Hak Angket DPR Soal Dugaan Kecurangan Pemilu 2024 Disebut Sulit Terwujud, Apa Alasannya?

29 February 2024, 10:51

TEMPO.CO, Jakarta – Calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo mengusulkan agar partai pendukungnya di DPR, yaitu PDIP dan PPP, menggulirkan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024. Usul itu mengemuka seiring pelbagai tudingan kecurangan usai hitung cepat hasil pemilihan presiden atau Pilpres 2024.Usul Ganjar itu disikapi secara berbeda oleh pelbagai pihak, termasuk mereka yang menyebutkan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu akan sulit terlaksana di DPR. Apa alasannya?1. Pakar Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang KomarudinUjang Komarudin mengatakan rencana mengusung hak angket DPR untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024 akan sulit terjadi. Menurut pakar politik dari Universitas Al Azhar Indonesia itu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak akan tinggal diam dan berupaya menggembosi upaya tersebut.“Hak angket ini sulit, akan digembosi. Itu jalur politik, pasti akan dilawan jalur politik juga oleh Jokowi,” kata Ujang saat dihubungi pada Rabu, 28 Februari 2024.Menurut Ujang, langkah Jokowi itu dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah ingin dikenang pernah melaksanakan pemilu secara baik dan bagus. Hak angket DPR, kata dia, akan sulit terlaksana selama Jokowi masih memegang pucuk kekuasaan tertinggi. “Akan berat kalau Jokowi masih memegang kendali sebagai presiden,” ujar dia.Upaya penggembosan itu juga disebut ketika Presiden Jokowi menemui Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh beberapa pekan lalu. Ujang melihat pertemuan serupa dengan pimpinan partai seperti PKB dan PKS tidak menutup kemungkinan akan terjadi. “Nasdem sudah ketemu, bisa saja punya indikasi masuk kabinet Prabowo-Gibran. Akan kencang di PDIP saja,” kata Ujang.2. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri BachmidPakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, mengatakan DPR berhak menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Namun penggunaannya seharusnya dalam konteks pengawasan terhadap lembaga eksekutif, seperti pemerintah.