Pendanaan Sinergi Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia Perlu Perhatian Lebih Besar

26 October 2022, 7:04

  PRFMNEWS – Upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia dinilai masih belum cukup untuk mengendalikan keadaan dan dampak yang diakibatkan. Padahal perubahan iklim jelas memengaruhi sektor energi di Indonesia. Maka dari itu, diperlukan upaya adaptasi untuk mengoptimalkannya. Kepala Climate Change Center Institut Teknologi Bandung (ITB) Djoko Santoso menuturkan, kebutuhan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia belum seimbang dengan alokasi pendanaan yang ada. Baca Juga: Ada Potensi Krisis Ekonomi, Energi, Pangan pada 2023, Ridwan Kamil: Jangan Tunggu Kejadian Baru Panik “Pendanaan dalam isu ini di Indonesia masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan tingkat global,” kata Djoko dalam diskusi “The Synergy of Climate Change Adaptation-Mitigation in Indonesia to Leverage Sustainable Climate Finance” di Gedung CRCS ITB, Jalan Ganesha, Bandung, Jumat 21 Oktober 2022. Di sisi lain, SNAPFI Team Climate Change Center ITB Dadang Hilman melihat, sebenarnya Indonesia punya potensi sinergi mitigasi adaptasi untuk membuka peluang terhadap pendanaan internasional. Sebuah sinergi akan berdampak positif apabila saling menguatkan misalnya melalui pembangkit listrik tenaga angin dan reforestasi. Sebaliknya aksi yang saling melemahkan akan membuat sinergi negatif seperti overgrazing, deforestasi, dan kemacetan lalu lintas. Sinergi akan meminimalisasi peluang konflik dan justru memberikan interaksi timbal balik secara ekologis. Baca Juga: Jawa Tengah Jadi Percontohan Pengembangan Energi Baru Terbarukan Nasional “Secara umum di Indonesia, sinergi belum secara eksplisit dinyatakan dalam instrumen regulasi, namun dalam praktiknya sudah ada namun hanya dapat dipahami sebagai peluang adaptasi dalam proyek mitigasi dan berlaku sebaliknya. Isu sinergi dalam perubahan iklim ini sudah ada sejak lama, namun belum mendapatkan perhatian memadai dan semoga akan menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan,” kata Dadang. Dadang memberikan rekomendasi agar ada kebijakan eksplisit yang medorong semua komponen menjadi prospektif serta mendorong aktor lain untuk mengaplikasikan sinergi mitigasi adaptasi dalam proposal. Ia pun meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyediakan insentif dalam bentuk kajian mengenai aktivitas yang menjalankan pelaksanaan sinergi untuk memberikan peluang lebih besar. Baca Juga: Negara G7 Setuju untuk Mempelajari Batas Harga Energi Rusia dan Mengatasi Krisis Pangan Menanggapinya, Analis Kebijakan Direkrotat Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Arif Wibowo menyebut, sinergi mitigasi adaptasi secara praktik sudah dilakukan di level komunitas dan masyarakat. “Ada potensi dari kebijakan tentang bagaimana menyepakati lingkup dari sisi sektor lain untuk menjadi peluang bagi Indonesia untuk membangun upaya joint mitigation adaptation, misalnya dari sektor kesehatan dimana Kementerian Kesehatan saat ini sudah mengikuti pola yang ada,” tutur Arif. Arif mengungkapkan, dari sisi modalitas, secara detail target sudah tertuang dalam roadmap NDC dengan gambaran visi 2050. Sementara dari sisi regulasi sudah punya mandat melalui RPPLH. Mitigasi dalam KLHK tidak secara eksplisit dalam lingkungan, namun indikator kerentanan termasuk ke dalam kebijakan KLHK. Baca Juga: Kepada Dewan Energi Nasional, Wagub Uu Ruzhanul Ulum Paparkan Kondisi Terkini Energi di Jabar “Tantangannya ada pada masalah ownership dan komitmen yang tidak akan berjalan tanpa leadership. Literasi juga penting bagi pengambil keputusan. Apalagi saat ini jumlah pakar sudah banyak sekali, sehingga perlu dukungan dari level tertinggi mengenai operasionalnya tentang bagaimana integrasi antara kebijakan dengan program. Tantangan di konteks mainstream adalah memperkuat perencanaan keuangan,” kata Arif. Dalam diskusi tersebut, Vice President for Climate Change and Safeguard PT PLN Kamia Handayani melihat saat ini sudah banyak perhatian ke mitigasi, padahal faktor risiko fisik dari perubahan iklim adalah salah satu yang juga harus jadi perhatian, seperti pemodelan sistem ketenagalistrikan yang mempertimbangan aspek tahan atas dampak perubahan iklim. “Harus ada perhatian yang seimbang karena perubahan iklim tidak hanya mitigasi, tetapi juga adaptasi. Dalam konteks sektor energi, sektor listrik rentan terhadap perubahan iklim. Di Amerika Serikat, cuaca ekstrem memegang peranan sebesar 44 persen terhadap blackout, sedangkan di Eropa 37 persen. Dampak perubahan iklim ke pasokan listrik cukup besar. Indonesia juga sangat rentan karena beberapa hal seperti kapasitas, kemampuan adaptasi, dan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim,” paparnya. Kamia menambahkan, dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap supply chain. Seperti hujan deras, angin kencang, ombak laut itnggi, gelombang panas, kekeringan, kilat dan petir, udara hangat, air yang menghangat, dan tinggi muka air laut. “Salah satunya menyebabkan proses pengantaran batubara ke pembangkit menjadi terkendala. Selain itu, kapasistas pembangkit diturunkan karena terhalang hujan. Saat banjir pun otomatis akan dimatikan listriknya. Perlu kuantifikasi mengenai apa saja dampaknya. Misalnya peningkatan temperatur air laut karena akan membutuhkan cooling water di PLTU. Semakin tinggi temperatrur, semakin rendah efisensi,” ujar KamiaIa mengungkapkan, Indonesia adalah negara yang pertumbuhan penggunaan listriknya di level 1,3 MW/jam/kapita/tahun karena masih ada daerah yang belum kena listrik. Masih jauh dari negara maju yang sebesar 3 MW/jam/kapita/tahun. Di sisi lain, Indonesia juga ingin melakukan mitigasi. “Untuk itu kami menawarkan tiga skenario yang bisa dilakukan, yakni tidak ada upaya apapun, melakukan mitigasi saja dengan membuat sisem kelistrikan ke depan yang dapat memenuhi target Penjanjian Paris, atau melakukan mitigasi dan adaptasi dengan sub skenario RCP 4,5 dan RCP 8,5,” saran Kamia. Berdasarkan hasil kajiannya bersama tim di Universiteit Twente Belanda, tiga skenario tersebut memiliki masing-masing dampak tersendiri. Misalnya jika tidak ada upaya apapun, sumber pasokan bahan baku listrik pada tahun 2050 akan mirip kondisi sebelumnya, yakni sekitar 60-70 persen dari batubara, gas sekitar s 20 persen, sisanya energi terbarukan. Sementara jika memilih mitigasi saja maka sumber pasokan pada tahun 2050 batu bara tinggal 47 persen, gas 20 persen, sisanya energi terbarukan. Apabila memilih mitigasi dan adaptasi akan lebih banyak permintaan yang perlu dipasok, sehingga kadar emisi akan menjadi lebih naik.Kamia menambahkan, naiknya temperatur di Indonesia berkorelasi dengan permintaan listrik, misalnya untuk pendingin udara (AC) atau kipas angin. Secara pembiayaan total, skenario tanpa mitigasi akan lebih murah, sedangkan dengan adaptasi lebih mahal karena ada ekstra kapasitas untuk kompensasi gas yang tetiba hilang. “PLN mengikuti arahan prioritas dari Kementerian LHK. Saat ini prioritas Indonesia adalah mitigasi dan adaptasi. Di PLN sendiri sudah ada regulasi internal dari direktur utama yang mencakup tentang bagaimana PLN melakukan kajian kerentanan dan memasukkan aspek perubahan iklim ke perencanaan kerja perusahaan. Apalagi sudah ada hitungan dampak energi yang tidak bisa disalurkan karena kerusakan infrastruktur, misalnya seperti saat badai Seroja,” tukasnya. Potensi Pendanaan Associate Policy Analiyst Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto mengatakan proporsi dominasi isu mitigasi dalam target komitmen nasional untuk pengurangan emisi dan perubahan iklim masih kental jika dibandingkan isu adaptasi. Menurutnya, dari konteks kondisi dan situasi di Indonesia, isu adaptasi dipandang lebih sesuai dibandingkan mitigasi yang cangkupannya lebih global. “Perspektif mengenai adaptasi di Indonesia memerlukan dorongan dan sosialisasi mendalam khususnya ke lembaga-lembaga pendanaan yang hingga saat ini masih terdominasi oleh isu mitigasi. Indikator isu mitigasi yang jelas dan telah terstandarisasi secara global membuat lahan komersialiasi menjadi lebih terbuka dibanding isu adaptasi yang berkonteks lokal dan berskala kecil sehingga isu mitigasi agak kurang diprioritaskan” papar Joko. Ia menambahkan, Green Climate Fund (GCF) sebagai salah satu institusi pendanaan internasional terbesar di dunia juga masih dikuasai oleh isu-isu mitigasi. Ketimpangan antara mitigasi dan adaptasi ini tersebut disebabkan belum familiarnya GCF sebagai lembaga pendanaan, tentang isu adaptasi. Rendahnya pemahaman ini dapat menjadi beban sekaligus peluang. “Akan ada peluang terutama pada slot isu adaptasi yang masih banyak yang artinya proposal adaptasi harusnya lebih mudah diterima oleh GCF dibandingkan proposal mitigasi yang mungkin sudah penuh,” jelasnya. Joko berpndapat, solusi mengatasi ketimpangan ini adalah dengan memperbanyak isu cross-cutting yang merupakan hasil penggabungan antara isu mitigasi dan adaptasi. Menurutnya, Kementerian Keuangan juga terus mendorong pengawinan dua isu ini demi mengurangi ambuguitas dan meningkatkan efektivitas program. “Namun jika dilihat di lapangan, Indonesia dinilai belum dapat memaksimalkan penyerapan dana untuk perubahan iklim, baik mitigasi maupun adaptasi, terlebih cross-cutting. Ini karena sebenarnya GCF ini sangat fleksibel pembiayaannya dan bisa dipakai untuk kepentingan apapun, selain karena GCF itu sangat suka pada proposal yang bisa memunculkan potensi bisnis berkenjutan dan promote country ownership,” ungkap Joko. Director of Fund Collection and Development Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Endah Tri Kurniawati berpendapat jika merujuk pada porsi pendanaan untuk ranah perubahan iklim yang tidak lebih dari 21,3 persen dari APBN, terdapat celah besar dalam pendanaan. Selama ini, ujar Endah, strategi yang dilakukan BPDLH adalah melibatkan dana dari perusahaan swasta untuk menutupi kekurangan pendanaan dari APBN yang terbatas. “BPDLH juga tengah mendorong pembingkaian cangkupan dan batasan pendanaan melalui dukungan pencapaian hasil dari peningkatan ketahanan iklim. Ini diwujudkan dalam bentuk program cross-cutting yang mencangkup isu adaptasi dan mitigasi, baik yang berkaitan dengan manajemen ekosistem, energi terbarukan maupun adaptasi perubahan iklim,” jelas Endah. Sementara itu terkait hal pendanaan dalam sinergi di ranah global, peneliti dari Universitas Cape Town Samantha Keen pun mengaku cukup kesulitan mendapatkan bantuan pembiayaan untuk penelitiannya. Menurutnya, isu adaptasi yang diusulkan tidak mendapatkan banyak perhatian karena skala penelitian yang lebih kecil dibandingkan isu mitigasi. “Rendahnya peluang pendanaan karena penyedia dana kurang mempromosikan program mereka. Isu adaptasi berbasis lokal juga membuat banyak penyedia dana, termasuk GCF, enggan untuk menginvestasikan dana mereka. Saya fokus meneliti pemanfaatan biogas untuk penyediaan listrik dan pengembangan sekolah dan ini cukup meragukan bagi GCF karena mereka cenderung menginginkan proyek yang memiliki skala luas sehingga promosi yang mereka lakukan dapat lebih masif,” kata Samantha Peneliti yang sedang menjalankan penelitian di Afrika Selatan tersebut berharap akan lebih banyak perubahan dalam pendanaan, sehingga bisa mencangkup lebih banyak proyek.***