Subsidi Motor Listrik, Neraka dan Aneh Klaim Jokowi Pro Angkutan Umum

17 February 2023, 7:30

Jakarta, CNN Indonesia — Presiden Jokowi akhirnya buka suara soal permasalahan di Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Salah satunya, yang berkaitan dengan pembengkakan biaya sebesar Rp18 triliun yang terjadi pada proyek tersebut.
Jokowi tak mempermasalahkan pembengkakan itu. Pasalnya, pemerintahannya pro terhadap keberadaan moda transportasi massal.
“Kita ini harus pro kepada transportasi massal. Hati-hati, jangan pro pada kendaraan pribadi sehingga yang namanya MRT, LRT, kereta api, kereta api cepat itu menjadi sebuah keharusan bagi kota besar,” ujarnya, Kamis (16/2).

Namun di tempat sama, Jokowi justru mengeluarkan pernyataan yang kontras dengan klaimnya bahwa pemerintahannya pro angkutan massal.  Di momen sama, Jokowi justru menyebut pemerintahannya akan menggelontorkan subsidi besar untuk pembelian kendaraan listrik.
Memang, Jokowi menyebut besaran subsidi tersebut masih dihitung oleh Kementerian Keuangan. Tapi, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan pernah menyebut besaran subsidi yang akan diberikan mencapai Rp7 juta.
Subsidi itu untuk pembelian motor listrik. Jokowi mengatakan subsidi untuk motor listrik akan didulukan.
“Tapi tentu saja didahulukan untuk motor dulu. Tadi mobil-mobil listrik saya tanya antrenya ada yang setahun, antre ada yang dua bulan, enam bulan, inden. Apalagi diberi insentif. Tapi tetap dalam perhitungan dan kalkulasi tentunya,” jelas Jokowi.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang mengatakan klaim Jokowi bahwa pemerintahannya pro angkutan massal jauh panggang dari api.
Bagaimana mungkin katanya, Jokowi bisa mengklaim pemerintahannya pro angkutan massal sementara ia sendiri malah berencana menggelontorkan insentif besar ke pembelian motor listrik dan mobil listrik.
Bukankah katanya, insentif itu justru akan mendorong orang untuk membeli kendaraan pribadi dan meninggalkan angkutan umum yang pada ujungnya bisa meningkatkan kemacetan lalu lintas.
Ia mengatakan daripada menggelontorkan subsidi besar untuk kendaraan listrik, Jokowi harusnya menggunakan dana subsidi itu untuk membangun infrastruktur angkutan massal yang pembangunannya sudah terlambat di Indonesia.

Ia mengatakan pembangunan sarana transportasi massal cukup penting untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. Apalagi, Jokowi pernah mengungkap kemacetan lalu lintas telah menimbulkan kerugian ekonomi Rp100 triliun per tahun.
Kerugian itu hanya untuk kemacetan lalu lintas di Jakarta saja. Kalau ditambah kemacetan di daerah lain, mungkin potensinya bisa lebih dari itu.
“(Maka itu) Kemarin saya buat petisi untuk Pak Jokowi supaya tidak menyetujui subsidi kendaraan listrik ini karena masih lebih banyak yang membutuhkan di sektor fasilitas umum, termasuk transportasi umum. Kalau statement Presiden bilang mau begitu, ya memang saya anggap tidak konsisten. Saya anggap tidak konsisten dengan pembangunan angkutan umum yang tertatih-tatih,” jelasnya kepada CNNIndonesia.com.
“Kenapa malah diberikan kepada pengguna kendaraan pribadi yang notabene tanpa subsidi pun sudah macet, apalagi dengan subsidi. Baiklah dengan dalih kendaraan listrik lebih ramah lingkungan bla bla bla, tapi kan tetap macet. Memang kalau sudah macet tidak masalah begitu? Kendaraan listrik semua hanya parkir di jalan, tidak jalan begitu. Itu tidak masalah? Kan percuma, tetap tidak produktif,” sambungnya.

Ia mengatakan subsidi kendaraan listrik hanya akan menguntungkan industri otomotif. Deddy menilai lebih baik uang yang rencananya digunakan untuk subsidi motor dan mobil listrik itu dialokasikan saja untuk menambal cost overrun kereta cepat.
Menurutnya, prioritas pemerintah saat ini masih vehicle oriented alias ke kendaraan pribadi, bukan transit oriented. Deddy beranggapan jika memang Jokowi benar-benar transit oriented, harusnya subsidi diutamakan untuk kendaraan umum. Aneh jika pemerintah lebih mengutamakan subsidi kendaraan listrik pribadi.
“Makanya kita perlu pemerintah yang serius menggarap kemacetan. Kemacetan ini puluhan tahun tidak pernah diurus, eh tahu-tahu kampanye kendaraan listrik, baru kemarin sore ramah lingkungan bla bla bla, disubsidi. Ini kan baru kemarin sore kendaraan listrik, kemacetan sudah puluhan tahun,” kritik Deddy.
Direktur Eksekutif INSTRAN itu menjelaskan sebenarnya ada dua skenario dalam memerangi kemacetan alias transport demand management (TDM), yakni push dan pull. Push artinya menekan atau membatasi kendaraan pribadi, sedangkan pull adalah bagaimana caranya menarik orang untuk menggunakan angkutan umum.
Deddy menilai jika keduanya tidak seimbang maka sia-sia saja. Meski sudah dibangun MRT hingga LRT, orang-orang nyatanya masih betah pakai kendaraan pribadi. Bahkan, jika MRT gratis pun, Deddy menilai semuanya percuma ketika kendaraan pribadi tidak dibatasi.

“Mungkin maksudnya Pak Jokowi itu mau merangkul semua pihak, ya pengusaha jalan tol dirangkul, pengusaha kereta dirangkul, pengusaha otomotif juga dirangkul, tapi kalau secara core kita tetap berharap di manapun, negara modern manapun tetap menomorsatukan angkutan umum,” tegas Deddy.
“Semua dirangkul it’s oke lah, dirangkul dengan aturan atau regulasi yang ada. Tapi harapan saya, sebagai Presiden, sebagai leader politik saya berharap Pak Jokowi tetap berpihak ke angkutan umum. Angkutan umum kita jauh tertinggal,” tandasnya.
Pengamat Transportasi dan Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna mempertanyakan ucapan Jokowi soal subsidi kendaraan listrik, apakah itu benar dalam rangka mendorong penggunaan energi hijau atau ada motif lain.
Namun, apa pun motif itu katanya, mendorong penggunaan kendaraan pribadi, termasuk yang berbasis listrik dengan menggelontorkan subsidi adalah hal berat dengan situasi dan kondisi seperti sekarang.

Yayat lebih menyarankan Jokowi fokus memperbaiki angkutan massal ketimbang transportasi lain.
Ia juga menuntut Jokowi untuk lebih terbuka dan transparan soal subsidi kendaraan listrik. Yayat mempertanyakan subsidi tersebut akan berlaku untuk kendaraan listrik dari pabrikan mana. Ia menyayangkan kalau subsidi itu hanya untuk membeli motor dan mobil listrik Made in China hingga Made in Korea.
“Artinya kalau kita terus mendorong penggunaan kendaraan pribadi, kita ini nunggu kiamat saja. Kiamat di jalan. Karena sekarang ini sudah terasa betapa macetnya Jakarta. Sudah dalam titik lelah kita ini menghadapi stres, kepadatan, kemacetan yang diakibatkan jumlah kendaraan pribadi yang sedemikian ini,” tutur Yayat.
“Neraka kemacetan itu sudah membuat kita tuh dalam dilema. Dilema menurunkan produktivitas, menghabiskan BBM berjam-jam, semua habis hanya karena persoalan macet di mana-mana,” imbuhnya.
Ia juga menyinggung soal hitung-hitungan Jokowi yang mengatakan Jakarta rugi lebih dari Rp100 triliun imbas kemacetan. Apalagi Jokowi membandingkan ketika dirinya masih memimpin sebagai Gubernur DKI 2012-2014, Ibu Kota diklaim hanya rugi Rp65 triliun. Menurut Yayat jumlah kendaraan pribadi memang terus meningkat.

Selain itu, Yayat menilai rata-rata Jakarta dibanjiri oleh pekerja dari daerah pinggiran yang membawa kendaraan pribadi. Ia lantas mempertanyakan dasar hitungan rugi Rp100 triliun itu, apakah produktivitas, bahan bakar, atau aspek kesehatan masyarakatnya. Menurutnya, kerugian paling berat sejatinya bersumber dari aspek kesehatan, dan itu tidak pernah dihitung.
“Jadi sekali lagi saya mengatakan, kota-kota seperti Jakarta, Bandung, dan metropolitan lain di perjalanan itu sudah dalam kategori neraka kemacetan karena begitu lama waktu yang kita habiskan di dalam perjalanan, begitu besar pemborosan energi, semakin tinggi polusinya, dan paling berbahaya adalah stres. Kalau penduduk suatu kota besar sudah mengalami stres, itu produktivitasnya aduh benar-benar itu, saya saja sudah stres ini sebenarnya,” ungkapnya.

Aneh Jokowi Tak Permasalahkan Biaya Kereta Cepat Bengkak Rp18 T

BACA HALAMAN BERIKUTNYA