertemuan), Kwee Thiam Hong (anggota Jong Sumatranen Bond), serta tiga anggota Kepanduan dari Sumatra, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie. Bahkan lagu Indonesia Raya

 yang dimainkan oleh WR Supratman pada saat Kongres Pemuda II juga direkam untuk pertama kalinya oleh pengusaha rekaman yang berdarah Tionghoa, yakni Yo Kim Tjan, dan liriknya dicetak dengan penuh keberanian oleh surat kabar Tionghoa Sin Po  (Putri, 2017). 

Persinggungan Tionghoa dan NU pascakemerdekaan Indonesia

Peran kebangsaan orang-orang Tionghoa dalam upaya menuju kemerdekaan Indonesia terus berkembang. Pada 1936 berdiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang bersikap anti-Belanda, menolak nasionalisme Tiongkok, dan menganjurkan bekerja sama dengan pergerakan nasionalis Indonesia untuk mencapai kemerdekaan negara melalui cara-cara yang konstitusional (Suryadinata, 2002). 

Lalu pada masa menjelang kemerdekaan Negara Republik Indonesia, terdapat empat orang Tionghoa yang duduk dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), antara lain Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Mr Tan Eng Hua, dan Liem Koen Hian. Sementara itu, di dalam keanggotaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) juga terdapat satu orang Tionghoa yang turut meresmikan UUD 1945 yakni Jap Tjwan Bing (Lembong, 2002). 

Meskipun demikian, pada 1950-an pemerintah Indonesia malah menerapkan kebijakan ‘Benteng’, yakni pemberian keistimewaan kepada para pengusaha pribumi berupa kemudahan untuk memperoleh hampir seluruh lisensi, kredit, dan pelayanan pemerintah guna ‘mengangkat’ kondisi ekonomi mereka. Namun, ternyata, kebijakan tersebut gagal. Pengusaha keturunan Tionghoa memiliki ketekunan dan kesungguhan yang lebih besar daripada pengusaha pribumi sehingga mereka mulai menguasai dunia usaha, baik yang bersifat peredaran/perdagangan barang-barang maupun pembuatan/produksinya walaupun terdapat pembatasan. 

Bahkan, pembatasan kuota bagi orang Tionghoa di bidang pendidikan dalam negeri masa itu justru memantik mereka yang mayoritas kaya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri. Hal ini berimplikasi pada kemajuan pola pikir dan penguasaan keahlian yang selanjutnya membuat mereka mampu menempati posisi/jabatan manajer/pimpinan di perusahaan-perusahaan. Jika sudah terjadi demikian, narasi yang dimunculkan ialah persoalan ‘pribumi dan nonpribumi’, padahal persoalan sesungguhnya ialah kesenjangan antara kaya dan miskin (Wahid, 2006).

Persinggungan Tionghoa dan NU pada masa Orde Lama, terjadi setelah NU menetapkan keputusan untuk keluar dari Masyumi pada 5 April 1952 dan berdiri menjadi partai politik tersendiri. NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi setelah terjadi konflik internal, yang mana tidak ada perwakilan NU di kabinet khususnya pada posisi menteri agama. 

Hal itu sebenarnya merupakan bagian dari siasat politik para elite Masyumi untuk melokalisasi peran para Ulama NU hanya di ranah keagamaan. Maka, keputusan NU untuk keluar dari Masyumi ditegaskan kembali melalui Teks Putusan Muktamar Ke-19 NU di Palembang. Di samping itu, NU juga mengusulkan agar Masyumi mereorganisasi diri (dikembalikan bentuknya) menjadi badan federasi (seperti pada zaman pendudukan Jepang). 

Selanjutnya, Partai Nahdlatul Ulama (PNU) bersama-sama dengan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), Dar al Da’wah wa al Irsyad, dan Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia (PTII) mendirikan Liga Muslimin Indonesia (LMI) sebagai suatu wadah federasi bagi partai-partai politik Islam di Indonesia (Noer, 2000). 

Pada masa berikutnya, terutama pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), orang Tionghoa di Indonesia telah dikambinghitamkan secara massal oleh rezim Orde Baru (pemerintahan Presiden Soeharto) yang berkuasa setelah berhasil menggulingkan Rezim Orde Lama (pemerintahan Presiden Soekarno). 

Pada masa ini, orang-orang Tionghoa mengalami diskriminasi atau menjadi korban dari upaya cultural genocide  selama lebih dari 30 tahun. Mereka di-framing  sebagai komunitas eksklusif yang mengeruk keuntungan dalam perekonomian nasional dan dituduh sebagai penyokong gerakan komunis di Indonesia/dicap sebagai perpanjangan tangan dari kepentingan rezim komunis di Beijing (Republik Rakyat Tiongkok) (Rustopo, 2007). 

Implikasinya, hubungan pribumi dan Tionghoa menjadi renggang, begitu pula hubungan bilateral antara Indonesia dan RRT. Dalam konteks sosial dan politik yang sedemikian ini, NU secara nasional mengambil sikap yang berseberangan dengan paham komunisme, dan sangat mendukung kebijakan pembubaran PKI beserta penindakan kader-kadernya. Namun, PBNU tidak secara eksplisit mengarah pada orang-orang Tionghoa. 

Benturan antara NU dan Tionghoa terjadi dalam beberapa kasus di akar rumput yang melibatkan struktur di tingkat cabang/daerah. Misalnya desakan dari PCNU Talang Padang pada 12 Juni 1966 agar warga Tionghoa dikembalikan ke negeri Tiongkok (ANRI, 2015).

Di sisi lain, terdapat kisah-kisah hubungan yang harmonis antara personal tokoh NU atau pemimpin pesantren NU dengan komunitas Tionghoa. Namun, kisahnya tidak banyak terekspos dalam pers kala itu, sebab media massa mengalami keterbatasan teknologi dan dikontrol secara ketat oleh rezim Orde Baru. Misalnya kisah Kiai Abbas Abdul Jamil dari Buntet Pesantren, Cirebon, yang bersikap moderat terhadap masyarakat Tionghoa (Fiza, 2018). 

Lalu kisah KH Ahmad Umar Abdul Mannan dari Pondok Pesantren Al-Muayyad Magkuyudan, Surakarta, yang juga sangat toleran terhadap etnis Tionghoa (Ishom, 2016). Bahkan, di dalam NU sendiri terdapat kader dari peranakan Tionghoa, salah satunya Tan Kim Liong (Notonegoro, 2018). Puncaknya, saat hubungan sosial antara masyarakat pribumi dan komunitas Tionghoa menjadi chaos

 karena krisis ekonomi-politik yang terjadi menjelang Reformasi 1998, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU justru tampil sebagai pembela orang-orang Tionghoa. 

Selepas peristiwa kerusuhan Mei 1998, Gus Dur menyerukan kepada warga keturunan Tionghoa yang saat itu berada/melarikan diri di luar negeri untuk segera kembali ke Indonesia dan menjamin keselamatan mereka. Sementara itu, warga pribumi diimbau agar mau menerima dan membaur dengan warga keturunan Tionghoa. Perjuangan Gus Dur membela minoritas Tionghoa terus berlanjut hingga ia dilantik sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia. 

Pada masa pemerintahannya, Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden RI No 6/2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dengan menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002 (Ibad & AF, 2012). 

 

Tiongkok dan NU di era reformasi

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berhasil dipulihkan pada 8 Agustus 1990. Selanjutnya pemerintah kedua negara melakukan penandatanganan Strategic Partnership pada 25 April 2005. Kemitraan ini mencakup kerja sama di bidang politik dan keamanan; ekonomi dan pembangunan; sosial-budaya; serta bentuk kerja sama bilateral lainnya. 

Setelah penandatanganan tersebut, hubungan bilateral antara Indonesia dan RRT bisa dikatakan menjadi semakin berkembang pesat (Sudjatmiko, 2012). Hal ini ditandai dengan adanya kesepakatan Comprehensive Strategic Partnership di antara kedua negara sejak 2013 (Hasanah, 2021). 

Kemudian saat ini Indonesia juga tergabung dalam proyek kerja sama global (multilateral) yang digagas oleh RRT yakni One Belt One Road   (OBOR) atau Belt and Road Initiative  (BRI) sejak 2017.

Salah satu aktor non-negara di tingkat nasional yang menjadi fokus kebijakan luar negeri RRT terhadap Islam dan Indonesia ialah NU. Bagi RRT, NU merupakan mitra untuk melakukan diplomasi publik khususnya kepada umat Islam yang merupakan agama mayoritas bagi penduduk Indonesia, dan memiliki pengaruh dalam politik domestik (Rakhmat, 2022). 

Sementara itu, di sisi NU, RRT memberikan beberapa manfaat bagi jam’iyyah  dan warga Nahdliyin, seperti memberikan bantuan/donasi, beasiswa pendidikan, kerja sama ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menjadi mitra untuk menyebarluaskan Islam Nusantara atau moderasi beragama yang digagas oleh para ulama. Di samping itu, pada masa Gus Dur menjadi Presiden RI, pilihan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan RRT merupakan dorongan politik nasional untuk mengimbangi pengaruh Barat (AS dan sekutu). Gus Dur juga memiliki pehitungan dan intuisi bahwa Tiongkok akan menjadi salah satu kekuatan global pada masa-masa ke depan.

Pada masa sekarang ini, kedekatan NU dan RRT in line  dengan kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin (Rais ‘Aam NU 2015-2018). Di sisi lain, juga terdapat upaya pendekatan yang dilakukan oleh pihak RRT terhadap NU secara aktif dan efektif dalam berbagai bentuk. Misalnya, mereka menjalin kerja sama dengan pengurus NU di daerah ataupun pesantren-pesantren NU di akar rumput dalam bentuk seminar, pertukaran pelajar, pelatihan bahasa, dan/atau pemberian beasiswa kepada para santri untuk belajar hingga ke negeri Tiongkok. 

Hal ini, sebagaimana temuan dalam penelitian Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang PhD (staf pengajar Hubungan Internasional Universitas Indonesia) tentang peran kaum santri dalam hubungan Indonesia-RRT. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa peran NU dapat memperluas cakupan interaksi Indonesia dan Tiongkok, terkhusus kualitas interaksi antara komunitas muslim Tionghoa dan Indonesia. PCINU Tiongkok juga mengambil peran dalam menjembatani, menghubungkan, memediasi, memunculkan diskursus alternatif, dan memperkaya diskusi tentang RRT (NU Online , 2020).

Di balik mesranya hubungan NU dengan Tiongkok, ternyata ada semacam bara api dalam sekam atau kerikil dalam sepatu yang sewaktu-waktu dapat membakar atau sekadar membuat tidak nyaman jalannya relasi di antara keduanya. Setidaknya ada tiga. Pertama, isu pelanggaran HAM terhadap etnis muslim Uighur di Xinjiang yang dilakukan oleh pemerintah RRT. Terkait hal ini, PBNU mengambil sikap yang berimbang, antara tetap menyuarakan isu tersebut sebagai bentuk keprihatinan terhadap sesama muslim, tetapi tidak mau terjebak dalam narasi Barat yang memiliki tujuan politik lain terhadap RRT. 

Kedua, isu pelanggaran batas teritorial RI oleh RRT di Laut Natuna Utara. Terkait isu ini PBNU mengambil sikap tegas mendukung kedaulatan dan integritas wilayah NKRI. 

Ketiga, pergantian kepemimpinan Indonesia di tingkat nasional pada 2024, yang mana pemimpin baru belum tentu akan condong ke RRT sebagaimana pemimpin sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan bagi hubungan NU dengan RRT, apakah hubungan itu dibangun atas dasar independensi dan konsistensi, atau sekadar mengikuti pola kepemimpinan nasional. 

Keempat, gesekan sosial-ekonomi akibat kesenjangan pendapatan, atau bahkan perbedaan kekayaan antara warga Tionghoa dan warga non-Tionghoa yang dipolitisasi. Hal ini patut diwaspadai oleh NU, mengingat masih adanya beberapa narasi kebencian yang laten seperti ‘pribumi vs Tionghoa’, ‘9 Naga’, ‘TKA Tiongkok’, dan sebagainya. 

Sampai di sini kita dapat melihat tanda-tanda adanya keterkaitan/hubungan antara Tionghoa, Tiongkok, dan NU, yang mana pada bagian awal tulisan ini kita sebut layaknya love-hate relationship

. Pada akhirnya, relasi yang sedemikian itu akan menghasilkan suatu kebaikan jika pihak-pihak yang menjalin hubungan menjadi lebih dewasa dalam bersikap toleran dan tetap membuka jalur dialog, tetapi sebaliknya akan menghasilkan suatu keburukan jika menjadi dendam dan sentimen yang berkelanjutan.