Bukti Terbaru ‘Perselingkuhan’ Arab ke China, AS Dijauhkan?

15 August 2023, 13:42

Jakarta, CNBC Indonesia – Posisi China di Timur Tengah makin menonjol. Beijing baru-baru ini berhasil mendamaikan dua rival bebuyutan kawasan, Iran dan Arab Saudi, dan menawarkan bantuan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Hal ini sendiri menimbulkan pertanyaan, pasalnya patron negara-negara di wilayah itu seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) merupakan sekutu dekat dari Amerika Serikat (AS) yang merupakan rival dari China.
UEA dilaporkan berencana mengadakan latihan militer pertamanya dengan China bulan ini. Padahal, Negara Tujuh Emir itu adalah mitra militer AS, telah bertugas bersama pasukan Amerika sebanyak enam kali, dan menjadi penerima beberapa persenjataan paling canggih yang dijual Washington di Timur Tengah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Seorang pejabat UEA mengatakan kepada CNN bahwa latihan bersama semacam itu adalah bagian dari upaya berkelanjutan UEA untuk memperkuat kerja sama internasional di berbagai bidang dan dirancang untuk mendukung upaya meningkatkan perdamaian dan stabilitas internasional.
“UEA mengadakan latihan bersama dan multilateral dengan berbagai mitra internasional di seluruh dunia, termasuk dengan negara-negara di Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Asia,” tambah pejabat itu dikutip Selasa (15/8/2023).
Serupa, Saudi juga memperdalam hubungannya ke China. Selain mengiyakan ajakan Beijing untuk berdamai dengan Iran, kedua negara juga terlibat dalam penggunaan mata uang Yuan untuk membeli minyak. Hal ini disebut sebagai langkah baru guna mengurangi dominasi dolar AS di pasar minyak global.

‘Perselingkuhan’ Arab
Baik UEA dan Arab Saudi pun memiliki hubungan yang ‘pasang surut’ dengan Washington. Dengan Saudi, dinamikanya lebih nampak, dengan melibatkan argumentasi pribadi Presiden AS Joe Biden.
Diketahui, selama masa kampanyenya pada 2020 lalu, Biden telah menyudutkan Kerajaan pimpinan Raja Salman itu dengan menyebut Saudi sebagai negara ‘pariah’ karena isu HAM.
Tak hanya itu, Gedung Putih juga terus mengalamatkan tuduhan pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi kepada Putra Mahkota Saudi, Mohammed Bin Salman (MBS). Torbjorn Soltvedt, analis utama MENA di Verisk Maplecroft, dalam sebuah catatan email tahun 2021 lalu mengatakan bahwa ini merupakan penghinaan bagi Saudi.
Tidak selesai sampai disitu, Biden juga sempat menilai bahwa dukungan AS kepada Arab Saudi sehubungan dengan perang di Yaman harus dihentikan. Perang itu telah menciptakan apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk akibat ulah manusia di dunia.
Padahal, Saudi, bersama UEA, merasa bahwa kelompok Houthi yang bertikai di Yaman merupakan ancaman besar bagi negaranya. Pada 2019 dan 2022, Houthi menghantam wilayah kedua negara, dengan Abu Dhabi menyebutnya sebagai “9/11”.
“Kekosongan keamanan yang ditinggalkan oleh AS menciptakan celah yang sebelumnya tidak ada. Kehadiran China yang tumbuh di Timur Tengah, tambahnya, adalah tanggapan langsung terhadap semakin pentingnya kawasan ini, dan kurangnya solusi yang layak terhadap masalah keamanan Teluk,” papar Mohammed Baharoon, direktur jenderal Pusat Penelitian Kebijakan Publik Dubai.

Masuknya China ke Saudi
Di tengah panasnya hubungan AS-Saudi, China yang merupakan rival Washington mulai membuka hubungan yang lebih intens dengan Riyadh. Tercatat, hubungan antara Saudi dan China pun mengalami penguatan.
Akhir Maret lalu, Riyadh menyetujui keputusan untuk bergabung dengan aliansi yang dianggotai Beijing, Organisasi Kerja Sama Shanghai (Shanghai Cooperation Organization/SCO).
SCO adalah aliansi politik dan keamanan negara-negara yang tersebar di sebagian besar negara Eurasia, termasuk China dan Rusia, yang notabenenya rival dari negara-negara Barat pimpinan AS
Dibentuk pada 2001 oleh Rusia, China, dan negara-negara bekas Soviet di Asia Tengah, organisasi tersebut telah diperluas hingga mencakup India dan Pakistan, dengan maksud untuk memainkan peran yang lebih besar sebagai penyeimbang pengaruh Barat di wilayah tersebut.

Partai Komunis China
Selain mendekatkan diri pada keluarga monarki Arab di Saudi dan UEA, Beijing juga telah dalam proses mendekatkan Partai Komunis China (PKC) dengan partai politik di Dunia Arab. Langkah ini dianggap untuk mempromosikan China di dunia internasional, sambil menjaga diri dari sikap keras beberapa negara atas kebijakan domestiknya, seperti dalam kasus Xinjiang.
Analis Jordan Center of Strategic Studies, Jesse Marks, mengatakan PKC digunakan untuk menyelaraskan hubungan Beijing dengan Timur Tengah.
“Di Timur Tengah, diplomasi antar Partai Politik telah diaktifkan untuk menggali ideologi serta setidaknya mempromosikan sikap menghargai untuk prinsip inti China, terutama prinsip satu partai?,” ujarnya kepada South China Morning Post, Senin (14/8/2023).
Departemen internasional dari Komite Pusat, badan pimpinan puncak Partai Komunis, mengawasi diplomasi partai. Didirikan pada tahun 1951, departemen ini sebagian besar bertugas menangani hubungan dengan partai komunis di negara lain, terutama Uni Soviet.
Misinya berangsur-angsur berubah setelah Beijing dan Moskow berpisah karena perbedaan ideologis pada 1960-an, dan mulai terlibat dengan lebih banyak pihak di seluruh spektrum politik saat China berubah menjadi kekuatan ekonomi.
Salah satu upaya diplomatik terbaru partai tersebut di dunia Arab adalah pada bulan Juli, ketika departemen tersebut mengadakan dialog antar partai di Yinchuan, ibu kota wilayah otonomi Ningxia Hui. Area itu adalah sebuah wilayah di barat laut China di mana umat Islam berjumlah sekitar sepertiga dari total populasi.
Selain itu, lebih dari 60 pemimpin partai dan perwakilan think tank dari 19 negara Arab diundang ke dialog yang diadakan setiap dua tahun sejak 2016.
Tidak seperti monarki Teluk, negara-negara Arab demokratis menunjukkan minat yang besar terhadap undangan PKC, dengan perwakilan dari Suriah, Mesir, Aljazair, Maroko, dan Djibouti di antara mereka yang ambil bagian dalam kegiatan itu.

Tak Mudah
Hasan Alhasan, peneliti Kebijakan Timur Tengah di Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS), mengatakan kepada CNN bahwa meski Timur Tengah terkesan mendekat ke China, pergeseran ini menurutnya juga tak akan secara mudah dilakukan. Ia menyebut negara-negara Arab mungkin memiliki perhitungan terhadap kemungkinan respon AS akibat manuver ini.
“Tetapi ada ‘dinamika segitiga’ dalam hubungan Teluk-China-AS, katanya, seraya menambahkan bahwa negara-negara Teluk tidak mungkin mengabaikan ‘konsekuensi tingkat kedua’ dari hubungan mereka yang berkembang dengan China,” pungkasnya.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Geger Ramai Jadi Ateis di Negara Arab, Ini Alasannya

(luc/luc)