Indo-Pasifik dan Peran Strategis Indonesia

30 December 2023, 5:00

KAWASAN Indo-Pasifik menjadi bagian penting dalam kontestasi global beberapa tahun terakhir. Indo-Pasifik juga merupakan kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, mencakup 65% dari populasi global. Dari beberapa laporan analisis internasional, kawasan Indo-Pasifik pada 2030 diperkirakan akan menjadi kawasan hunian bagi dua pertiga kelas menengah global (Matthew Bouw, Cushman, & Wakefield Report, 2020).

Indo-Pasifik juga menjadi kawasan pertarungan ekonomi-politik dari berbagai negara dengan kekuatan adidaya, terutama Amerika Serikat dan Tiongkok. Secara geografis, Indo-Pasifik merupakan jalur perdagangan utama yang menghubungkan dua kawasan jalur perdagangan serta dua kawasan pasar terpenting. Di kawasan itu, mineral penting dan kekayaan sumber daya alam juga menjadi daya tarik tersendiri di tengah kontestasi global dalam perebutan sumber daya dan energi.

Di kawasan Indo-Pasifik, negara-negara besar juga sudah menancapkan kekuatan militernya untuk pertahanan internasional. Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Tiongkok saling berlomba dalam pengaruh militer dan pertahanan internasional, dengan meningkatkan ekspansi di kawasan, di antaranya melalui pangkalan militer di beberapa teritori dan negara-negara sekutu masing-masing. Tentu saja, ekspansi itu menjadi sangat menarik sekaligus menegangkan untuk diikuti perkembangannya: bagaimana negara-negara dengan kekuatan militer besar saling berebut pengaruh di kawasan Indo-Pasifik.

Sementara itu, di bidang ekonomi politik, negara-negara besar dunia dan aliansinya juga menyiapkan strategi khusus untuk memperlebar pengaruh di kawasan Indo-Pasifik. Amerika Serikat menyiapkan strategi politik, pertahanan, dan ekonomi untuk mempertahankan pengaruh di kawasan itu, sedangkan Tiongkok juga sangat agresif terkait dengan perluasan pengaruh ekonomi, politik, dan militernya.

Kontestasi Indo-Pasifik

Pada Februari 2022, The White House memublikasikan strategi terbaru mengenai kawasan Indo-Pasifik. Dokumen berjudul Indo-Pacific Strategy of the United States itu diawali dengan kutipan kalimat dari Presiden Joe Biden, pada Quad Leader’s Summit (September 2021) yang menekankan keterbukaan dan demokrasi di kawasan itu. ‘The future of each our nations—and indeed the world—depends on a free and open Indo-Pacific enduring and flourishing in the decades ahead’, demikian pernyataan Presiden Joe Biden.

Pemerintah AS mendorong kawasan Indo-Pasifik sebagai kawasan yang tetap terbuka dengan berlandaskan prinsip demokrasi, penguatan masyarakat sipil, serta implementasi strategi melawan korupsi. Selain itu, di bidang ekonomi dan energi, AS menginisiasi keterlibatan kolaboratif dengan peluncuran kerja sama AS-Indonesia, dengan mendedikasikan US$698 juta dukungan untuk bidang infrastruktur dan pembangunan, komitmen dukungan terhadap South Pacific Tuna Treaty, serta bantuan ekonomi US$600 juta untuk kurun waktu 10 tahun. Pemerintah AS juga menggandeng Indonesia dan Vietnam dalam proyek Just Energy Transition Partnership (JETP), serta dukungan dari USTDA dengan menyediakan US$13,4 juta terhadap 14 aktivitas infrastruktur cerdas iklim di tujuh negara dengan tujuan dekarbonisasi dan ekonomi berkelanjutan.

Di sisi lain, negara-negara semisal Inggris, Prancis, Uni Eropa, Kanada, dan Australia juga memainkan peran penting di kawasan Indo-Pasifik. Pemerintah UK menekankan pada pengaruh politik, ekonomi, dan pertahanan di kawasan itu. Di bidang ekonomi, pemerintah UK fokus pada beberapa bidang strategis, di antaranya (1) climate change, (2) green infrastructure, (3) trade, energy, and economic connectivity, (4) women and girls, (5) humanitarian, health, and food security. Di antara program yang diimplementasi, yakni Climate Action for a Resilient Asia (CARA), ASEAN Catalytic Green Finance Facility (ACGF), serta Asia Regional Trade and Connectivity Programme (ARTCP).

Pemerintah Australia juga melihat kawasan Indo-Pasifik sebagai area penting dalam strategi ekonomi-politiknya. Selain koneksi AUKUS yang dibangun antara Australia, United Kingdom, dan Amerika Serikat, pemerintah negeri itu serius untuk membangun keseimbangan di kawasan. Di bawah pemerintahan PM Anthony Albanese, pemerintah Australia mengubah strategi diplomasi di kawasan dengan menekankan peningkatan keaktifan mereka di Indo-Pasifik.

Di bawah komando Albanese, Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong menyiapkan pendekatan baru di kawasan dengan konsep keseimbangan strategis (strategic equilibrium). Pemerintah Australia juga sangat serius dalam pendekatan politik ke negeri-negeri Pasifik, misalnya, dengan Tuvalu yang sedang mengalami krisis iklim serius. Saat ini, Tuvalu, negeri berpenduduk 11 ribu warga itu, sedang menghadapi krisis dari dampak perubahan iklim. Pemerintah Australia membuka pintu bagi 280 warga Tuvalu setiap tahunnya yang terancam oleh krisis iklim dan kehilangan tempat tinggal.

Sementara itu, pemerintah Tiongkok juga sangat agresif untuk membangun pengaruh militer, politik, dan ekonomi. Dengan konsep Blue Dragon Strategy, pemerintah Tiongkok memperluas pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik, menggenapi strategi ekonomi politik belt road initiative (BRI) yang menjadi platform investasi di kawasan. Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi pada pertengahan 2022 melakukan rangkaian kunjungan ke Solomon dan beberapa negara kepulauan Pasifik. Tiongkok juga agresif mendekati Kiribati, Samoa, Fiji, Tonga, Vanuatu, Papua Nugini, dan Timor Leste. Kontestasi diplomatik itu semakin meningkat dengan setiap negara membangun aliansi ekonomi-politik serta militer.

Strategi Indonesia

Di tengah kontestasi negara-negara besar yang berebut pengaruh di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia punya posisi penting untuk memainkan peran strategis menyeimbangkan kawasan. Pemerintah Indonesia punya modal penting untuk menjadikan kawasan Indo-Pasifik sebagai kawasan kolaboratif, bukan kontestasi ekonomi-politik, apalagi peperangan.

Indonesia mendorong ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) sebagai perangkat penting untuk menjaga keseimbangan kawasan dengan penekanan pada perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran. Tentu saja membutuhkan strategi diplomasi dan komunikasi politik tingkat tinggi untuk menjadikan AOIP sebagai penyangga perdamaian di kawasan Indo-Pasifik. AOIP merupakan inisiatif arsitektur kawasan dengan konsep ASEAN sebagai sentralnya. Konsep itu diadopsi dari hasil Konferensi Tingkat Tinggi ke-34 di Thailand pada 2019 yang dimaksudkan sebagai panduan keterlibatan ASEAN di kawasan Indo-Pasifik dan Samudra Hindia.

Setelah berdiskusi in person dengan Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong dan Duta Besar Indonesia untuk Australia HE Dr. Siswo Pramono di Canberra pada awal Desember 2023, penulis mendapatkan gambaran lebih mendalam peran Indonesia dan Australia dalam kolaborasi strategis untuk menjadikan Indo-Pasifik sebagai kawasan yang stabil. Keseimbangan pengaruh ekonomi-politik dan pertahanan di Indo-Pasifik menjadi penting bagi semua pihak agar kawasan itu terus tumbuh sebagai kekuatan ekonomi baru, bukan sebagai ruang persaingan ekonomi-politik serta kontestasi militer. Kolaborasi menjadi penting agar tercipta stabilitas kawasan yang menguntungkan banyak pihak.

Mengenai stabilitas kawasan, pengalaman Indonesia dalam Presidensi G-20 pada 2022 dan Keketuaan ASEAN pada 2023 menjadi penting untuk mendukung keseimbangan Indo-Pasifik. Pada pembukaan KTT ke-43 ASEAN, Presiden Joko Widodo menekankan agar ASEAN tidak menjadi proxy dari pihak mana pun serta siap menjadi mitra dengan tujuan perdamaian dan kemakmuran kawasan.

Kontribusi Indonesia pada ASEAN juga melahirkan ASEAN Concord IV (Jakarta Declaration on Asia Matters: Epicentrum of Growth) sebagai legacy dengan menjabarkan aksi nyata untuk masa depan kawasan. Hal itu menerangkan bahwa (1) epicentrum of growth mencakup aspek geopolitik untuk penguatan kapasitas dan efektivitas ASEAN, (2) epicentrum of growth mencakup aspek geoekonomi untuk penguatan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan, serta (3) implementasi ASEAN Outlook of Indo-Pasifik sebagai pusat kerja sama konkret berdasarkan prinsip inklusivitas, kolaborasi ekonomi, dan ekonomi pembangunan.

AOIP memang bertujuan menjadi jembatan diplomasi antarnegara ASEAN untuk menyangga perdamaian di Indo-Pasifik. Meski begitu, memastikan agar AOIP bisa efektif serta terkoneksi dengan berbagai kepentingan dan strategi dari berbagai negara besar yang menjadikan Indo-Pasifik sebagai battle-ground juga penuh tantangan. Saya yakin, Presiden Joko Widodo, Ibu Menlu Retno Marsudi, dan jajaran diplomat Indonesia punya kapasitas untuk memainkan peran strategis dan lincah di kawasan Indo-Pasifik. Indonesia punya pengalaman sejarah memainkan gerakan nonblok untuk mendorong stabilitas politik dunia pada pertengahan abad XX dengan Konferensi Asia Afrika pada 1955 yang fenomenal.

Selain itu, Indonesia punya kekuatan civil society yang bisa mendorong gerakan sosial sebagai basis soft-power diplomacy, terutama dengan jalur kekuatan pemimpin agama dan jaringannya. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah serta beberapa ormas di Indonesia punya kapasitas untuk bersama-sama pemerintah Indonesia membangun stabilitas dengan menyiapkan kolaborasi jangka panjang dengan berbagai jaringan people to people di kawasan.

Di bawah kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf, Nahdlatul Ulama memainkan peran diplomasi publik dengan mengintensifkan jaringan pemimpin agama dan pemimpin muda. Forum Religion 20 (R-20, November 2022), ASEAN IIDC pada Agustus 2023, serta R-20 ISORA (November 2023) yang diinisiasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Agama, serta beberapa lembaga internasional, menjadi sangat penting dalam menyiapkan strategi untuk menyeimbangkan kawasan dan mendorong stabilitas serta perdamaian.

Penyelenggaraan Konferensi Moderasi Beragama Asia Afrika (KMB AAA) juga menjadi langkah penting untuk mengonsolidasi kekuatan. Jaringan antarpemuka agama yang berpengaruh pada kebijakan politik tingkat tinggi serta menguatnya jaringan young leaders sebagai pemimpin masa depan, bisa menjadi kekuatan Nahdlatul Ulama serta civil society Indonesia untuk berkhidmat dalam strategi double-track diplomacy di level Indo-Pasifik serta ranah global.

KAWASAN Indo-Pasifik menjadi bagian penting dalam kontestasi global beberapa tahun terakhir. Indo-Pasifik juga merupakan kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, mencakup 65% dari populasi global. Dari beberapa laporan analisis internasional, kawasan Indo-Pasifik pada 2030 diperkirakan akan menjadi kawasan hunian bagi dua pertiga kelas menengah global (Matthew Bouw, Cushman, & Wakefield Report, 2020).

Indo-Pasifik juga menjadi kawasan pertarungan ekonomi-politik dari berbagai negara dengan kekuatan adidaya, terutama Amerika Serikat dan Tiongkok. Secara geografis, Indo-Pasifik merupakan jalur perdagangan utama yang menghubungkan dua kawasan jalur perdagangan serta dua kawasan pasar terpenting. Di kawasan itu, mineral penting dan kekayaan sumber daya alam juga menjadi daya tarik tersendiri di tengah kontestasi global dalam perebutan sumber daya dan energi.

Di kawasan Indo-Pasifik, negara-negara besar juga sudah menancapkan kekuatan militernya untuk pertahanan internasional. Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Tiongkok saling berlomba dalam pengaruh militer dan pertahanan internasional, dengan meningkatkan ekspansi di kawasan, di antaranya melalui pangkalan militer di beberapa teritori dan negara-negara sekutu masing-masing. Tentu saja, ekspansi itu menjadi sangat menarik sekaligus menegangkan untuk diikuti perkembangannya: bagaimana negara-negara dengan kekuatan militer besar saling berebut pengaruh di kawasan Indo-Pasifik.

Sementara itu, di bidang ekonomi politik, negara-negara besar dunia dan aliansinya juga menyiapkan strategi khusus untuk memperlebar pengaruh di kawasan Indo-Pasifik. Amerika Serikat menyiapkan strategi politik, pertahanan, dan ekonomi untuk mempertahankan pengaruh di kawasan itu, sedangkan Tiongkok juga sangat agresif terkait dengan perluasan pengaruh ekonomi, politik, dan militernya.

 

Kontestasi Indo-Pasifik

Pada Februari 2022, The White House memublikasikan strategi terbaru mengenai kawasan Indo-Pasifik. Dokumen berjudul Indo-Pacific Strategy of the United States itu diawali dengan kutipan kalimat dari Presiden Joe Biden, pada Quad Leader’s Summit (September 2021) yang menekankan keterbukaan dan demokrasi di kawasan itu. ‘The future of each our nations—and indeed the world—depends on a free and open Indo-Pacific enduring and flourishing in the decades ahead’, demikian pernyataan Presiden Joe Biden.

Pemerintah AS mendorong kawasan Indo-Pasifik sebagai kawasan yang tetap terbuka dengan berlandaskan prinsip demokrasi, penguatan masyarakat sipil, serta implementasi strategi melawan korupsi. Selain itu, di bidang ekonomi dan energi, AS menginisiasi keterlibatan kolaboratif dengan peluncuran kerja sama AS-Indonesia, dengan mendedikasikan US$698 juta dukungan untuk bidang infrastruktur dan pembangunan, komitmen dukungan terhadap South Pacific Tuna Treaty, serta bantuan ekonomi US$600 juta untuk kurun waktu 10 tahun. Pemerintah AS juga menggandeng Indonesia dan Vietnam dalam proyek Just Energy Transition Partnership (JETP), serta dukungan dari USTDA dengan menyediakan US$13,4 juta terhadap 14 aktivitas infrastruktur cerdas iklim di tujuh negara dengan tujuan dekarbonisasi dan ekonomi berkelanjutan.

Di sisi lain, negara-negara semisal Inggris, Prancis, Uni Eropa, Kanada, dan Australia juga memainkan peran penting di kawasan Indo-Pasifik. Pemerintah UK menekankan pada pengaruh politik, ekonomi, dan pertahanan di kawasan itu. Di bidang ekonomi, pemerintah UK fokus pada beberapa bidang strategis, di antaranya (1) climate change, (2) green infrastructure, (3) trade, energy, and economic connectivity, (4) women and girls, (5) humanitarian, health, and food security. Di antara program yang diimplementasi, yakni Climate Action for a Resilient Asia (CARA), ASEAN Catalytic Green Finance Facility (ACGF), serta Asia Regional Trade and Connectivity Programme (ARTCP).

Pemerintah Australia juga melihat kawasan Indo-Pasifik sebagai area penting dalam strategi ekonomi-politiknya. Selain koneksi AUKUS yang dibangun antara Australia, United Kingdom, dan Amerika Serikat, pemerintah negeri itu serius untuk membangun keseimbangan di kawasan. Di bawah pemerintahan PM Anthony Albanese, pemerintah Australia mengubah strategi diplomasi di kawasan dengan menekankan peningkatan keaktifan mereka di Indo-Pasifik.

Di bawah komando Albanese, Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong menyiapkan pendekatan baru di kawasan dengan konsep keseimbangan strategis (strategic equilibrium). Pemerintah Australia juga sangat serius dalam pendekatan politik ke negeri-negeri Pasifik, misalnya, dengan Tuvalu yang sedang mengalami krisis iklim serius. Saat ini, Tuvalu, negeri berpenduduk 11 ribu warga itu, sedang menghadapi krisis dari dampak perubahan iklim. Pemerintah Australia membuka pintu bagi 280 warga Tuvalu setiap tahunnya yang terancam oleh krisis iklim dan kehilangan tempat tinggal.

Sementara itu, pemerintah Tiongkok juga sangat agresif untuk membangun pengaruh militer, politik, dan ekonomi. Dengan konsep Blue Dragon Strategy, pemerintah Tiongkok memperluas pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik, menggenapi strategi ekonomi politik belt road initiative (BRI) yang menjadi platform investasi di kawasan. Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi pada pertengahan 2022 melakukan rangkaian kunjungan ke Solomon dan beberapa negara kepulauan Pasifik. Tiongkok juga agresif mendekati Kiribati, Samoa, Fiji, Tonga, Vanuatu, Papua Nugini, dan Timor Leste. Kontestasi diplomatik itu semakin meningkat dengan setiap negara membangun aliansi ekonomi-politik serta militer.

 

Strategi Indonesia

Di tengah kontestasi negara-negara besar yang berebut pengaruh di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia punya posisi penting untuk memainkan peran strategis menyeimbangkan kawasan. Pemerintah Indonesia punya modal penting untuk menjadikan kawasan Indo-Pasifik sebagai kawasan kolaboratif, bukan kontestasi ekonomi-politik, apalagi peperangan.

Indonesia mendorong ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) sebagai perangkat penting untuk menjaga keseimbangan kawasan dengan penekanan pada perdamaian, keamanan, stabilitas, dan kemakmuran. Tentu saja membutuhkan strategi diplomasi dan komunikasi politik tingkat tinggi untuk menjadikan AOIP sebagai penyangga perdamaian di kawasan Indo-Pasifik. AOIP merupakan inisiatif arsitektur kawasan dengan konsep ASEAN sebagai sentralnya. Konsep itu diadopsi dari hasil Konferensi Tingkat Tinggi ke-34 di Thailand pada 2019 yang dimaksudkan sebagai panduan keterlibatan ASEAN di kawasan Indo-Pasifik dan Samudra Hindia.

Setelah berdiskusi in person dengan Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong dan Duta Besar Indonesia untuk Australia HE Dr. Siswo Pramono di Canberra pada awal Desember 2023, penulis mendapatkan gambaran lebih mendalam peran Indonesia dan Australia dalam kolaborasi strategis untuk menjadikan Indo-Pasifik sebagai kawasan yang stabil. Keseimbangan pengaruh ekonomi-politik dan pertahanan di Indo-Pasifik menjadi penting bagi semua pihak agar kawasan itu terus tumbuh sebagai kekuatan ekonomi baru, bukan sebagai ruang persaingan ekonomi-politik serta kontestasi militer. Kolaborasi menjadi penting agar tercipta stabilitas kawasan yang menguntungkan banyak pihak.

Mengenai stabilitas kawasan, pengalaman Indonesia dalam Presidensi G-20 pada 2022 dan Keketuaan ASEAN pada 2023 menjadi penting untuk mendukung keseimbangan Indo-Pasifik. Pada pembukaan KTT ke-43 ASEAN, Presiden Joko Widodo menekankan agar ASEAN tidak menjadi proxy dari pihak mana pun serta siap menjadi mitra dengan tujuan perdamaian dan kemakmuran kawasan.

Kontribusi Indonesia pada ASEAN juga melahirkan ASEAN Concord IV (Jakarta Declaration on Asia Matters: Epicentrum of Growth) sebagai legacy dengan menjabarkan aksi nyata untuk masa depan kawasan. Hal itu menerangkan bahwa (1) epicentrum of growth mencakup aspek geopolitik untuk penguatan kapasitas dan efektivitas ASEAN, (2) epicentrum of growth mencakup aspek geoekonomi untuk penguatan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan, serta (3) implementasi ASEAN Outlook of Indo-Pasifik sebagai pusat kerja sama konkret berdasarkan prinsip inklusivitas, kolaborasi ekonomi, dan ekonomi pembangunan.

AOIP memang bertujuan menjadi jembatan diplomasi antarnegara ASEAN untuk menyangga perdamaian di Indo-Pasifik. Meski begitu, memastikan agar AOIP bisa efektif serta terkoneksi dengan berbagai kepentingan dan strategi dari berbagai negara besar yang menjadikan Indo-Pasifik sebagai battle-ground juga penuh tantangan. Saya yakin, Presiden Joko Widodo, Ibu Menlu Retno Marsudi, dan jajaran diplomat Indonesia punya kapasitas untuk memainkan peran strategis dan lincah di kawasan Indo-Pasifik. Indonesia punya pengalaman sejarah memainkan gerakan nonblok untuk mendorong stabilitas politik dunia pada pertengahan abad XX dengan Konferensi Asia Afrika pada 1955 yang fenomenal.

Selain itu, Indonesia punya kekuatan civil society yang bisa mendorong gerakan sosial sebagai basis soft-power diplomacy, terutama dengan jalur kekuatan pemimpin agama dan jaringannya. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah serta beberapa ormas di Indonesia punya kapasitas untuk bersama-sama pemerintah Indonesia membangun stabilitas dengan menyiapkan kolaborasi jangka panjang dengan berbagai jaringan people to people di kawasan.

Di bawah kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf, Nahdlatul Ulama memainkan peran diplomasi publik dengan mengintensifkan jaringan pemimpin agama dan pemimpin muda. Forum Religion 20 (R-20, November 2022), ASEAN IIDC pada Agustus 2023, serta R-20 ISORA (November 2023) yang diinisiasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Agama, serta beberapa lembaga internasional, menjadi sangat penting dalam menyiapkan strategi untuk menyeimbangkan kawasan dan mendorong stabilitas serta perdamaian.

Penyelenggaraan Konferensi Moderasi Beragama Asia Afrika (KMB AAA) juga menjadi langkah penting untuk mengonsolidasi kekuatan. Jaringan antarpemuka agama yang berpengaruh pada kebijakan politik tingkat tinggi serta menguatnya jaringan young leaders sebagai pemimpin masa depan, bisa menjadi kekuatan Nahdlatul Ulama serta civil society Indonesia untuk berkhidmat dalam strategi double-track diplomacy di level Indo-Pasifik serta ranah global.