Bisnis.com, JAKARTA— Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai industri digital nasional belum menggeliat dalam setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Ketua Umum Mastel Sarwoto Atmosutarno mengatakan, selama setahun terakhir pemerintah masih melanjutkan agenda sebelumnya dan tengah berproses menyesuaikan organisasi serta kepemimpinan baru di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
“Setahun terakhir masih melanjutkan agenda tahun sebelumnya dan sedang proses penyesuaian organisasi dan leadership baru Komdigi,” kata Sarwoto kepada Bisnis, Minggu (19/10/2025).
Sarwoto menuturkan, konsolidasi di industri telekomunikasi telah menghasilkan tiga operator besar, yaitu Indosat Ooredoo Hutchison, XL Smart, dan TelkomGroup. Namun, hubungan antara penyelenggara telekomunikasi dengan ekosistem digital lain seperti over the top (OTT) masih terus mencari pola yang tepat.
Di sisi lain, industri jasa internet di Indonesia masih mengalami kelebihan pasokan (oversupply) dengan jumlah penyelenggara mencapai lebih dari 1.300 perusahaan. Kondisi tersebut membuat konsolidasi belum berdampak signifikan terhadap kinerja jangka pendek, di mana pangsa pasar memang tumbuh, tetapi pendapatan cenderung stagnan.
Sarwoto juga menyoroti kinerja Badan Layanan Umum Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BLU BAKTI) yang masih menghadapi kendala anggaran, meskipun sejumlah persoalan masa lalu telah diselesaikan. Dia menilai belum terjadi lonjakan signifikan terhadap ketersediaan dan kecepatan internet di Indonesia.
“Tugas pelayanan universal BLU BAKTI terkendala masalah anggaran, walaupun kasus masa lalu telah diselesaikan dengan baik. Belum ada loncatan yang signifikan untuk ketersediaan dan kecepatan internet di Indonesia untuk MBB/FBB [mobile broadband/fixed broadband] atau 45 Mbps/39,8 Mbps masih nomor 9 atau 10 dari 12 negara Asean,” tuturnya.
Meski demikian, Sarwoto mencatat adanya peningkatan pada bisnis berbasis komputasi awan (all cloud), meskipun masih dibayangi tantangan terkait kedaulatan data (data sovereignty).
Sementara itu, pada sektor bisnis kecerdasan buatan (all intelligence business) dan keamanan siber (cyber security), Indonesia masih menjadi pasar bagi pemain asing.
Lebih lanjut, Sarwoto menilai percepatan transformasi digital nasional memerlukan penguatan di empat aspek utama. Dia menjelaskan, industri infrastruktur digital membutuhkan insentif agar dapat memperbaiki struktur biaya dan mendukung layanan baru seperti jaringan 5G maupun konstelasi satelit.
Pemerintah juga perlu membuka pasar teknologi pemerintahan (GovTech) secara lebih luas serta memberikan dukungan terhadap pengembangan internet of things (IoT). Selain itu, lembaga riset dan pengembangan talenta digital perlu diperkuat untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten di bidang teknologi.
Di sisi regulasi, pemerintah diharapkan segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Siber dan aturan pelaksanaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut Sarwoto, percepatan transformasi digital membutuhkan semangat deregulasi (pengurangan aturan berbelit) dan debottlenecking (pembukaan hambatan birokrasi) terhadap regulasi yang selama ini menghambat perkembangan industri.
“Mastel sangat berharap semangat deregulation dan debottlenecking aturan, regulasi yang menghambat percepatan transformasi digital agar dihilangkan. Kita memerlukan leadership pemerintah yang efektif dan profesional dalam rangka mendukung transformasi digital,” tutur Sarwoto.
Sementara itu, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) juga menilai belum ada perubahan signifikan dalam industri internet nasional selama 1 tahun pemerintahan Prabowo–Gibran.
Ketua Umum APJII Muhammad Arif mengatakan, sejauh ini pelaku industri masih menunggu arah kebijakan dan bentuk kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah dan sektor industri digital, khususnya terkait peta jalan (roadmap) pengembangan internet di Indonesia.
“Sejauh ini untuk industri internet belum ada perubahan signifikan. Kita masih menunggu juga kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah dan industri untuk roadmap ke depannya,” kata Arif kepada Bisnis, Minggu (19/10/2025).
APJII juga mendorong pemerintah untuk melakukan moratorium terhadap penerbitan izin penyelenggara internet service provider (ISP), mengingat jumlah penyelenggara yang sudah sangat banyak. Berdasarkan data APJII, terdapat lebih dari 1.300 perusahaan yang telah mengantongi izin ISP di Indonesia.
“Persaingan sudah semakin ketat, sehingga kita perlu memikirkan keberlangsungan industri internet ke depannya dan tetap meningkatkan kualitas layanan,” ujarnya.
Arif menegaskan komitmen APJII untuk mendukung pemerataan akses dan peningkatan kualitas internet di seluruh wilayah Indonesia.
“APJII siap mendukung program-program pemerataan dan peningkatan kualitas internet di Indonesia, sekaligus berkontribusi dalam penyusunan roadmap infrastruktur digital ke depannya,” kata Arif.
