Jakarta Kehilangan Status DKI, Nasibnya Jadi Begini

16 March 2024, 21:00

Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) secara resmi mulai membahas pembentukan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ. Pembentukan RUU ini menyusul status Jakarta usai tidak lagi menjadi daerah khusus ibu kota (DKI).
Badan Legislasi atau Baleg DPR menargetkan RUU itu dapat rampung dan disahkan sebagai UU pada 4 April 2024 dalam rapat paripurna DPR.

“Diakhiri pada 3 April, Rabu dalam rapat kerja, sehingga pada 4 April sudah bisa diparipurnakan di DPR,” kata Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas di Gedung DPR, Jakarta, dikutip Sabtu (16/3/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pembahasan awal RUU DKJ di ruang rapat Baleg DPR menetapkan dua aspek, yakni jadwal pembahasan serta mekanisme. Untuk mekanisme pembahasan telah menetapkan sejumlah daftar inventarisasi masalah (DIM) yang telah diserahkan DPD dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Selain pembahasan DIM, terdapat lima fakta menarik yang muncul dalam rapat awal RUU DKJ di ruang Baleg DPR. Berikut ini rinciannya:
Jakarta Akan Disulap Seperti New York dan Melbourne
Pemerintah berencana menetapkan arah pembangunan Jakarta sebagai kota bisnis, setelah tak lagi menjadi ibu kota. Ada beberapa kota di dunia yang dijadikan acuan sebagai arah pengembangan Jakarta ke depan melalui RUU DKJ.
Tito mengatakan, setelah status Daerah Khusus Ibu Kota atau DKI dicabut dari Jakarta, arah pembangunannya akan menjadi kota bisnis seperti New York di Amerika Serikat dan Melbourne di Australia.
“Intinya kira-kira sama seperti New York nya Amerika atau Sydney-Melbourne nya Australia,” kata Tito saat rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR.
Tito memastikan, Jakarta ke depan akan dibangun menjadi kota internasional, yang tidak lagi bersaing dengan kota-kota besar di kawasan ASEAN, melainkan akan diarahkan untuk bersaing dengan kota-kota besar skala internasional.
“Dan kita ingin juga agar kota Jakarta menjadi salah satu pusat utama, di bidang perekonomian, jasa, perbankan, dan lain-lain,” tegas Tito.

Foto: REUTERS/Beawiharta
Workers of The Jakarta Mass Rapid Transit construction take their lunch at Sudirman Business District in Jakarta, Indonesia, April 13, 2018. REUTERS/Beawiharta

Konsep Pembangunan Jakarta Sebagai Kota Aglomerasi
Arah pembangunan Jakarta sebagai kota pusat bisnis ke depan seiring juga dengan konsep pengembangannya yang menjadi kota aglomerasi, yakni pembangunannya yang diikuti dengan pengembangan kota-kota satelit di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur atau Jabodetabekjur.
Mulanya, konsep pembangunan Jakarta itu akan dilakukan dengan menyatukan daerah-daerah di sekitarnya juga, sehingga Jakarta menjadi kota megapolitan atau metropolitan. Namun, tipe kota itu menurut pemerintah akan sulit direalisasikan karena akan berimplikasi mengubah banyak UU.
“Kalau metropolitan dan megapolitan seolah-olah satu pemerintahan, dan ini banyak ditentang karena nanti akan merubah UU banyak sekali UU Jawa Barat, UU Banten, UU tentang Depok, UU Bekasi, UU banyak sekali,” kata Tito.
Sementara itu, melalui arah pembangunan Jabodetabekjur sebagai kota aglomerasi pemerintah anggap lebih mudah diimplementasikan karena tidak harus mengubah administrasinya meskipun kebijakan pembangunannya bisa sambil di sinkronkan untuk menghadapi masalah yang sama, seperti banjir, kepadatan lalu lintas, polusi, hingga migrasi penduduk.
“Jadi itu tidak ada keterkaitan masalah administrasi pemerintahan, tapi ini satu kawasan yang perlu diharmonisasikan program-programnya, terutama yang mau jadi common program,” tutur Tito.
Dibentuk Badan Khusus Demi Kota Aglomerasi Jakarta
Konsep pembangunan Jakarta sebagai kota aglomerasi akan diarahkan oleh satu badan khusus yang nantinya dikenal sebagai Dewan Kawasan Aglomerasi. Dengan tugas dan fungsi seperti Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Papua.
“Dewan kawasan dalam hal ini adalah bentuk yang kita pilih untuk aglomerasi, karena ini lebih memungkinkan, tidak merubah UU yang bersinggungan dengan kewenangan daerah-daerah otonomi yang lain,” ucap Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas.
Dalam draf RUU DKJ pun telah disebutkan Dewan Kawasan Aglomerasi bertugas untuk mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang Kawasan strategis nasional pada Kawasan Aglomerasi dan Dokumen Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi; dan mengkoordinasikan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan dalam rencana induk oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
RUU itu juga menyebutkan RUU itu, kawasan aglomerasi mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.
Wapres Akan Memimpin Dewan Kawasan Aglomerasi Jakarta
Dewan Kawasan Aglomerasi yang akan menjadi badan khusus pembangunan Jakarta dan wilayah-wilayah sekitarnya itu akan dipimpin oleh wakil presiden. Konsepnya sama seperti peranan wapres sebagai Ketua Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Papua saat ini dengan tugas harmonisasi, sinkronisasi, serta evaluasi kebijakan pembangunan.
“Jadi ditangani oleh wapres dan ini mirip seperti yang sudah kita lakukan di Papua dibentuk Badan Percepatan Pembangunan Papua yang tugasnya sama, harmonisasi, evaluasi, bukan mengambil alih kewenangan Pemda,” kata Tito
Meski akan dipimpin wapres, Tito mengatakan, tidak berarti kebijakan pembangunannya akan diambil alih dari pemerintah daerah atau Pemda. Sebab, eksekusi kebijakannya tetap dilakukan oleh masing-masih Pemda di wilayah yang termasuk aglomerasi, yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur atau Jabodetabekjur.
“Prinsip Pemda, eksekusinya dilakukan oleh pemerintahan daerah masing-masing, dan ini sudah berjalan hampir dua tahun dipimpin oleh wapres di Papua, karena memerlukan harmonisasi itu,” ucap Tito.
Dalam draf RUU DKJ sebetulnya memang telah disebutkan Dewan Kawasan Aglomerasi ini akan dipimpin oleh Wakil Presiden. Tugasnya untuk mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional pada Kawasan Aglomerasi dan Dokumen Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi.
“Dewan Kawasan Aglomerasi dipimpin oleh Wakil Presiden. Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Kawasan Aglomerasi diatur dengan Peraturan Presiden,” dikutip dari pasal 55 draf RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta.
5. Gubernur Tetap Dipilih oleh Rakyat, Bukan Ditunjuk Presiden
Selain masalah aglomerasi, RUU DKJ juga akan membahas mengenai gubernur yang menjadi pemimpin daerah tersebut. Mulanya, isu yang menyeruak dalam draf RUU itu ialah gubernur akan ditunjuk oleh presiden, namun Tito membantah hal itu.
“Isu pemilihan gubernur dan wakil gubernur sikap pemerintah tegas tetap pada posisi dipilih atau tidak berubah sesuai dengan yang sudah dilaksanakan saat ini,” tegas Mendagri Tito.
“Bukan ditunjuk, sekali lagi, karena dari awal draft kami draf pemerintah dan juga draf isinya sama dipilih bukan ditunjuk,” ungkapnya.

Meski begitu Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas yang juga merupakan politikus Partai Gerindra menekankan bahwa konsep pemilihan gubernur DKI Jakarta nantinya akan masih berupa Pilgub atau ditunjuk presiden penentuannya tergantung keputusan bersama fraksi-fraksi di Baleg.
“Pasti yang akan menentukan itu setuju atau tidak adalah fraksi-fraksi yang ada di Badan Legislasi. Saya akan tanya satu-satu setuju nggak dengan pemerintah. Kalau mereka setuju ya syukur, kalau enggak setuju ada debat lagi mekanismenya,” ucap Supratman.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Tak Lagi Jadi DKI, Jakarta Bakal Punya Ibu Kota Sendiri

(ven/wur)