Potret Buram Polri, Menegakkan Hukum dengan Melanggar Hukum

7 July 2023, 14:53

Jakarta, CNN Indonesia — Menginjak usia ke-77 tahun, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) masih mendapat catatan kritis dari publik, terutama soal kasus kekerasan, arogansi hingga pungli di Korps Bhayangkara.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Diwarnai 58 tindakan kekerasan, 46 kasus penangkapan sewenang-wenang, dan 13 peristiwa penggunaan gas air mata.
“Kekerasan yang diduga melibatkan Polri menyebabkan 1362 orang luka-luka, 661 orang ditangkap, 187 nyawa melayang, dan 49 peristiwa lainnya,” kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (4/7).

Sebagai contoh, kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat yang dilakukan eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Menurutnya, peristiwa itu seakan mempertontonkan budaya kekerasan yang dilakukan korps Bhayangkara.
“Kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat memperlihatkan secara gamblang kultur kekerasan dalam tubuh Polri yang bahkan menelan korban dari kalangan Korps Bhayangkara sendiri,” ucap Fatia.
KontraS juga menyoroti ada 26 peristiwa yang melibatkan Satreskrim tidak sesuai dengan prosedur dan 29 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 41 orang.

Mayoritas dilakukan aparat kepolisian saat melakukan penindakan atau upaya paksa terhadap terduga pelaku tindak pidana. Perilaku itu tidak hanya merampas hak orang untuk hidup, tetapi merampas hak diadili melalui proses pengadilan.
Umumnya pembunuhan yang dilakukan aparat kepolisian berdalih melindungi diri dari serangan. Namun, KontraS menemukan adanya pembunuhan itu terhadap orang yang tak melakukan perlawanan.
“Dari 29 extrajudicial killing, terdapat 7 kasus pembunuhan terhadap orang yang tak melakukan perlawanan. Kemudian ada lima kasus terjadi kepada orang yang melarikan diri. Jadi, tersangka dianggap melawan ketika kabur,” bebernya.
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS Rozy Brilian menilai arogansi dan kekerasan yang terjadi di Polri merupakan krisis keteladanan yang berawal dari pembiaran para petinggi Polri kepada bawahannya saat melakukan tindakan yang tak sesuai.
“Bicara soal kekerasan di kepolisian, permasalahan utamanya adalah krisis keteladanan. Aparat seringkali melegitimasi kekerasan yang dilakukan, khususnya dari atasan kepada bawahannya,” ujar Rozy di kantor KontraS.
Menurut Rozy, seharusnya seorang atasan bisa melakukan kontrol kepada bawahan agar bisa melakukan tindakan sesuai peraturan perundang-undangan dan standar yang berlaku di lapangan.
“Saya justru melihat seorang atasan Polri justru melakukan pembiaran bahkan melegitimasi. Misalnya aparat melakukan tindakan di lapangan yang tidak sesuai, petingginya lantas mengatakan tindakan tersebut sudah sesuai,” tuturnya.
Ia juga memberikan satu contoh kasus, yakni penembakan Laskar FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 yang terjadi pada awal Desember 2020 dan menewaskan enam orang. Kasus tersebut merupakan sikap pembiaran Polri terhadap perlakukan tak sesuai standar aparat dan dilakukan secara terus menerus hingga hari ini.
“Hal itu sebetulnya termasuk dalam tindakan eksekusi di tempat alias unlawful killing. Akan tetapi pada saat itu petinggi Polri melakukan konferensi pers bahwa itu tindakan terukur dan harus diambil, bahkan ada petinggi TNI juga kala itu yang melegitimasi,” kata dia.

“Bahkan, ketika seorang bawahan akan merasa aman dan merasa dilindungi saat melakukan pelanggaran karena situasinya mendukung untuk melakukan tindakan tersebut. Itu menimbulkan nuansa arogansi dan merasa kebal hukum,” ucapnya.
Rozy mengatakan arogansi aparat kepolisian itu tercipta dari persepsi subjek yang lebih tinggi strata sosialnya dibandingkan masyarakat sipil lain. Sebab, kata dia, polisi memiliki kewenangan dan dipersenjatai.
“Perilaku tersebut akhirnya membuat aparat kepolisian merasa bisa melakukan apa saja dalam menegakkan hukum. Nilai-nilai dan tindakan yang dinormalisasi tersebut akhirnya menjadi kultur atau budaya kekerasan yang dipertahankan,” ujar Rozy.
Ia mengatakan pelatihan dan pendidikan Polri seharusnya betul-betul diterjemahkan secara utuh di lapangan, bukan sekadar teori. Dia juga menilai Perkap Nomor 8 Tahun 2009 soal implementasi HAM dalam tindakan kepolisian di lapangan belum berjalan secara baik.
“Padahal, materi soal Hak Asasi Manusia (HAM) itu ada di kepolisian dalam beberapa waktu terakhir, namun implementasinya di lapangan sangat kurang. Karena pendidikan teori Polri itu cenderung mengutamakan konteks penggunaan senjata api,” kata dia.
Menurut Rozy, aparat kepolisian yang dipersenjatai untuk menegakkan hukum seharusnya punya bekal, siap secara psikologis, dan mental dalam melakukan tindakan di lapangan.
“Jadi, jangan sampai pelatihan delapan bulan di kepolisian itu hanya memberi bekal soal senjata api kemudian dilepas begitu saja di lapangan,” ujar Rozy.
Indonesia Police Watch (IPW) menilai slogan presisi (prediktif, responsibilitas, dan tranparansi berkeadilan) masih mengalami ujian berat. Terutama dalam hal penanganan masalah internal di mana anggota Polri melakukan penyimpangan-penyimpangan melalui penyalahgunaan wewenang, pemerasan, hingga pungli.
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menyebut masih banyak anggota yang melakukan penyimpangan disembunyikan, ditutup-tutupi bahkan dibela oleh para pelaksana satuan kerja di bawah Kapolri Jenderal Listyo Sigit.
“Seperti yang terjadi secara nyata pada lima anggota polri di Jawa Tengah yang melakukan pungli terhadap penerimaan calon Bintara Polri tahun 2022 melalui tangkap tangan dari Divpropam Polri. Awalnya dibela dengan sanksi ringan tapi akhirnya dipecat setelah Kapolri bersikap tegas,” kata Sugeng dalam keterangan tertulis.
Deretan kasus yang dilakukan anggota Polri juga menjadi perhatian khusus Presiden Joko Widodo.
Dalam Sambutannya di acara HUT ke-77 Bhayangkara Polri Sabtu (1/7) lalu, Jokowi memberi peringatan keras agar Polri berhati-hati dalam setiap gerak-geriknya terutama yang melenceng dari tugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
“Hati-hati, sekarang ini segala sesuatu bisa direkam, bisa disebar luaskan gerak-gerik Polri. Sekecil apapun tidak bisa ditutup-tutupi lagi,” ucap Jokowi di Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (1/7).

Jokowi mengingatkan sebagai institusi yang memiliki kewenangan serta kekuatan besar, Polri harus mampu menggunakannya dengan benar dan jangan ada yang sampai disalahgunakan.
“Jangan ada lagi persepsi hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Masyarakat butuh rasa aman, masyarakat butuh rasa keadilan, masyarakat membutuhkan rasa diayomi, saya minta Polri jangan abaikan ini,” tegasnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya…

Kapolri Minta Maaf: Tak Ada Gading yang Tak Retak

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Negara

Topik

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi