PT SAS Dituding Rampas Fasilitas Umum, DPRD Surabaya Rekomendasikan Penghentian Pembangunan Cafe NOOK

PT SAS Dituding Rampas Fasilitas Umum, DPRD Surabaya Rekomendasikan Penghentian Pembangunan Cafe NOOK

Surabaya (beritajatim.com) – Suasana hearing di Komisi A DPRD Surabaya berlangsung panas saat warga Graha Famili menyampaikan aduan terkait pembangunan Café NOOK, Rabu (1/10/2025).

Dalam hearing itu, warga menuding pengembang PT Sanggar Asri Sentosa (SAS) telah menyalahgunakan lahan fasilitas umum (fasum) Boulevard Famili Selatan tanpa izin legal dan tanpa persetujuan warga.

Hearing yang dipimpin Ketua Komisi A, Yona Bagus Widyatmoko, menghadirkan berbagai pihak. Hadir dalam forum itu perwakilan warga RT01–03 RW11, pengembang PT SAS, manajemen Graha Famili, Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPRKPP), bagian hukum Pemkot, serta jajaran kecamatan dan kelurahan setempat.

Ketua RW 11 Graha Family, Hadi Wibisono, menyebut keresahan warga berawal sejak Juli 2023 saat banner pembangunan Café NOOK terpasang di kawasan fasum. Menurutnya, warga sama sekali tidak pernah dilibatkan.

“Warga hanya meminta kepastian hukum dan dilibatkan penuh. Aturan jelas menyebutkan perubahan pemanfaatan lahan harus mendapat persetujuan dua pertiga pemilik lahan. Faktanya, proses itu tidak pernah ada,” tegas Hadi.

Dia menambahkan, berbagai upaya mediasi sejak 2023 kerap gagal karena pengembang jarang hadir. Bahkan, DPRKPP telah menegaskan lahan tersebut berstatus fasum tanpa perizinan lengkap.

“Pada Oktober 2023 kami sudah menghadap langsung Pak Wali Kota Eri Cahyadi. Beliau meminta kami bikin surat resmi, tapi sampai sekarang proyek tetap jalan,” ungkapnya.

Kekecewaan warga memuncak pada Agustus 2025 ketika diagendakan sosialisasi dengan Wakil Wali Kota Armuji. “Pak Wawali meminta sosialisasi terbuka, tapi undangan hanya untuk RT dan RW. Padahal dampaknya dirasakan seluruh warga,” ujar Hadi.

Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, menegaskan hearing ini digelar untuk menjawab keresahan publik. Dia mengungkap indikasi kuat adanya pelanggaran aturan oleh PT SAS.

“Pembangunan fisik sudah dimulai Juni 2023, sementara izin baru diajukan September 2023. Disposisi atau izin baru keluar Desember 2024. Artinya, PT SAS sudah lebih dari setahun membangun tanpa legalitas lengkap,” jelas Yona.

Komisi A juga menyebut pasal 15 ayat 4 Perwali 52/2017 tentang kewajiban persetujuan dua pertiga pemilik sah lahan untuk re-planning. “Di sinilah indikasi pelanggaran. Proses persetujuan tidak jelas, sementara bangunan sudah berdiri,” imbuh politisi Gerindra yang akrab disapa Cak Yebe ini.

Di sisi lain, General Manager PT SAS, Veronica, berusaha menepis tudingan. Dia mengklaim perusahaannya selalu mengikuti arahan pemerintah. “Kami akan mengikuti apa pun hasil rapat hari ini. Jika diminta berhenti, kami berhenti. Jika ada tukar guling fasum, lahan kompensasi sudah kami siapkan,” ujarnya.

Namun, pernyataannya tidak menepis fakta bahwa pembangunan lebih dulu berjalan sebelum izin lengkap. Bahkan, Veronica membantah adanya layout lapangan tennis pada fasum yang dijanjikan pengembang.

“Layout yang kami miliki tidak pernah menjanjikan lapangan tenis. Itu hanya miskomunikasi,” tegas dia.

Kabid Perizinan DPRKPP, Oliver Reinhart, membenarkan bahwa izin proyek Café NOOK baru diproses sejak akhir 2023. “IMB baru keluar sekitar Mei 2025. Prosesnya panjang dan kini masih dalam evaluasi lanjutan, bahkan kami minta masukan kejaksaan terkait aspek hukum,” jelasnya.

Komisi A akhirnya merekomendasikan pembangunan Café NOOK dihentikan sementara selama 7 hari kerja ke depan. Selama masa jeda itu, DPRKPP, bagian hukum, camat, lurah, RT, RW, serta perwakilan warga wajib duduk bersama dengan PT SAS untuk mencari solusi.

Hearing yang berlangsung lebih dari tiga jam itu memang belum menghasilkan keputusan final. Namun, DPRD memastikan akan memanggil kembali seluruh pihak dalam sepekan ke depan.

Bagi warga, fakta yang terungkap semakin jelas, PT SAS telah salah langkah dengan membangun di atas fasum tanpa legalitas yang sah, tanpa restu warga, dan tanpa transparansi penuh.

“Kami tidak menolak investasi, tapi semua harus taat aturan. Kalau fasum bisa seenaknya dipakai, maka hak warga Surabaya bisa tergerus,” pungkas Hadi Wibisono.[asg/ted]