Washington DC –
Perkataan Presiden Donald Trump bahwa Amerika Serikat dapat “mengambil alih” dan “memiliki” Gaza sekaligus menempatkan penduduknya di tempat lain menuai kecaman dari berbagai pihak.
Komentar Trump muncul saat gencatan senjata sedang berlangsung antara Hamas dan Israel serta di tengah kebimbangan tentang masa depan Gaza.
PBB memperkirakan sekitar dua pertiga bangunan di Jalur Gaza telah hancur atau rusak setelah 15 bulan pertempuran.
Usulan Trump dapat menandakan perubahan terbesar dalam kebijakan AS di Timur Tengah selama beberapa dekade.
Jika benar-benar terwujud, perubahan itu bakal menjungkirbalikkan konsensus internasional tentang perlunya negara Palestina terdiri dari Gaza dan Tepi Barat yang hidup berdampingan dengan Israel.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan perkataan Trump itu “layak diperhatikan”.
Di sisi lain, wacana tersebut ditolak mentah-mentah oleh negara-negara Arab, Indonesia, dan beberapa sekutu AS.
Mengapa Trump melontarkan wacana pengambilalihan Gaza?
Donald Trump benar tentang satu hal, yaitu diplomasi AS terhadap Israel dan Palestina selama puluhan tahun gagal menyelesaikan konflik.
Berbagai proposal perdamaian dan presiden telah datang dan pergi tetapi masalah di wilayah itu justru memburuk.
Serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 yang kemudian memicu pertikaian di Gaza adalah contohnya.
Trump, yang menghasilkan jutaan dolar sebagai pengembang property, membuat pengamatan valid: jika Gaza akan dibangun kembali bahkan di beberapa lokasi harus dibangun dari awal tidak masuk akal bagi ratusan ribu warga sipil menghuni di antara reruntuhan.
Pembangunan ulang Gaza akan sangat monumental. Amunisi yang tidak meledak dan tumpukan puing harus disingkirkan.
Saluran air dan listrik harus diperbaiki. Sekolah, rumah sakit, dan toko perlu dibangun kembali.
BBC
Utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, mengatakan bahwa proses pembangunan bisa memakan waktu bertahun-tahun dan selagi pembangunan berlanjut, warga Palestina harus pergi ke suatu tempat.
Namun, alih-alih mencari cara agar warga Jalur Gaza tetap tinggal di dekat rumah mereka, yang kemungkinan besar di kamp-kamp di bagian tengah dan selatan Jalur Gaza, Trump mengatakan mereka harus didorong untuk pergi secara permanen.
Trump percaya bahwa tanpa kehadiran mereka, “Riviera Timur Tengah” milik Amerika yang indah akan bangkit dari abu sehingga bisa menyediakan ribuan pekerjaan, peluang investasi, dan tempat bagi “masyarakat dunia untuk hidup”.
BBC
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
BBC
Usulan Trump ditolak berbagai pihak, termasuk Indonesia.
Dalam pernyataannya melalui media sosial X, Kementerian Luar Negeri RI menyatakan “Indonesia dengan tegas menolak segala upaya untuk secara paksa merelokasi warga Palestina atau mengubah komposisi demografis Wilayah Pendudukan Palestina.”
Tindakan itu, menurut Kemlu RI, “akan menghambat terwujudnya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat sebagaimana dicita-citakan oleh Solusi Dua Negara berdasarkan perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.”
Mengapa komentar Trump begitu kontroversial?
Bagi seorang presiden yang menghabiskan sebagian besar masa jabatan pertamanya berupaya mengubah kebijakan AS di Timur Tengah termasuk memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan yang diduduki usulan mengambil alih Jalur Gaza tergolong mengejutkan.
Tidak pernah ada presiden AS yang pernah berpikir bahwa menyelesaikan konflik Israel-Palestina akan melibatkan pengambilalihan sebagian wilayah Palestina dan pengusiran penduduknya.
Pengusiran paksa penduduk Jalur Gaza tergolong pelanggaran berat terhadap hukum internasional.
Beberapa warga Palestina kemungkinan akan memilih untuk meninggalkan Gaza dan membangun kembali kehidupan mereka di tempat lain. Sejak Oktober 2023, sebanyak 150.000 orang telah melakukannya.
Tetapi sebagian lainnya tidak dapat atau tidak mau, baik karena mereka tidak memiliki sarana keuangan untuk melakukannya atau karena keterikatan mereka dengan Gaza yang merupakan bagian dari tanah yang mereka sebut Palestina.
PBB memperkirakan dua pertiga dari seluruh bangunan di Gaza telah hancur atau rusak parah (Reuters)
Banyak warga Gaza adalah keturunan orang-orang yang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka saat pembentukan negara Israel pada 1948periode yang disebut warga Palestina dengan istilah Nakba, kata dalam bahasa Arab yang berarti malapetaka.
Bagi warga Palestina yang memimpikan punya negara sendiri, kehilangan sebagian wilayahnya akan terasa seperti amputasi. Apalagi Gaza telah terpisah secara fisik dari Tepi Barat sejak 1948.
Putaran negosiasi sebelumnya, serta “Visi Perdamaian” Trump tahun 2020, mencakup rencana pembuatan terowongan atau rel kereta api yang dapat menghubungkan kedua wilayah.
Kini, Trump justru memberi tahu warga Palestina untuk menyerahkan Gaza untuk selamanya.
Walau Trump tidak secara eksplisit mendorong deportasi paksa warga sipil yang bertentangan dengan hukum internasional Trump jelas menganjurkan warga Palestina untuk pergi.
Pejabat Palestina telah menuduh Israel memblokir pasokan dari puluhan ribu karavan yang dapat membantu warga Gaza untuk tetap tinggal di wilayah yang tidak terlalu rusak selagi pembangunan berlangsung.
Negara-negara Arab, yang menurut Trump harus menerima sebanyak 1,8 juta pengungsi Gaza, terutama Mesir dan Yordania, telah menyatakan kemarahannya.
Keduanya memiliki cukup banyak masalah tanpa beban tambahan ini.
Bagaimana status Gaza?
Gaza diduduki oleh Mesir selama 19 tahun. Israel kemudian merebutnya dalam Perang Enam Hari tahun 1967.
Berdasarkan hukum internasional, Gaza masih dianggap diduduki oleh Israel. Namun, anggapan itu dibantah Israel. Negara itu berkilah bahwa pendudukan di Gaza berakhir pada 2005, ketika Israel secara sepihak membongkar permukiman Yahudi dan menarik militernya.
Sekitar tiga perempat anggota PBB mengakui Gaza sebagai bagian dari negara berdaulat Palestina, meskipun AS tidak.
BBC
Terputus dari dunia luar oleh tembok dan blokade maritim Israel, Gaza tidak pernah terasa seperti tempat yang benar-benar merdeka.
Tidak ada seorang pun yang bergerak masuk atau keluar Gaza tanpa izin Israel. Bandara internasional yang dibuka di tengah keriuhan pada 1998 dihancurkan oleh Israel pada 2001 selama pemberontakan Palestina kedua.
Israel dan Mesir memberlakukan blokade terhadap Gaza dengan alasan keamanan setelah Hamas memenangkan pemilihan Palestina pada 2006. Hamas mengusir para rival politiknya dari wilayah tersebut setelah pertempuran sengit tahun berikutnya.
Hingga saat ini warga Palestina menganggap Gaza sebagai penjara terbuka.
Dapatkah Trump mengambil alih Gaza jika dia menginginkannya?
AS tidak memiliki dalih hukum untuk mengklaim Jalur Gaza dan sama sekali tidak jelas bagaimana Trump memakai kekuatan Amerika Serikat untuk mengambil alih wilayah tersebut.
Seperti klaimnya tentang Greenland atau Terusan Panama, belum jelas apakah Trump memang bersungguh-sungguh atau apakah komentar tersebut merupakan posisi tawar yang mengada-ada menjelang serangkaian negosiasi tentang masa depan Gaza.
Berbagai rencana telah dibahas untuk membentuk pemerintahan di Gaza pascaperang.
Pada bulan Desember, dua faksi utama Palestina, Hamas dan Fatah, sepakat membentuk komite gabungan untuk menciptakan pemerintahan bersatu. Namun, sejauh ini kesepakatan tersebut tidak membuahkan hasil.
Di waktu lain, diskusi difokuskan pada pembentukan pasukan penjaga perdamaian internasional, yang mungkin terdiri dari pasukan negara-negara Arab.
Trump melontarkan wacana soal pengambilalihan Gaza dalam jumpa pers di Washington, pada Selasa (04/02) (EPA)
Bulan lalu, kantor berita Reuters melaporkan bahwa Uni Emirat Arab, AS, dan Israel telah membahas pembentukan pemerintahan sementara di Gaza sampai Otoritas Palestina (PA) yang menguasai sebagian wilayah Tepi Barat siap mengambil alih.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara terbuka menegaskan bahwa PA tidak akan memiliki peran dalam mengelola Gaza pascaperang.
Apakah Trump hendak mengerahkan militer AS?
Pasukan AS sejatinya sudah ada di lapangan. Sebuah perusahaan keamanan AS telah mempekerjakan sekitar 100 mantan pasukan khusus AS untuk menjaga pos pemeriksaan di selatan Kota Gaza. Mereka bertugas memeriksa kendaraan warga Palestina yang kembali ke bagian utara Gaza.
Personel keamanan Mesir juga terlihat di pos pemeriksaan yang sama.
Ini bisa menjadi tanda-tanda awal perluasan kehadiran pasukan internasional yang mungkin dipimpin ASdi Gaza.
Meski demikian, itu bukanlah pengambilalihan AS sebab langkah tersebut membutuhkan intervensi militer skala besar di Timur Tengah sesuatu yang menurut Trump akan dia hindari.
Apakah wacana Trump bisa berdampak pada gencatan senjata Israel-Hamas?
Negosiasi tahap kedua dari gencatan senjata dua minggu antara Israel dan Hamas baru saja dimulai, tetapi sulit untuk melihat bagaimana pernyataan mengejutkan Trump akan membantu perwujudan gencatan tersebut.
Jika Hamas merasa hasil akhir dari seluruh proses ini adalah Gaza yang tidak berpenghuni tidak hanya tanpa Hamas, tetapi juga semua warga Palestina Hamas mungkin menyimpulkan tidak ada yang perlu dibicarakan dan menahan para sandera Israel yang tersisa.
Para pengkritik Netanyahu menuduh sang perdana menteri mencari alasan untuk menggagalkan negosiasi dan melanjutkan perang. Mereka pasti akan menyimpulkan bahwa, dengan melontarkan komentar-komentar ini, Trump sengaja membantu Netanyahu.
Di sisi lain, pendukung sayap kanan Netanyahu mengaku puas dengan rencana pengambilalihan Gaza oleh AS. Sebab langkah itu berpotensi mengurangi risiko pengunduran diri kabinet dan membuat masa depan politik Netanyahu tampak lebih terjamin.
Dalam hal itu, Trump telah memberi Netanyahu insentif yang kuat untuk mempertahankan gencatan senjata.
Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata, namun pasukan Israel belum sepenuhnya ditarik dari Gaza (Reuters)
Apa yang Trump katakan soal Tepi Barat?
Ketika Trump ditanya apakah dia setuju AS harus mengakui kedaulatan Israel atas Tepi Barat, Trump mengatakan dia belum mengambil sikap. Menurutnya, keputusan akan diumumkan dalam waktu empat minggu.
Pernyataan itu telah membuat warga Palestina khawatir. Sebab, Trump bisa saja mematikan rencana pendirian negara Palestina yang berdampingan dengan Israel.
Mengakui legitimasi permukiman Israel di Tepi Barat juga akan menjadi keputusan yang sangat penting.
Sebagian besar khalayak paham bahwa permukiman itu ilegal menurut hukum internasional, meskipun Israel membantahnya.
Selama putaran perundingan perdamaian sebelumnya, para negosiator mengakui bahwa Israel akan dapat mempertahankan blok permukiman besar sebagai bagian dari perjanjian akhir, mungkin dengan imbalan sebagian kecil wilayah Israel.
Pada tahun 2020, Trump menjadi perantara Perjanjian Abraham, yang mengamankan normalisasi hubungan bersejarah antara Israel dan dua negara Arab, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain.
UEA menandatangani perjanjian tersebut dengan kesepahaman bahwa Israel tidak akan mencaplok wilayah Tepi Barat. Namun, kesepahaman ini mungkin sedang terancam.
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu