Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Tidak Perlu Khawatir Penghapusan “Presidential Threshold”

Tidak Perlu Khawatir Penghapusan “Presidential Threshold”

Tidak Perlu Khawatir Penghapusan “Presidential Threshold”
Pengajar pada Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung
PUTUSAN
Mahkamah Konstitusi (MK) yang cukup menggemparkan tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (
presidential threshold
) membuat sejumlah orang khawatir atas dampak yang ditimbulkannya ke depan.
Sebab, MK bukan sekadar membatalkan ambas batas raihan 20 persen kursi parlemen atau 25 persen raihan suara sah nasional, tapi juga menyatakan bahwa berapa pun besarannya, persentase ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakilnya bertentangan dengan Konstitusi.
Kekhawatiran sejumlah pihak, di antaranya, terkait mandat kuasa dan legitimasi presiden terpilih, andaikan pasangan terpilih nanti adalah calon dari partai kecil yang minim kursi di parlemen.
Atau, calon terpilih mendapatkan suara terbanyak, tapi dengan angka raihan yang tidak signifikan karena suara pemilih terdistribusi ke sejumlah kandidat yang berjibun.
Jika terlalu banyak kandidat bersaing, maka suara pemilih dapat tersebar sangat tipis di antara calon. Dalam kondisi seperti ini, seorang kandidat hanya akan meraih mayoritas relatif, tidak meraih mayoritas absolut suara pemilih.
Kondisi di atas dikhawatirkan akan menimbulkan instabilitas pemerintahan karena dinamika politik di parlemen yang tidak akan mudah dikendalikan.
Atau karena presiden terpilih mendapatkan mandat mayoritas yang minim, sehingga akan terhambat menjalankan program-program pemerintahannya.
Kekhawatiran sebagian orang di atas beralasan ketika menghubungkan raihan angka suara sebagai instrumen legitimasi pemerintahan.
Namun, dalam demokrasi sejati, legitimasi bukan hanya soal angka, tetapi juga soal kemampuan aktor politik untuk mengelola dinamika politik.
Paling tidak, kita memiliki dua hal yang dapat diandalkan untuk menghadapi “badai penghapusan ambang batas”, yaitu budaya politik dan aturan Konstitusi tentang sistem
Pilpres
.
Budaya politik Indonesia tertandai oleh fleksibilitas tinggi dalam praktik koalisi. Kita memiliki sejarah bahwa koalisi politik di negeri ini mencerminkan semangat gotong royong, bukan sekadar perilaku politik pragmatis.
Sampai pun dalam situasi dengan fragmentasi politik yang tajam, aktor-aktor politik di kita mampu menemukan jalan tengah untuk membangun koalisi pemerintahan.
Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming saat ini melibatkan koalisi besar dari berbagai partai yang sebagiannya malah lawan kontestasi.
Termasuk pada Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden hanya bermodalkan tiga partai kecil, yaitu Demokrat, PBB, dan PKPI pada putaran pertama. Seiring berjalannya waktu dan proses negosiasi, terbangunlah koalisi yang relatif kuat.
Fleksibilitas koalisi di Indonesia didukung oleh struktur sosial dan budaya yang didasarkan nilai kompromi tinggi. Budaya ini memberikan ruang negosiasi politik untuk mengakomodasi berbagai pihak.
Kerangka koalisi di negeri ini bertumpu pada jargon “musyawarah untuk mufakat”. Jargon ini cukup teruji dalam menyelesaikan konflik politik.
Fleksibilitas koalisi di Indonesia memudahkan integrasi politik pasca-pemilu, sehingga pihak yang kalah tidak selalu menjadi oposisi yang keras.
Partai-partai yang awalnya tidak mendukung presiden terpilih sangat mudah bersedia untuk bergabung dalam pemerintahan jika diberikan “bagian” yang memadai.
Hal lain yang unik dari modal budaya politik kita adalah figur presiden yang menjadi “pusat gravitasi politik”. Presiden terpilih di kita selalu “memiliki energi alami” untuk menarik dukungan lintas partai dan menjadi katalis bagi terbentuknya koalisi yang luas.
Satu hal lagi yang dapat digunakan mengantisipasi dampak “nol persen ambang batas” adalah kerangka konstitusi, dalam hal ini peraturan Pemilu Indonesia yang menganut sistem dua putaran (
two-round system
).
Sistem dua putaran memberikan rancangan bahwa meskipun putaran pertama mencerminkan fragmentasi politik, putaran kedua menawarkan konsolidasi politik melalui calon yang paling kuat.
Pada putaran pertama, keberagaman kandidat mungkin lebih mencerminkan pluralitas ideologi dan kepentingan politik. Hal ini pun jangan dirisaukan, bukan kelemahan, melainkan modal demokrasi itu sendiri.
Kehadiran kandidat yang beragam memungkinkan masyarakat untuk bisa menimbang dari spektrum pilihan yang lebih luas dan mendorong partisipasi politik lebih besar.
Mungkin saja terlihat seperti “overload” kandidat, tapi putaran pertama sebenarnya berfungsi sebagai tahap “seleksi alami”, di mana kandidat dengan dukungan paling besar maju ke putaran berikutnya.
Sementara itu, putaran kedua berfungsi sebagai mekanisme penyederhanaan politik.
Di putaran kedua akan terbentuk konsolidasi. Kandidat yang tersisa akan membangun aliansi politik yang lebih besar untuk memenangkan suara mayoritas, sehingga presiden terpilih akan memiliki legitimasi yang lebih kuat.
Dalam sistem dua putaran, kandidat yang maju ke tahap akhir sering kali bukan sekadar memiliki dukungan terbesar, tetapi juga mampu membangun koalisi lintas partai dan kepentingan.
Proses ini mendorong terbentuknya pemerintahan yang relatif stabil karena presiden terpilih didukung oleh aliansi politik yang lebih luas dibandingkan pada putaran sebelumnya.
Dengan demikian, penghapusan
presidential threshold
sebaiknya dilihat sebagai tantangan yang dapat dikelola daripada dilihat sebagai ancaman.
Sekalipun tidak menggaransi apapun tentang kualitas pemimpin terpilih nanti, “ambang batas nol persen” adalah ekspresi dari komitmen kita terhadap demokrasi yang inklusif.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.