Jember (beritajatim.com) – Komisi A Komisi A DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, tak serta-merta menolak klaim ahli waris warga Jerman Victor Clemens Boon atas tanah seluas 2.100 hektare, asalkan rakyat memperoleh manfaat penguasaan lahan sebagaimana dijanjikan Perkumpulan Penggarap Tanah Telantar (P2T2).
“Kami ingin tahu persoalan secara keseluruhan itu apa dan mencari solusi. Kita semua wakil rakyat, rakyat di depan. Ketika itu menguntungkan buat rakyat, kita bersama rakyat, kita beri ruang rakyat sebesar-besarnya,” kata Ketua Komisi A Tabroni, ditulis Selasa (26/3/2024).
Tabroni menjelaskan, tanah yang diklaim ahli waris Clemens Boon berada di Kecamatan Silo, Rambipuji, dan Puger. “Tanah itu ada yang sudah dididiami warga. Tapi sebagian besar jadi hak guna usaha PT Perkebunan Nusantara,” katanya.
Tanah tersebut dibeli Clemens Boon pada 1930 saat masih tak berpenghuni. P2T2 yang mewakili ahli waris Clemens Boon tengah berusaha mendapatkan kembali hak atas tanah yang sekarang dikuasai perkebunan negara.
Mereka berjanji hanya akan mencari lahan-lahan yang telantar atau tak terurus untuk dikuasai. Sementara lahan yang sudah dikuasai dan diduduki warga selama puluhan tahun akan dilepaskan dan disertifikasi untuk warga bersangkutan.
“Kami tidak gila dengan tanah itu. Kami ingin ikut bareng-bareng membuktikan, bahwa keluarga ini tidak jahat. Kalau keluarga ini jahat, pakai preman mengusir-usir. Ini tidak. Kami datang ke bupati, DPRD, Kapolres, Kajari, meminta agar GTRA digerakkan. Paling kami berharap, ada sisa tanah yang bisa dibagi, ahli waris berharap dapat. Itu saja. Yang lain tidak,” kata Ketua Pendiri P2T2 Iskandar Sitorus.
P2T2 tidak menempuh jalur pengadilan. “Mereka ingin GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria) masuk ke dalam problem ini dan menjadi eksekutor penyelesaian masalah tanah yang mereka klaim sebagai bagian dari hak waris keluarga. Victor Clemens Boon ini menikah dengan warga Indonesia dan meninggal di Jember,” kata Tabroni.
Tabroni mencoba melihat persoalan ini dari perspektif rakyat yang selama bertahun-tahun menempati tanah negara yang dikuasai perusahaan perkebunan. “Mereka tidak punya dokumen, sehingga tidak bisa dilakukan apapun atas tanah tersebut. Mereka hanya bisa mendiami,” katanya.
“Nah, maksudnya, ketika mereka (ahli waris Clemens Boon) menyoal ini lewat GTRA, maka ketika (klaim atas tanah itu) memang benar, semua tanah yang didiami warga ya diberikan kepada warga melalui GTRA. Diberikan SHM (Sertifikat Hak Milik) agar tanah tersebut menjadi lebih produktif secara ekonomi,” kata Tabroni.
Kondisi ini, menurut Tabroni, lebih menguntungkan bagi pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah daerah bisa memperoleh pemasukan melalui pembayaran pajak dan pengurusan akta tanah. Sementara status tanah bagi warga menjadi lebih jelas.
“Tapi tentu kita harus membuktikan apakah benar tanah yang diklaim tersebut adalah punya ahli waris Victor Clemens Boon yang sudah menikah dengan orang Indonesia. Jadi kami tidak dalam posisi akan merugikan warga di Jember. Kami ada di posisi warga,” kata Tabroni.
“Kalau misalkan tanah (hak waris Clemens Boon) di Puger yang sudah dihuni ratusan orang warga diberi sertifikat, maka akan terjadi perputaran ekonomi secara cepat. Kalau hari ini tidak ada, karena mereka tidak punya kekuatan hukum atas tanah yang mereka tempati. Tapi ini harus dibuktikan apakah benar ini milik ahli waris Pak Victor Clemens Boon,” kata Tabroni.
Sementara itu, anggota Komisi A dari Gerindra Sunardi menegaskan, pemilik tanah wajib mendapat ganti rugi jika tanahnya digunakan oleh pihak lain, sesuai Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960. “UUPA ini berlaku sejak 5 September 1960. Sebelum UUPA berlaku, siapapun berhak datang ke Indonesia, termasuk orang Jerman. Ketika UUPA diatur, ada batasan,” katanya.
Sunardi mengingatkan, dokumen Letter C tidak bisa digunakan untuk klaim hak kepemilkan. “Yang disebut hak kepemilikan tetap sertifikat. Kalau kita bicara UUPA Pasal 19 ayat 2, di sini harus ada pembukuan. Jadi harus betul-betul terdaftar. Kalau memang di Kantor Pertanahan ada, harus ada pembukuan dan setelah itu harus ada pendaftaran. Mengganjalnya kan di sana. Jadi kalau pada 1960 tidak mendaftar, maka oleh pemerintah mungkin tanah itu dianggap tanah tak bertuan,” katanya.
Sunardi menyarankan Komisi A mengundang Badan Pertanahan Nasional untuk membicarakan persoalan ini. “Ini adalah perwakilan ahli waris yang bukan penjajah, karena dari Jerman. Kita tidak berandai-andai, kita sama-sama berpendapat. Jadi kalau ingin clear and clean, kita ke BPN (Badan Pertanahan Nasional),” katanya.
Menanggapi hal itu, Sitorus menjelaskan, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Tanah Partikelir. “Itu sesungguhnya perampasan tanah-tanah orang asing, khususnya penjajah,” katanya.
Menurut Sitorus, undang-undang tersebut sesungguhnya tidak lahir pada 1958 tapi 1960. “Itu back date. Itu hasil pertemuan Soekarno dengan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy agar Indonesia bisa dapat modal,” katanya.
Sitorus menyadari jika langkah P2T2 ini dicurigai sebagai manuver untuk mengembalikan lahan kepada warga negara asing. “Namanya manusia. Tidak ada yang bisa mempertegas dan mengklaim dirinya yang paling benar. Biarlah mekanisme (GTRA) itu yang membuktikan orang itu benar atau tidak,” katanya.
Sitorus menegaskan, Clemens Boon bukan orang asing. Dia menikah dengan warga Jember, Kartini binti Pak Suna, pada 1939 dan memiliki anak bernama Ineke Irawati. “Perspektif keluarga mereka bukan orang asing. Ada keterangan dari Balai Harta Peninggalan pada 1957, 1967, dan 1973. Buktinya di semua peradilan, pernikahan Victor Clemens Boon dengan orang Jember diakui. Kuburannya juga di Jember,” katanya.
Niat baik P2T2 diawali dengan datang ke DPRD Jember dengan membawa solusi moderat, yakni penyelesaian persoalan melalui mekanisme di GTRA. Sitorus tidak akan mendikte penyelesaiannya, dan menegaskan komitmen P2T2 untuk menyerahkan tanah ahli waris untuk didaftarkan sebagai milik warga yang sudah menempati tanah itu bertahun-tahun. “Kami berharap ini berproses lebih baik lagi,” katanya.
Tabroni setuju BPN diikutkan dalam proses penyelesaian masalah ini. “Ketua harian GTRA dari BPN. Yang kita garis bawahi adalah tanah (milik ahli waris Clemens Boon) yang sudah didiami warga di tiga kecamatan tidak akan dirampas. Malah akan dikuatkan. Mereka punya kepastian SHM (Sertifikat Hak Milik) melalui GTRA,” katanya. [wir]