Jakarta –
Peringatan: Artikel ini memuat konten yang mungkin membuat Anda merasa tidak nyaman.
Di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di Gaza, para dokter dan perawat kehabisan bahan untuk mengafani korban meninggal dunia yang terus bertambah.
Jenazah-jenazah tersebut ditumpuk di halaman luar rumah sakit. Para kerabat yang ditinggalkan mendaraskan doa dan tak jarang pula yang ambruk ke lantai sambil meratap dalam kesedihan.
Di dalam rumah sakit, para dokter berjuang untuk merawat korban luka dan menyelamatkan mereka yang terluka parah di tengah menipisnya persediaan obat-obatan dan perbekalan.
Seorang wartawan BBC Arabic menyaksikan betapa rumah sakit penuh dengan jenazah dan para dokter tergopoh-gopoh menyelesaikan tindakan untuk satu pasien kemudian berpindah ke pasien berikutnya.
Beberapa tayangan video dan foto keadaan rumah sakit pada Minggu (22/10) terlalu mengerikan untuk ditampilkan. Anak-anak – termasuk setidaknya dua bayi – termasuk di antara korban meninggal dunia.
Para pejabat dari Kementerian Kesehatan yang dikendalikan Hamas mengatakan lebih dari 100 orang tewas ketika Israel melancarkan serangan udara pada Minggu (22/10).
Militer Israel sengaja menargetkan area dekat rumah sakit
Secara terpisah, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, mengatakan aksi militer di Gaza “mungkin memakan waktu satu, dua atau tiga bulan, tetapi pada akhirnya tidak akan ada lagi Hamas”.
Gallant berbicara setelah pengarahan operasional di Pusat Komando dan Kontrol Operasi Angkatan Udara Israel.
“Dalam aspek operasional manuver, pada akhirnya, tidak ada yang bisa menghentikan IDF (Pasukan Pertahanan Israel)”, katanya.
“Ini harus menjadi operasi manuver terakhir kami di Gaza, dengan alasan sederhana bahwa setelah itu tidak akan ada lagi Hamas.”
Gallant mengatakan operasi darat yang ditunggu-tunggu, “akan segera dilakukan”.
Akan tetapi, seberapa cepat operasi tersebut masih belum jelas.
‘Rumah sakit kehabisan kain kafan’
Pada Minggu (22/10) pagi, sejumlah kendaraan terlihat membawa orang-orang yang terluka ke rumah sakit.
“Kami sudah berada di sini sejak fajar menyingsing dan jenazah telah memenuhi halaman rumah sakit. Tempat pendingin di kamar jenazah sudah penuh dengan mayat, begitu pula dengan di dalam gedung rumah sakit dan di luar gedung,” kata seorang staf.
“Kami kehabisan kain kafan untuk mengafani jenazah karena jumlahnya sangat banyak. Semua jenazah tiba dalam keadaan tidak utuh. Kami tidak dapat mengidentifikasi mereka karena jenazah telah hancur.”
Dia menggambarkan situasi ini sebagai sesuatu yang “tak tertahankan”, dan menambahkan: “Walau kami telah banyak menyaksikan segala rupa, ini adalah pemandangan yang belum pernah kami lihat.”
“Cepat, cepat!” seru pria ini agar korban yang berada di dalam mobilnya segera dirawat di rumah sakit. (BBC)
Pemandangan serupa terjadi di berbagai rumah sakit di seluruh Gaza pada pekan ketiga perang Israel-Hamas.
Di Rumah Sakit al-Quds di wilayah Tel al-Hawa, Kota Gaza, bom menghantam gedung-gedung di dekat rumah sakit ketika tim yang terdiri dari 23 dokter dan perawat menangani lebih dari 500 orang, menurut seorang dokter di rumah sakit melalui pesan suara ke BBC.
Pasien dan warga sipil yang berlindung di rumah sakit hidup dalam “keadaan teror”, kata dokter tersebut, yang tidak ingin disebutkan namanya demi keselamatannya.
Di tengah situasi yang digambarkannya sebagai “bencana besar”, para dokter harus memutuskan siapa yang harus ditangani terlebih dahulu. Sisanya bergabung dalam antrean.
“Banyak korban luka telah menunggu beberapa hari untuk dioperasi,” kata dokter.
Baca juga:
Pesan suara sang dokter disampaikan oleh dokter dan aktivis Norwegia, Mads Gilbert, dari tim darurat Komite Bantuan Norwegia.
Menurut dokter tersebut, staf medis telah berkurang karena beberapa orang tewas terbunuh dan yang lain tidak dapat mencapai lokasi. Staf yang tersisa sekarang berbagi gedung dengan 1.200 pengungsi yang berlindung di sana.
“Ada 120 orang terluka dengan berbagai macam luka di sini, 10 pasien di ICU menggunakan ventilator, dan kami memiliki sekitar 400 pasien kronis,” kata dokter tersebut.
“Ada sekitar 1.200 warga yang mengungsi di sini – tidak mudah untuk memindahkan orang dalam jumlah besar sehingga kami memutuskan untuk tidak mengungsi.”
BBC
Militer Israel kembali memperingatkan kepada semua orang di Jalur Gaza utara untuk menuju ke bagian selatan Wadi Gaza, sebuah jalur lahan basah yang melintasi wilayah tersebut. Kota Gaza berada di sebelah utara Wadi Gaza, sedangkan Deir al-Balah di selatan.
Ratusan ribu orang telah mengungsi ke bagian selatan Gaza, namun ribuan lainnya masih bertahan di rumah mereka di Gaza utara.
Nyawa bayi terancam karena tiada pasokan BBM
Rumah sakit di seluruh Gaza sangat membutuhkan pasokan bantuan, bahkan setelah 20 truk bantuan pertama bisa masuk dari Mesir pada hari Sabtu.
Meskipun sejumlah makanan dan pasokan medis dibawa rombongan truk tersbeut, tidak ada bahan bakar yang masuk ke Gaza sejak konflik dimulai. Rumah sakit mengandalkan generator bertenaga diesel.
Pada Minggu (22/10), Unicef memperingatkan bahwa 120 bayi di inkubator – termasuk 70 bayi baru lahir prematur yang juga menggunakan ventilator – bergantung pada mesin yang terhubung dengan generator cadangan yang digunakan ketika pasokan listrik Gaza dari Israel dimatikan.
“Saat ini kami memiliki 120 bayi baru lahir yang berada di inkubator dan 70 di antaranya memiliki ventilasi mekanis. Tentu saja hal ini sangat kami khawatirkan,” kata juru bicara Unicef, Jonathan Crickx.
Baca juga:
Fikr Shalltoot, direktur lembaga amal Bantuan Medis untuk Palestina di Gaza, mengatakan beberapa bayi prematur telah lahir di tengah pertempuran terkini.
“Di bangsal itu ada seorang bayi berusia 32 minggu yang berhasil diselamatkan oleh dokter setelah ibunya terbunuh dalam serangan udara,” katanya kepada BBC. Ibu dan seluruh keluarganya meninggal, namun bayinya berhasil diselamatkan.
Dia mengatakan kematian pasti terjadi pada anak tersebut, dan orang lain di bangsal yang sama, jika generator berhenti bekerja.
Persediaan bahan bakar untuk menghidupkannya terbatas.
‘Bantuan yang datang hanya setetes air di lautan’
Kepala Kemanusiaan PBB, Martin Griffiths, mengatakan konvoi truk gelombang kedua telah membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Sebanyak 14 truk telah masuk, sehari setelah 20 truk gelombang pertama melintasi perbatasan Rafah antara Mesir dan Gaza.
Griffiths, yang menjabat wakil sekretaris jenderal PBB untuk urusan kemanusiaan, menyatakan bahwa gelombang bantuan itu merupakan “Secercah harapan kecil bagi jutaan orang yang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.”
Menyusul kabar bahwa gelombang bantuan kedua telah tiba di Gaza, Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan akan ada “aliran bantuan penting yang berkelanjutan” ke wilayah tersebut.
Akan tetapi, kepala kemanusiaan lembaga Oxfam, Magnus Corfixen, menegaskan bantuan yang dikirim ke Gaza tidak cukup.
“Oxfam tentu saja menyambut baik konvoi bantuan lain yang terdiri dari 14 truk dan 20 truk kemarin [Sabtu] yang telah masuk ke Gaza,” katanya, “tetapi kita juga harus mengatakan bahwa ini [bantuan yang datang] ibarat setetes air di lautan mengingat bantuan kemanusiaan berskala besar dibutuhkan saat ini di Gaza.”
Tanpa gencatan senjata, menurutnya, situasi tidak akan membaik dan bantuan berkelanjutan sulit mencapai warga sipil yang membutuhkan.
“Agar hal itu bisa terjadi, kita juga perlu segera melakukan gencatan senjata”.
(ita/ita)