Sri Mulyani Targetkan Pertumbuhan 5,8% di 2026, DPR Ingatkan Risiko Eksternal

Sri Mulyani Targetkan Pertumbuhan 5,8% di 2026, DPR Ingatkan Risiko Eksternal

Jakarta (beritajatim.com) – Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional di kisaran 5,2–5,8 persen pada 2026 sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sidang paripurna DPR RI pada Senin, 20 Mei 2025. Penyampaian asumsi makro dan kebijakan fiskal RAPBN 2026 ini bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional.

Dalam pemaparan tersebut, selain pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga mengajukan asumsi inflasi sebesar 1,5–3,5 persen, nilai tukar rupiah Rp16.500–Rp16.900 per dolar AS, serta suku bunga SBN 6,6–7,2 persen. Sementara harga minyak mentah Indonesia (ICP) dipatok pada kisaran USD 60–80 per barel, dengan target lifting minyak bumi 600–605 ribu barel per hari, dan lifting gas bumi 953–1017 ribu barel setara minyak per hari.

Namun, Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah mengingatkan bahwa target tersebut perlu dicermati dengan lebih realistis mengingat berbagai tantangan yang sedang dan akan dihadapi. Salah satunya adalah dampak perang tarif yang mengguncang perdagangan global dan mendorong praktik proteksionisme.

“Kebijakan perang tarif telah mengguncang tata perdagangan global. Dan memperhadapkan perdagangan global dalam situasi yang proteksionis, yang sesungguhnya berlawanan dengan prinsip dan komitmen dari kerjasama perdagangan regional dan global yang mutualistik,” ujarnya.

Ia juga menggarisbawahi bahwa pada tahun 2025 pemerintah menghadapi risiko shortfall pajak akibat menurunnya harga komoditas ekspor, tekanan terhadap sektor manufaktur, dan lesunya konsumsi rumah tangga. Kondisi ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun depan dan dapat mengganggu pencapaian target pendapatan negara.

“Pendapatan negara menjadi pilar penting untuk memastikan penganggaran berbagai program strategis, termasuk untuk pemenuhan kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang yang jatuh tempo di tahun depan yang sangat besar,” tegas Said.

Untuk itu, pemerintah diminta menetapkan target pendapatan yang realistis-optimistis, disertai dengan kebijakan ekstensifikasi perpajakan, antara lain melalui optimalisasi cukai, tarif minerba, dan sektor digital. Pemberlakuan sistem administrasi pajak berbasis core tax system juga dinilai perlu mempertimbangkan kesiapan literasi wajib pajak serta jaminan keamanan sistem.

Selain aspek fiskal, DPR juga menyoroti lambatnya realisasi program ketahanan pangan dan energi. Program redistribusi lahan dinilai belum berjalan optimal, sementara sektor pertanian justru mengalami disrupsi dari sisi lahan, tenaga kerja, dan teknologi.

Pemerintah didesak untuk menuntaskan redistribusi 4,5 juta hektare lahan bagi petani dan perkebunan rakyat, serta meningkatkan adopsi teknologi modern di sektor pertanian. Hal serupa juga berlaku untuk sektor energi, di mana pembangunan lima kilang minyak nasional termasuk proyek petrokimia di Tuban masih belum tuntas.

Di sektor industri, DPR mencatat adanya pelemahan signifikan yang berdampak pada menyusutnya kelas menengah. Data BPS menunjukkan penurunan jumlah penduduk kelas menengah dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024, atau turun sebanyak 9,48 juta orang.

“Pemerintah perlu merevitalisasi sektor industri dengan menyiapkan ekosistem industri yang menopangnya seperti tenaga kerja, dukungan pendanaan, riset dan pengembangan teknologi, serta dukungan fiskal,” tambah Said.

Meski pemerintah mengklaim telah menyusun delapan program strategis nasional untuk 2026, DPR menilai target penurunan tingkat pengangguran dan gini rasio dalam RAPBN masih belum menunjukkan progres yang signifikan. Target tingkat pengangguran 4,44–4,96 persen dan gini rasio 0,377–0,380 dinilai tidak cukup untuk menunjukkan keberpihakan pada penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kesenjangan sosial. [beq]