Adu Kekuatan AS-China di Arab Saudi, Siapa Pikat Raja Salman?

15 June 2023, 16:01

Jakarta, CNBC Indonesia – Rivalitas antara Amerika Serikat (AS) dan China terus muncul. Kali ini, kedua negara tampaknya tengah memperebutkan pengaruh Arab Saudi, yang dianggap sebagai patron regional di Timur Tengah.
Baru-baru ini, hubungan Saudi dengan China dan AS terus menerus jadi sorotan. Pasalnya, AS dirasa mulai ‘disingkirkan’ oleh Negeri Dua Kota Suci itu dan Riyadh terus mendekati China.
Sebelumnya, Washington memiliki hubungan yang kuat dengan Riyadh. Tercatat, kedua negara merupakan mitra strategis, dengan AS dan Saudi berkontribusi cukup banyak dalam kerja sama keamanan dan ekonomi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

AS adalah pemasok pertahanan utama untuk Arab Saudi, dan perusahaan pertahanan Saudi tetap menjadi satu-satunya pelanggan Penjualan Militer Asing (FMS) AS terbesar, dengan nilai kontrak senilai lebih dari US$ 140 miliar.
“Kemitraan ini didasarkan pada kepentingan bersama kami dalam keamanan di Teluk dan menghalangi kekuatan asing atau regional untuk mengancam kawasan tersebut,” tulis laman Departemen Luar Negeri AS, dikutip Kamis (15/6/2023).

Pasang Surut Hubungan AS-Saudi
Hubungan antara dua negara mulai memburuk pada era administrasi Presiden Joe Biden. Selama masa kampanyenya pada 2020, Biden telah menyudutkan Kerajaan pimpinan Raja Salman itu dengan menyebut Saudi sebagai negara ‘pariah’ karena isu HAM.
Tak hanya itu, Gedung Putih juga terus mengalamatkan tuduhan pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi kepada Putra Mahkota Saudi, Mohammed Bin Salman (MBS). Torbjorn Soltvedt, analis utama MENA di Verisk Maplecroft, dalam sebuah catatan email tahun 2021 lalu mengatakan bahwa ini merupakan penghinaan bagi Saudi.
Tidak selesai sampai di situ, Biden juga sempat menilai bahwa dukungan AS kepada Arab Saudi sehubungan dengan perang di Yaman harus dihentikan. Perang itu telah menciptakan apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk akibat ulah manusia di dunia.

Langkah ini pun mulai mengundang reaksi dari Riyadh. Saudi mulai mengambil jalan yang berbeda dengan apa yang dipikirkan Washington.
Saat Biden mengunjungi Saudi pada Juni tahun lalu, orang nomor satu AS itu disebutkan membawa misi untuk mengamankan kesepakatan rahasia bagi Riyadh untuk meningkatkan pasokan minyak.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Saudi, dengan negara-negara pengekspor minyak lainnya yang tergabung dalam OPEC, justru memutuskan untuk memotong produksi. Pemotongan produksi pun terus terjadi, dengan yang terbaru Riyadh berencana memangkas produksi sebesar satu juta barel per hari (bpd) pada Juli mendatang.

Masuknya China ke Saudi
Di tengah panasnya hubungan AS-Saudi, China yang merupakan rival Washington mulai membuka hubungan yang lebih intens dengan Riyadh. Tercatat, hubungan antara Saudi dan China pun mengalami penguatan.
Akhir Maret lalu, Riyadh menyetujui keputusan untuk bergabung dengan aliansi yang dianggotai Beijing, Organisasi Kerja Sama Shanghai (Shanghai Cooperation Organization/SCO). SCO adalah aliansi politik dan keamanan negara-negara yang tersebar di sebagian besar negara Eurasia, termasuk China dan Rusia, yang notabenenya rival dari negara-negara Barat pimpinan AS
Dibentuk pada 2001 oleh Rusia, China, dan negara-negara bekas Soviet di Asia Tengah, organisasi tersebut telah diperluas hingga mencakup India dan Pakistan, dengan maksud untuk memainkan peran yang lebih besar sebagai penyeimbang pengaruh Barat di wilayah tersebut.
Selain itu, Saudi dan China juga terlibat dalam penggunaan mata uang Yuan untuk membeli minyak. Hal ini disebut sebagai langkah baru guna mengurangi dominasi dolar AS di pasar minyak global.
Wall Street Journal menulis, pembicaraan ini sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir. Namun ketidaksenangan Negeri Raja Salman pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan kian gencar.
“Arab Saudi marah atas kurangnya dukungan AS untuk intervensi mereka dalam perang saudara Yaman dan atas upaya pemerintahan Biden untuk mencapai kesepakatan dengan Iran mengenai program nuklirnya,” tulis media itu mengutip sumber.

China sendiri telah membeli lebih dari 25% minyak yang diekspor Arab Saudi. Jika dihargai dalam yuan, penjualan tersebut akan mendongkrak posisi mata uang China.
Selain minyak, di lini bisnis lainnya, Arab Saudi telah menandatangani kesepakatan senilai US$ 5,6 miliar (Rp 83 triliun) dengan sebuah perusahaan China untuk investasi produksi kendaraan listrik.
Nota kesepahaman kedua pihak ditandatangani pada akhir pekan lalu dengan pembuat mobil listrik dan self-driving Human Horizons berkomitmen untuk pengembangan, manufaktur, dan penjualan kendaraan listrik di negara itu. Kesepakatan itu ditandatangani pada hari pertama Konferensi Bisnis Arab-China.
Di luar kerjasama bisnis dan ekonomi, Saudi kemudian membuat kejutan lainnya dengan memutuskan untuk melanjutkan kembali hubungan diplomasinya dengan Iran. Padahal, Washington dan mitranya di Timur Tengah, Israel, masih memandang Teheran sebagai negara yang menyimpan ancaman regional besar.
Lagi-lagi. China berperan aktif dalam kesepakatan ini. Kesepakatan keduanya muncul saat perwakilan kedua negara bertemu di Beijing, China. Terlihat foto yang menunjukan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani berjabat tangan dengan penasihat keamanan nasional Saudi Musaad bin Mohammed Al Aiban.
Beberapa analis mengatakan bahwa ini merupakan bukti semakin kuatnya peran China pada arena politik global, mengalahkan AS. Mantan pejabat senior AS dan PBB Jeffrey Feltman mengatakan peran China adalah aspek paling signifikan dari perjanjian tersebut.
“Ini akan ditafsirkan, mungkin secara akurat, sebagai tamparan pada pemerintahan Biden dan sebagai bukti bahwa China adalah kekuatan yang sedang naik daun,” kata Feltman, yang juga seorang peneliti di Brookings Institution, kepada Reuters.

Respons Saudi
Menteri Investasi Saudi Khalid Al-Falih mengatakan Arab Saudi melihat China sebagai mitra utama dalam dunia multipolar, dengan kedua negara diperkirakan akan makin dekat ketika minat bersama mereka tumbuh.
“Di satu sisi, ini adalah tatanan global multipolar yang telah muncul, bukan muncul. China adalah pemain penting di dalamnya,” kata Al-Falih kepada CNBC selama Konferensi Bisnis Arab-China di Riyadh, Selasa (13/6/2023).
Dunia multipolar dalam konteks ini menandakan sistem global yang tidak didominasi oleh Barat atau sebagai pertarungan antara dua kekuatan besar, seperti yang terjadi selama Perang Dingin.
Meski begitu, Al-Falih membantah bahwa ikatannya yang tumbuh dengan China merupakan ancaman bagi AS. Ia menegaskan pihak Saudi siap membangun kerjasama ekonomi dengan siapapun, di mana AS sendiri saat ini masih menjadi investor asing terbesar kerajaan pimpinan Raja Salman itu.
“Kami memiliki hubungan yang luar biasa dengan AS, sebagaimana dibuktikan selama kunjungan Presiden Biden tahun lalu. Dan saya pikir fakta bahwa Menteri Blinken ada di sini minggu lalu hanya memperkuat hubungan yang kuat itu.”

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

China Damaikan Arab Saudi-Iran, Xi Jinping ‘Tampar’ Joe Biden

(luc/luc)