Bentuk Tim Independen Usut Dugaan Kecurangan Pemilu

18 March 2024, 22:26

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita.(MI/Susanto)

KECURANGAN Pemilu 2024 diduga sudah direncanakan sejak lama. Indikasi ini merupakan kejahatan pemerintah (goverment crime).
Hal itu dikemukakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita dalam diskusi Sirekap dan Kejahatan Pemilu 2024, Sebuah Konspirasi Politik, di Sekretariat Barikade 98, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (18/3).
Ia meminta pihak berwenang segera membentuk tim independen yang diisi oleh orang-orang berintegritas. “Tim independen harus dibentuk untuk mengusut dugaan kejahatan pemilu ini,” katanya.
Baca juga : Publik kian Ragu dengan Hasil Pemilu
Menurut dia, Pilpres 2024 merupakan pesta demokrasi paling buruk dan banyak diwarnai dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Bahkan, dalam tujuh pemilu yang sudah diikutinya, pesta demokrasi kali ini dinilai yang paling amburadul.
“Saya sudah tujuh kali ikut pemilu, saya lahir (tahun) 44, jadi tahu. Ini yang paling amburadul. Biar KPU, Bawaslu, Polri mengatakan ini sudah lurus, ini kalau bahasa saya, ini govermental crime. Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah. Pertanyaannya siapa yang bisa mengadili?” tanya Romli.
Dia pun menekankan tentang pentingnya memperkuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Terlebih, sanksi bagi penyelenggara pemilu yang melanggar kurang tegas. Baca juga : Masyarakat Sipil Dukung Hak Angket
“Karena ini cuma peringatan sanksi administratif. Bayangkan pelanggaran terhadap hak rakyat berdaulat hanya dengan administratif. Membunuh orang satu saja mati, ini membunuh demokrasi 270 juta jiwa dibunuh, dikorupsilah, ini korupsi suara dan sistematis, terstruktur, dan masif. Nah kalau dilihat dari sudut itu, ini pengkhianatan terhadap konstitusi. Itu kena undang-undang makar. Dia membuat persengkongkolan untuk meruntuhkan muruah negara,” jelas Romli.
Ia mencontohkan, salah satu dugaan pengsekongkolan tersebut, yakni mengubah batas usia capres-cawapres. Padahal, lanjut Romli, UU Pemilu mengaturnya dan harusnya semata-mata menjaga kedaulatan rakyat.
Pada kesempatan ia juga menyoroti tentang Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU yang diduga pelaksanannya bukan lagi bisa disebut pelanggaran, melainkan sudah tahap kejahatan.  “Ini sistemnya yang terburu-buru, demokrasi kita belum siap, kenapa belum siap? 60% penduduk kita masih jauh dari standar pendidikan yang modern.” Baca juga : Bawaslu Usul Sirekap Dihentikan, Mardani: Hitung Manual Harus Tetap Berjalan
Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus menyatakan KPU menutup diri dari kritik publik dan tidak mengklarifikasi berbagai kecurigaan publik itu. Bahkan, per hari ini sudah mengarah kepada suatu keyakinan bahwa Sirekap bisa jadi merupakan alat pembunuh demokrasi.
“Sebagian besar publik mulai tidak percaya terhadap Sirekap produk ITB ini. Bahkan akhir-akhir ini KPU sendiri mulai kehilangan kepercayaan terhadap Sirekap ini dengan seringnya Sirekap ini mati atau dimatikan atau tidak digunakan,” ucap Petrus.
Menurut Petrus, ketidakpercayaan publik terhadap Sirekap telah terjadi. Terlebih, KPU dan pimpinan ITB tidak transparan sejak proses pengadaan Sirekap hingga bagaimana proses bekerjanya Sirekap. Terlebih, server Sirekap bisa berada di Singapura, Tiongkok dan Prancis serta kerja sama antara KPU dengan Alibaba Cloud yang merupakan pihak asing. Baca juga : Tolak Pemilu Basa-basi
Petrus bersama TPDI telah dua kali melaporkan dugaan pelanggaran Pemilu 2024 terkait Sirekap ke Bareskrim Polri. Namun, laporan tersebut ditolak. Padahal, kata dia, TPDI telah mengikuti semua arahan pihak kepolisian saat laporan pertama ditolak. Bareskrim berpadangan dugaan pelanggaran pemilu merupakan kewenangan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
“Padahal, informasi yang mau disampaikan TPDI dan Perekat Nusantara adalah dugaan tindak pidana. Ini menyangkut pelanggaran hukum, menyangkut kejahatan politik tingkat tinggi, menyangkut kelangsungan kepemimpinan nasional,” ujarnya.
Sentra Gakkumdu terdiri dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kejaksaan, dan kepolisian. Sentra Gakkumdu bertugas memproses kasus-kasus dugaan tindak pidana pemilu. “Kami sudah lampirkan surat yang diusulkan penyidik. Kami tidak rela dibawa ke Gakkumdu atau Bawaslu, karena ini masalah besar,” tandasnya. (RO/J-2)