Jakarta –
Nissan kini tengah menghadapi masa sulit yang mengancam kelangsungan bisnisnya. Berbagai tantangan, mulai dari persaingan dengan mobil listrik murah asal China hingga tekanan regulasi di pasar utama, membuat produsen otomotif asal Jepang ini berada dalam situasi keuangan yang genting.
Mengutip Dailymail, penjualan global Nissan menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Pada paruh pertama tahun fiskal 2024, penjualan turun 3,8 persen menjadi 1,59 juta unit. China sebagai salah satu pasar terbesar Nissan bahkan mengalami penurunan yang lebih tajam, yakni mencapai 14,3 persen. Kondisi ini semakin diperburuk oleh maraknya mobil listrik murah dari China yang menawarkan harga kompetitif dan berhasil merebut pangsa pasar global. Jika kondisi ini terus berlanjut, Nissan diperkirakan akan menghadapi utang terbesar dalam sejarahnya pada 2026, yang bisa mencapai $5,6 miliar atau setara Rp 85 triliun.
Langkah Pemangkasan untuk Bertahan
Untuk menghadapi tekanan ini, Nissan mengambil berbagai langkah efisiensi. Perusahaan mengumumkan rencana pemangkasan 9.000 pekerja dan pengurangan kapasitas produksi hingga 20 persen di 25 jalur produksinya. Upaya ini bertujuan untuk menghemat biaya operasional sebesar $2,6 miliar atau setara Rp 40 triliun pada tahun ini.
Selain itu, Nissan menunda peluncuran sejumlah model baru dan menjual sebagian besar sahamnya di Mitsubishi Motors. CEO Nissan, Makoto Uchida, secara simbolis memotong gajinya hingga 50 persen untuk menunjukkan komitmen perusahaan dalam menghadapi krisis ini.
Persaingan Ketat di Sektor Elektrifikasi
Menurut laporan Forbes, tertinggal dalam pengembangan kendaraan listrik menjadi tantangan utama bagi Nissan. Hingga saat ini, perusahaan hanya memiliki dua model kendaraan listrik yang dijual secara global. Sementara itu, teknologi hybrid e-Power yang sukses di pasar domestik Jepang, belum diperkenalkan di Amerika Serikat, salah satu pasar otomotif terbesar dunia.
Sebagai langkah untuk tetap bersaing, Nissan berkomitmen memangkas biaya produksi kendaraan listriknya hingga 30 persen. Namun, para analis menilai upaya ini belum cukup untuk melawan dominasi produsen mobil listrik asal China dan mobil hybrid dari pesaing seperti Toyota.
Tekanan Regulasi di Inggris
Di Inggris, Nissan juga menghadapi tekanan dari kebijakan Zero Emissions Vehicles Mandate (ZEV) yang mewajibkan produsen meningkatkan penjualan kendaraan listrik secara bertahap hingga larangan total kendaraan berbahan bakar bensin dan diesel pada 2030. Kebijakan ini dinilai memberatkan, terutama bagi produsen yang belum memiliki portofolio kendaraan listrik murni dalam jumlah besar.
Meski tengah menghadapi berbagai tantangan, Nissan masih memiliki beberapa produk unggulan yang diminati pasar. Model Rogue misalnya, tetap menjadi salah satu kendaraan terlaris di Amerika Serikat, sementara Qashqai dan Juke berhasil mempertahankan popularitasnya di Eropa.
Namun, waktu terus berjalan bagi Nissan. Jika langkah strategis tidak segera diambil, perusahaan ini diperkirakan hanya memiliki waktu 12 hingga 14 bulan untuk bertahan. Selain mempertimbangkan penguatan kerja sama dengan produsen lain seperti Honda, Nissan juga harus mempercepat pengembangan teknologi kendaraan listrik dan meningkatkan efisiensi operasional untuk tetap kompetitif di pasar global.
(rgr/dry)