Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) menyampaikan bahwa pihaknya menyambut baik keputusan Pemerintah memberlakukan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen hanya untuk barang mewah.
Hal ini mengingat situasi ekonomi dan daya beli masyarakat yang masih lemah pada 2024 lalu.
“Kita menghargai Pemerintah yang akhirnya mau mendengarkan masukan dari semua pihak sehingga PPN 12 persen ini hanya ke barang mewah, walaupun idealnya tidak ada kenaikan PPN 12 persen sama sekali,” ujar Sekretaris Jenderal HIPPINDO, Haryanto Pratantara kepada Liputan6.com di Jakarta, dikutip Jumat (3/1/2025).
“Mengingat situasi ekonomi dan daya beli masyarakat yang cukup sulit di 2024 dan masih akan berlangsung di 2025,” lanjut dia.
Pengusaha mall dan peritel pun lega dengan kenaikan PPN 12 persen tidak menimbulkan dampak pada barang-barang yang dijual di mall pada umumnya, karena tidak memasuki kategori barang mewah.
Namun Haryanto mengingatkan, pengusaha mall dan peritel masih menghadapi hambatan dari menurunnya daya beli masyarakat di kelas menengah.
“Hanya tantangan kita bersama saat ini adalah bagaimana meningkatkan daya beli masyarakat yang menurun, bahkan level di kelas menengah,” bebernya.
“Juga bagaimana meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk mau belanja lagi setelah sebelumnya sempat ramai mengenai kenaikan PPN 12 persen ini, sehingga menurunkan minat masyarakat untuk belanja,” tambahnya.
Ekspektasi Inflasi Jadi Tantangan Baru buat Pemerintah
Kenaikan tarif PPN yang hanya dibebankan pada barang dan jasa mewah diperkirakan tidak akan mengganggu perekonomian secara keseluruhan.
Namun, Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda, menyoroti ada faktor lain yang perlu diperhatikan, yakni inflasi yang timbul akibat ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan tarif PPN, atau yang dikenal dengan istilah expected inflation.
“Namun demikian, sudah ada inflasi yang disebabkan ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan tarif PPN atau disebut expected inflation,” kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Jumat (3/1/2025).
Menurut Huda, fenomena inflasi ini sudah mulai terasa di lapangan, di mana sejumlah barang kebutuhan sehari-hari mengalami kenaikan harga. Kenaikan ini tidak sepenuhnya disebabkan oleh perubahan langsung dalam tarif PPN, melainkan lebih kepada persepsi dan antisipasi penjual yang mencoba mengakomodasi potensi perubahan tarif tersebut.
Ketidakpastian mengenai penerapan kenaikan tarif PPN oleh pemerintah turut memicu kekhawatiran ini, menciptakan tekanan pada harga barang.
“Terdapat kenaikan di beberapa barang kebutuhan sehari-hari yang diakibatkan ekspektasi penjual terhadap kenaikan tarif PPN. Tentu fenomena ini ditimbulkan akibat ketidakpastian dari pemerintah soal penerapan kenaikan tarif PPN,” ujarnya.
Di sisi lain, Huda memperkirakan dampak inflasi akibat ekspektasi tersebut akan lebih terasa dalam beberapa bulan pertama di tahun 2025, khususnya dalam konsumsi masyarakat.
“Maka, memang bakal ada gangguan terhadap konsumsi masyarakat di dua-tiga bulan awal 2025,” ujarnya.
Pasalnya, adanya ketidakpastian mengenai waktu dan rincian penerapan kenaikan tarif PPN dapat menyebabkan gangguan dalam pola konsumsi, terutama pada barang-barang yang rentan terhadap perubahan harga.
Meskipun demikian, Huda menekankan kenaikan PPN ini tidak akan berpengaruh signifikan pada perekonomian secara umum jika diterapkan dengan tepat dan terencana. Dengan kata lain, kebijakan ini masih bisa dikelola dengan baik oleh pemerintah asalkan informasi yang jelas dan konsisten diberikan kepada masyarakat dan pelaku pasar.