Bebaskan Indonesia dari Nepotisme Vulgar

26 February 2024, 13:32

Alexander Jebadu.(Dokpri)

SIAPA yang berani mengatakan negeri tercinta kita saat ini sedang baik-baik saja? Siapa yang dengan gagah dan lantang membantah bahwa negeri kita tengah menjadi panggung dunia di mana nepotisme dipertontonkan dengan terang benderang dan kasat mata?

Bukan hanya Indonesia, sejumlah negara di belahan dunia pun tercengang. Kok bisa, Jokowi yang selama sembilan tahun ini menjadi Presiden RI, tiba-tiba melakukan nepotisme dengan sangat vulgar, terencana, dan terstruktur. Ia melakukan bersama kroninya termasuk sang ipar, hakim konstitusi, Anwar Usman. Tak berlebihan jika dikatakan, barangkali inilah nepotisme paling besar yang pernah terjadi pada abad modern ini.

Tanpa ragu, nepotisme ini telah membuat Indonesia yang seharusnya sudah semakin beradab pada abad 21 ini menjadi tidak beradab. Moral dan etika bangsa Indonesia runtuh berantakan. Demi keluhuran martabat bangsa Indonesia, nepotisme vulgar ini mesti dikutuk dan pelakunya dihukum.
Baca juga : Keluarga Jokowi Dilaporkan ke KPK Atas Dugaan Nepotisme

Sengaja disebutkan di sini kata vulgar, dengan maksud untuk memperjelas kedahsyatan daya rusak sebuah nepotisme. Vulgar, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sebuah tindakan tidak sopan dan kasar, tidak malu, baik dalam perilaku maupun dalam tindakan. Sedangkan menurut Encyclopedia Britanica, nepotisme adalah praktik tidak adil dalam memberikan pekerjaan dan bantuan lainnya, yang hanya diperuntukkan bagi kerabat sendiri, baik karena hubungan darah maupun karena hubungan perkawinan. Britanica lanjutkan, nepotisme terjadi di semua jenis tempat kerja dan bidang kerja, namun sering dikaitkan dengan tindakan pilih kasih atau pandang bulu (favoritism) dalam bisnis dan politik.

Cikal bakal nepotisme

Istilah nepotisme sendiri berasal dari bahasa Latin nepotismo. Istilah ini mulai populer digunakan pada abad XIV dan XV untuk menyebut praktik korup yang dilakukan para paus pada zaman itu, yang cenderung mengangkat pastor keponakan kandung (anak laki-laki dari saudari) mereka sendiri untuk menjadi kardinal, dan untuk menempati posisi-posisi penting lainnya dalam Gereja. Kata nepotismo ini berasal dari akar kata Latin nepos yang artinya “keponakan” (anak laki-laki dari saudari), atau kata bahasa Italia nipote yang juga artinya keponakan atau kerabat pada umumnya.

Perlu kita ingat, sejak abad pertama hingga abad XI, para paus dan para pastor Katolik (kecuali para pastor yang hidup berkelompok dalam biara) masih bisa menikah dan memiliki anak sendiri. Harta kekayaan pribadi para paus dan para pastor tersebut secara natural diwariskan kepada anak-anak kandung mereka sendiri. Tidak ada masalah.  Baca juga : Kenaikan Tunjangan Kinerja Jajaran Bawaslu Diusulkan sejak 2023

Namun sejak abad XI dan seterusnya, para paus dan semua pastor Katolik harus menjalani kedisiplinan hidup selibat. Mereka tidak boleh menikah dan tidak boleh berkeluarga. Para paus dan pastor Katolik diasumsikan menjadi bapa dari seluruh umat beriman dan harta pribadi mereka seharusnya diwariskan kepada Gereja untuk digunakan bagi kepentingan bersama seluruh umat beriman. Namun secara diam-diam praktiknya tetap lain.

Oleh karena mereka tidak mempunyai anak kandung sendiri, para paus dan para pastor abad pertengahan ini mulai mempraktikan sebuah kecendrungan baru. Mereka mewariskan barang- barang pribadi mereka, dan jabatan-jabatan keagamaan tertentu dalam Gereja kepada kerabat dekat mereka yaitu keponakan-keponakan sendiri – nepos atau nipote yang artinya anak laki-laki dari saudari kandung mereka. Warga masyarakat Romawi melihat hal ini sebagai sebuah praktik tidak sehat, dan karenanya sejak abad XIV, mereka mulai memakai kata nepotismo secara negatif dalam konteks ini.

Bangsa-bangsa Eropa yang semakin modern dan beradab, selanjutnya mulai menganggap praktik pilih kasih yang nepotis ini sebagai praktik tidak terpuji. Nepotisme bersifat egoistik. Melalui praktik nepotism, orang hanya mencintai diri sendiri dan kelompok sendiri. Hal ini, bertentangan dengan moral umum yang memandang semua manusia sebagai satu keluarga besar yaitu keluarga umat manusia. Nepotisme juga bertentangan dengan pandangan umum bahwa semua manusia mempunyai martabat yang sama sejak lahir dan berkedudukan sama di hadapan hukum. Baca juga : Kampanye Presiden di Luar Cuti Masuk Tindak Pidana

Oleh karena nepotisme tidak sesuai dengan moral dan etika umum manusia modern yang sudah semakin beradab, sejumlah negara telah menerbitkan undang-undang anti-nepotisme. Di Amerika Serikat, misalnya, undang-undang anti-nepotisme ini diatur dalam Hukum Negara Federal Amerika No. 5 U.S.C. § 3110 dan dalam U.S. House of Representatives Committee on Ethics yang berjudul House Ethics Manual (Buku Panduan Etik DPR Amerika Serikat) Bab 7 Halaman 272 Tahun 2022. Hukum Federal ini melarang para pejabat federal, termasuk anggota konggres untuk menunjuk, mempromosikan, atau merekomendasikan kerabatnya sendiri ke lembaga apapun di mana ia menjalankan tugasnya.

Paus Fransiskus juga tidak kalah gesit. Pada tahun 2020, ia menerbitkan Surat Gembala berbentuk Motu Proprio, yang bertujuan untuk mencegah korupsi terkait kontrak publik dan keuangan Vatikan. Surat Gembala Vatikan ini, melarang hubungan kekeluargaan apapun hingga tingkat keempat, dan segala hubungan kekerabatan hingga tingkat kedua bagi semua pegawai yang bertugas di Vatikan.

Namun yang terjadi di negeri kita, tidak demikian. Nepotisme belum diatur secara tegas dalam undang-undang, maka di sana sini secara merajalela praktik-praktik nepotis masih merebak. Bahkan dipraktikkan tanpa rasa malu. Kita tentu masih ingat. Tigapuluh dua tahun Rezim Orde Baru Soeharto (1966-1998) penuh dengan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Nepotisme yang melahirkan korupsi ini juga menjadi alasan utama Presiden Soeharto dipaksa lengser pada 1998.  Baca juga : Jokowi Disarankan Ambil Cuti untuk Dukung Prabowo-Gibran

Sejak saat itu, lahirlah Orde Reformasi dengan inti utama yaitu Indonesia bertekad membabat praktik nepotisme dan kembarannya, kolusi dan korupsi, hingga ke akar-akarnya. Untuk tujuan itu pula, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada 2002.

Kita tentu masih ingat juga. Dua belas tahun kemudian, pada 2014, Jokowi tukang mebel dari Solo tampil di panggung politik Indonesia. Salah satu gebrakannya tidak main-main: Revolusi Mental. Mental apa yang harus direvolusi? Tentu yang dimaksud ialah mentalitas memberantas nepotisme dan saudara kembarnya kolusi dan korupsi. Tentu dengan tujuan akhirnya ialah menjadikan Indonesia sebuah bangsa yang semakin beradab dan bermartabat.

Nepotisme vulgar

Itu sepuluh tahun lalu (2014). Sekarang? Semua baik-baik saja? Tidak!. Setahun terakhir ini kita semua dikejutkan dengan tontonan sebaliknya. Astaga! Semua idealisme yang digaungkan Jokowi 10 tahun lalu itu, semuanya terbalik. Semua bertanya-tanya setengah percaya ada apa dengan presiden kita? Entah setan betina dari mana yang telah menggoda Presidan Jokowi dan saudara iparnya Anwar Usman, hakim Mahkamah Konstitusi, untuk melakukan praktik tak bermoral nepotisme? Baca juga : Cawe-Cawe Jokowi Kejauhan, Kekuasaan Lembaga Kepresidenan Harus Diatur

Kita dipertontonkan sebuah nepotisme yang vulgar dan kasat mata. Dapatlah diduga, nepotisme yang dilakukan tanpa malu ini telah dirancang dengan sadar sejak lama. Berikut ini beberapa kronologinya bisa dilacak.

Menurut UUD 45 Pasal 23 Bagian C ayat (3): “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden.” Menurut data yang tersedia, Hakim Konstitusi Anwar Usman, paman kandung kesayangan Gibran, mulai bertugas sebagai anggota Mahkamah Konstitusi pada tanggal 2 April 2018. Hal itu artinya, Anwar Usman termasuk salah satu dari 3 hakim konstitusi yang ditunjuk langsung oleh Presiden Jokowi sendiri. Praktik tunjuk saudara ipar sendiri menjadi anggota Mahkamah Konstitusi ini saja sudah merupakan sebuah nepotisme. Jelas, ipar Anwar Usman ini di Mahkamah Konstitusi merupakan orang titipan sang Presiden untuk kepentingan pribadinya sendiri. Sekali lagi, ini nepotisme.

Apa tujuan pengangkatan saudara ipar sendiri jadi anggota Mahkamah Konstitusi? Jawabannya, Jokowi diduga sudah lama berencana untuk praktik nepotisme lain yaitu usung anaknya Gibran sendiri untuk lanjutkan kekuasaannya sebagai Presiden. Tapi masalahnya, Gibran masih belum cukup umur (36 tahun). Sementara UU Pemilu No.7/2017 Pasal 169 ayat q) dengan jelas mengatur, bahwa calon presiden dan calon wakil presiden harus berusia minimal 40 tahun. Dalam penjelasannya, Pasal 169 ayat q) ini ditulis: “(cukup jelas)” yang artinya Pasal 169 ayat q) ini sudah jelas dan tidak perlu diberi penjelasan tambahan. Baca juga : Timses Ganjar-Mahfud Bicara soal Jokowi dan Nepotisme

Entah didorong oleh setan jenis apa lagi, Jokowi nekat rontokkan UU Pemilu No.7/2017 Pasal 169 ayat q) ini. Bagaimana caranya? Setelah minggat dari PDIP, dengan akal bulus melalui PSI sebagai partai baru rangkulannya yang diketuai anaknya nomor dua, yang belum seumur jagung, Kaesang, Jokowi mengajukan permohonan uji materi atas UU Pemilu No. 7/2017 Pasal 169 ayat q) tersebut agar usia calon presiden dan calon wakil presiden diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Hakim konstitusi Anwar Usman, paman kesayangan Gibran, sudah siap eksekusi permohonan ini.

Tanpa peduli terhadap dissenting opinion (pendapat berbeda) dari beberapa hakim konstitusi yang lain, sebagai Ketua Hakim Konstitusi dan sebagai paman kandung Gibran, Anwar Usman membuat keputusan bahwa batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden tetap 40 tahun sesuai UU Pemilu No.07/2017, kecuali yang bersangkutan sudah berpengalaman sebagai pejabat negara atau kepala daerah.

Dengan demikian, loloslah keponakan kandungnya Gibran menjadi calon wakil presiden. Padahal UUD 45 Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) menetapkan, bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji sengketa undang-undang apakah sesuai atau tidak sesuai dengan UUD 45, memutus sengketa kewenangan antarlembaga-lembaga negara, membubarkan partai politik dan putuskan sengketa hasil pemilu, yang semua kewenangannya diberikan oleh UUD 45. Itu saja.  Baca juga : Kepemimpinan Moral Seorang Presiden

Tambahan pada UU No.7/2017 Pasal 169 ayat (q) yang berbunyi “kecuali (yang bersangkutan) sudah berpengalaman sebagai pejabat negara atau kepala daerah” adalah murni dibuat oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman untuk meloloskan keponakannya Gibran. 

Ini juga jelas merupakan sebuah pelanggaran karena menambah atau mengubah undang-undang itu bukan wewenang Mahkamah Konstitusi, tapi wewenang lembaga legislatif yaitu DPR RI. Sebagai hakim konstitusi, Anwar Usman merampas kewenangan lembaga lain yaitu DPR RI.

Astaga! Blunder (kesalahan) yang satu melahirkan blunder yang lain. KPU menerima pendaftaran Gibran sebagai calon Wakil Presiden Indonesia tanpa ada dasar hukum. Menurut UU Pemilu No.07/2017 Pasal 169 ayat q) Gibran tidak memenuhi persyaratan usia dan karena itu pencalonannya harus dicoret. Baca juga : Fungsi dari Kementerian Negara Republik Indonesia dan Landasan Hukum

Keputusan Paman Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi yang berbunyi “kecuali (yang bersangkutan) sudah berpengalaman sebagai pejaban negara atau kepala daerah” tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum bagi pendaftarannya di KPU, karena Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai wewenang untuk menciptakan hukum, mengubah atau menambah pasal, ayat atau kalimat baru tertentu dari undang-undang yang sudah diterbitkan. Perubahan-perbuahan seperti itu adalah murni wewenang lembaga legislatif yaitu DPR RI. Kesimpulannya, pencalonan Gibran sebagai wakil presiden Indonesia adalah illegal alias tidak sah secara hukum.

Tidak bermoral

Atas dasar ini semua maka jelaslah bagi kita, Presiden Jokowi sedang mendemontrasikan sebuah nepostime yang sangat vulgar, kasar, kasat mata, tidak sopan dan tidak bermoral. Juga tanpa rasa malu, jika hendak mengutip Wakil Presiden Maruf Amin saat pidato Perayaan Imlek 10/2/2024.

Begini kata Maruf Amin di luar teks pidato resmi dari Kementerian Sekretariat Negara: “(Kita) malu bila tidak tahu malu, menjadikan orang tidak menanggung malu…. Seorang yang memiliki rasa malu akan takut melakukan tindak yang tidak sesuai norma (hukum dan undang-undang), nilai dan etika.” Wah, kalau kita sudah tidak tahu malu, maka sebenarnya kita sudah tidak beda dengan sapi atau kambing atau ayam. Tapi hal itu bisa saja terjadi. Jika urat malu sudah tidak ada, aib apa pun akan dikerjakan dengan bangga di depan publik tanpa sedikit pun rasa bersalah. Baca juga : Survei Indopol: Kepuasan Publik terhadap Jokowi Turun

Tak pelak lagi, nepostime Jokowi ini adalah perbuatan sangat tercela secara moral. Nepotisme ini melawan prinsip bangsa beradab yang menjunjung tinggi kesamaan hak setiap warga negara, dan kesamaan derajat di hadapan hukum. Ia juga bertentangan dengan prinsip meritokrasi (meritocracy) di mana orang seharusnya mendapat upah dan jabatan apa saja karena prestasinya sendiri, dan bukan diberi karena hak istimewa pilih kasih yang nepotis. Nepotisme juga menghancurkan persaudaraan seluruh rakyat Indonesia sebagai satu keluarga, dan satu bangsa dari Sabang sampai Marauke.

Lebih dari itu, nepotisme juga sangat merugikan kehidupan politik dan kehidupan berdemokrasi karena beberapa kecenderungan watak nepotisme itu sendiri.

Salah satu watak nepotisme ialah mempersulit terciptanya tata kelola pemerintahaan yang baik (good governance), karena kelompok yang mempraktikkan nepotisme cenderung tertutup serta tidak mudah dimonitor dan diawasi. Ketertutupan itu sendiri sudah bertentangan dengan prinsip “kesempatan yang sama” (equal opportunity) untuk melakukan partisipasi politik secara terbuka, karena peran-peran tertentu dalam kepemerintahan sudah diblokir untuk anggota kelompok sendiri (in-group) yang menikmati hak-hak istimewa. Baca juga : Romo Magnis Sebut Penguasa tanpa Malu Bangun Dinasti Keluarga

Dengan tertutupnya partisipasi politik seperti ini, baik dalam birokrasi maupun dalam kehidupan berpolitik di Indonesia, maka amat sulit bagi kita untuk mendapatkan tenaga-tenaga terbaik dalam menjalankan tugas negara, karena mereka sudah tersingkir dari pola perekrutan yang berlangsung tertutup. Selain itu, nepotisme akan terus berusaha melestarikan kepentingan pribadi (vested interest) dari kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan publik dan kemajuan umum.

Urgensi UU antinepotisme

Semua sudah terjadi dan semua kita hanya mengelus dada. Dan karena bukan ranah penulis untuk meng-counter pelanggaran nepotisme ini sekarang, maka untuk ke depannya, sudah saatnya secara mendesak dibuat undang-undang yang akan mempersulit praktik nepotisme, kroniisme, kolusi dan dinasti politik dalam pemerintahan seperti yang telah lama dilakukan negara-negara maju.

Mendahului itu semua, satu hal yang harus disepakati bersama: nepotisme vulgar Jokowi harus dikutuk, termasuk memakzulan Jokowi dan tidak mengakui hasil Pilpres 2024 yang capres-cawapresnya sudah cacat hukum sejak dalam proses pencalonannya.

Keprihatinan dan tekad ini tidak serta-merta karena emosi dan kejengkelan terhadap pribadi Jokowi, tapi lebih karena kebenaran, bahwa bangsa yang beradab harus dipimpin oleh pemimpin yang bermoral dan beradab, yang dalam proses pencalonannya menghormati supremasi hukum dan undang-undang negara. Merdeka negeriku menuju bangsa yang bermartabat! Ayo bebaskan Indonesia dari nepotisme vulgar!