DKPP Putuskan KPU Langgar Kode Etik, Apa Kata Pakar Hukum Tata Negara?

8 February 2024, 12:47

TEMPO.CO, Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) saat beleid batas minimal usia kandidat 40 tahun masih berlaku. Gara-gara itu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan komisioner KPU lainnya melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu.Sejumlah pakar hukum tata negara dan guru besar dari universitas di Tanah air bersuara menanggapi keputusan DKPP tersebut. Beberapa menilai “aib” KPU itu membuka peluang untuk membatalkan pencalonan Gibran di kontestasi Pilpres 2024. Sementara yang lainnya menyalahkan keputusan DKPP, dan Gibran disebut bisa mengajukan gugatan lantaran jadi pihak dirugikan dalam kasus ini.Berikut tanggapan pakar hukum tata negara dan guru besar ihwal putusan DKPP soal komisioner KPU melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu:1. Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret, Agus Riewanto Dilansir dari Koran Tempo edisi Selasa, 6 Februari 2024, pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret, Agus Riewanto, mengatakan putusan DKPP terhadap komisioner KPU membuka peluang untuk membatalkan penetapan Gibran sebagai cawapresnya Prabowo Subianto.Kata dia, upaya untuk membatalkan pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo itu dapat ditempuh lewat tiga opsi. “Putusan DKPP ini, meski produk etik, bisa digunakan untuk pembatalan terhadap (pencalonan) Gibran,” kata Agus Riewanto, pada Senin, 5 Februari 2024Agus mengatakan putusan DKPP memang hanya berdampak langsung terhadap KPU selaku penyelenggara Pemilu, bukan pada Gibran. Namun putusan itu dapat dijadikan bukti untuk menggugat penetapan pencalonan Wali Kota Solo tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gibran bisa dikategorikan tidak memenuhi syarat usia saat mendaftar sebagai cawapres.“Pengajuan ke PTUN harus dilakukan dengan cepat. Bila Pemilu selesai, akan sulit mengajukan karena ada sengketa Pemilu,” kata Agus.Selain ke PTUN, kata dia, peluang menggugat dugaan pelanggaran administrasi Pemilu atas penetapan Gibran sebagai cawapres juga bisa diajukan ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Namun, Bawaslu kemungkinan besar akan menolak karena perkara sudah kedaluwarsa. Menurut regulasi, Bawaslu akan memproses dugaan pelanggaran administrasi Pemilu maksimal tiga hari setelah ditemukan.“Masalahnya, dugaan pelanggaran pendaftaran pencalonan Gibran sudah berlangsung tiga bulan atau sejak Oktober tahun lalu. Sekarang pelanggaran sudah lewat. Pemilu sudah masuk tahap kampanye. Jadi, karena hukum acara itu, ada kemungkinan ditolak,” kata Agus.Di samping gugatan ke PTUN dan Bawaslu, Agus menilai, putusan DKPP dapat dijadikan alat bukti untuk membatalkan pencalonan Prabowo-Gibran saat tahap penyelesaian perselisihan hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut dia, pihak yang keberatan terhadap hasil Pilpres dapat mendalilkan dalam sengketa Pemilu bahwa hasil Pilpres tidak sah karena pencalonan Prabowo-Gibran juga tidak sah.“Harapannya, hasil Pemilu tidak sah karena pencalonannya tidak sah,” ujarnya. “Gugatan ke Mahkamah Konstitusi menjadi peluang terakhir.”2. Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsar Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, sependapat dengan Agus. Feri mengatakan putusan DKPP memang tidak bisa membatalkan keputusan penyelenggara Pemilu soal penetapan Gibran sebagai cawapres. Sebab, putusan DKPP tersebut hanya memutus tindakan etik dan perilaku penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU. Karena itu, kata dia, harus ada proses hukum berikutnya untuk mengajukan pembatalan pencalonan Gibran.Setali tiga uang dengan Agus, menurut Feri, masyarakat dapat mengajukan gugatan ke PTUN ataupun sengketa administrasi Pemilu ke Bawaslu. Adapun putusan DKPP tersebut dapat menjadi alat bukti saat menggugat ke Bawaslu dan PTUN. Bila PTUN dan Bawaslu melihat ada pelanggaran, mereka bisa membatalkan proses administrasi pendaftaran Gibran.3. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan putusan DKPP memperkuat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terhadap pelanggaran etik hakim konstitusi. Dengan demikian, pencalonan Gibran, kata dia, selain cacat etik MK, juga cacat etik DKPP. “Jadi pencalonan Gibran ini cacat etik MK dan cacat etik DKPP,” kata Charles.Iklan

4. Pakar hukum tata negara Fahri Bachmid Sementara itu, pakar hukum tata negara Fahri Bachmid berpendapat sanksi DKPP kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari tidak akan berdampak apa pun kepada pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Menurut dia, Gibran yang mendampingi Prabowo tetap sah dan konstitusional.“Tidak mempunyai implikasi konstitusional serta hukum apa pun terhadap pasangan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto Gibran dan Rakabuming Raka,” kata Fahri dalam keterangannya, Selasa, 6 Februari 2024.Fahri menjelaskan, putusan DKPP mengandung dua konteks. Pertama, KPU sebagai subjek hukum diwajibkan melaksanakan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta Pilpres 2024. Kedua, dalam melaksanakan putusan MK, tindakan KPU dianggap tak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan Pemilu, sehingga terjadi pelanggaran etik.“Artinya KPU seharusnya segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai tindaklanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata Fahri.5. Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Pakuan Andi Asrun Di sisi lain, Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, Andi Asrun. menilai sanksi DKPP terhadap KPU yang dinyatakan melanggar etik adalah keputusan yang salah besar. Sebab, menurut Andi, KPU hanya melaksanakan putusan MK yang bersifat self executing atau berlaku segera tanpa memerlukan undang-undang tambahan.“Putusan DKPP itu salah besar, pertama bahwa KPU itu hanya melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah final bersifat self executing,” jelas Andi.DKPP, kata dia, justru melanggar kode etik karena mengabaikan prinsip mendengarkan kedua belah pihak. Andi menuding DKPP dalam membuat keputusan tidak memberikan hak kepada pihak yang terkena imbas, dalam hal Prabowo-Gibran, untuk terlibat. Putusan DKPP tersebut, menurut dia, bisa digugat baik itu oleh KPU maupun Prabowo-Gibran jika merasa dirugikan.Sebelumnya, KPU dilaporkan oleh sejumlah pihak karena diduga melakukan pembiaran terhadap Gibran Rakabuming Raka untuk mengikuti proses pencalonan sebagai kandidat wakil presiden tanpa mematuhi peraturan yang berlaku. Padahal saat itu peraturan KPU masih mengharuskan calon memiliki usia minimal 40 tahun.Adapun empat laporan yang diajukan antara lain laporan Demas Brian Wicaksono dalam perkara bernomor Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, Iman Munandar B. (Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023), P.H. Hariyanto (Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023), dan Rumondang Damanik (Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023).DKPP lalu memutuskan ketua dan anggota KPU terbukti melakukan pelanggaran kode etik pedoman perilaku penyelenggara Pemilu. KPU dinilai salah karena menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres pada 25 Oktober 2023. Yang mana peraturan KPU belum menerapkan keputusan MK setelah putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.Selain Hasyim, enam anggota KPU lainnya yang disanksi antara lain Yulianto Sudrajat, August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Idham Holik, Muhammad Afifuddin, dan Parsadaan Harahap. Atas putusan yang telah ditetapkan, DKPP menginstruksikan KPU untuk melaksanakan keputusan tersebut.ANDIKA DWI | RIZKY DEWI AYU | KORAN TEMPOPilihan Editor: Kata JK Soal Putusan Pelanggaran Etik oleh DKPP Terhadap Ketua KPU