JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut dugaan korupsi kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024 tak menyasar institusi maupun organisasi masyarakat (ormas) keagamaan tertentu.
Pernyataan disampaikan Juru Bicara KPK Budi Prasetyo meluruskan pemberitaan yang menyebut lembaganya seolah menarget institusi atau ormas keagamaan dalam kasus korupsi kuota haji.
“Dalam penyidikan perkara ini, KPK fokus mendalami peran-peran individu yang diduga terlibat terkait pembagian kuota haji tambahan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023-2024,” kata Budi kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 20 September.
Budi memastikan penyidik fokus mencari individu yang harus bertanggung jawab secara hukum. “Sepanjang penyidikan sampai hari ini, tidak ada mengarah kepada institusi ataupun organisasi masyarakat tertentu,” tegasnya.
Adapun dalam kasus ini, KPK sudah memintai keterangan Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Syarif Hamzah Asyathry. Ia diduga mengetahui aliran duit terkait kasus yang sedang ditangani ini.
Penyidik juga mencecar Syarif perihal barang bukti yang diamankan dari rumah mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yakni dokumen dan barang bukti elektronik (BBE).
Diberitakan sebelumnya, KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum dugaan korupsi penambahan kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024. Lembaga ini beralasan penerbitan itu dilakukan supaya mereka bisa melakukan upaya paksa seperti penggeledahan, penyitaan hingga pemeriksaan saksi.
Sprindik umum tersebut menggunakan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Artinya, ada kerugian negara yang terjadi akibat praktik korupsi ini.
Kerugian negara dalam kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji periode 2023-2024 ini disebut mencapai Rp1 triliun lebih. Jumlah ini tapi masih bertambah karena baru hitungan awal KPK yang terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kasus ini berawal dari pemberian 20.000 kuota haji tambahan dari pemerintah Arab Saudi bagi Indonesia untuk mengurangi antrean jemaah. Hanya saja, pembagiannya ternyata bermasalah karena dibagi sama rata, yakni 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus.
Padahal, berdasarkan perundangan, pembagian seharusnya 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
Belakangan, pembagian bermasalah itu disinyalir karena adanya uang dari pihak travel haji dan umrah maupun asosiasi yang menaungi ke Kementerian Agama. Setelah dapat jatah, mereka menjual kuota tambahan tersebut kepada calon jemaah haji.
