Yogyakarta (beritajatim.com)- Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk memangkas anggaran perjalanan dinas luar negeri pejabat hingga 50 persen.
Langkah ini dimaksudkan untuk mengalihkan dana tersebut ke pembangunan infrastruktur yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun, kebijakan ini memicu beragam tanggapan dari pakar kebijakan publik.
Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik UGM, menilai bahwa penerapan kebijakan ini tidaklah mudah.
Dengan Kabinet Merah Putih 2024—2029 yang terdiri dari 48 kementerian dan lima badan, jumlah tersebut lebih gemuk dibandingkan Kabinet Indonesia Maju 2019—2024 yang memiliki 34 kementerian.
“Dengan jumlah kementerian yang lebih besar, penghematan menjadi tantangan karena kebutuhan birokrasi yang meningkat,” jelas Wahyudi dalam siaran pers Kamis (9/1/2025).
Kebutuhan Anggaran yang Meningkat
Adanya 14 kementerian baru membuat kebutuhan anggaran meningkat. Wahyudi mencatat, beberapa kementerian mengajukan penambahan dana yang signifikan. Contohnya, Menteri HAM Natalius Pigai mengajukan peningkatan anggaran dari Rp64 miliar menjadi Rp20 triliun, dan Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan meminta tambahan Rp505 miliar.
“Pemangkasan hingga 50 persen tampaknya sulit tercapai,” tambah Wahyudi.
Tinjau Ulang Pos Anggaran
Wahyudi menyarankan agar evaluasi dilakukan untuk memastikan pos anggaran yang tidak produktif dipangkas. Ia mencontohkan, anggaran Kementerian Lingkungan Hidup yang lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai ketimbang belanja modal.
“Anggaran harus lebih diarahkan untuk pengadaan yang mendukung konservasi lingkungan,” ujarnya.
Namun, Wahyudi memperingatkan agar pemangkasan tidak dilakukan pada kementerian yang membutuhkan perjalanan dinas untuk kinerjanya, seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Investasi.
“Mengurangi anggaran mereka dapat berdampak negatif pada diplomasi dan investasi Indonesia,” jelasnya.
Prioritas Sektor Vital
Wahyudi menekankan pentingnya mengalokasikan lebih banyak dana ke sektor kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial. Ia menyesalkan pengurangan anggaran untuk pendidikan yang berpotensi menghambat kemajuan Indonesia.
“Jika ingin menjadi negara maju, kita harus mendukung pendidikan, termasuk memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi,” tegasnya.
Reformasi Birokrasi untuk Efisiensi
Menurut Wahyudi, kebijakan pemangkasan ini harus disertai dengan reformasi birokrasi untuk memastikan efisiensi tanpa mengorbankan kinerja. Ia menyoroti perlunya penguatan indikator kinerja pegawai yang dihubungkan dengan tunjangan.
“Jika kinerja pegawai diukur secara objektif dan transparan, pengurangan anggaran tidak akan mengurangi kualitas layanan publik,” tuturnya.
Wahyudi menyarankan agar pemerintah memastikan perjalanan dinas benar-benar sesuai kebutuhan dan dievaluasi berdasarkan efektivitasnya.
“Kita perlu kebijakan yang berbasis data dan penilaian objektif untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi birokrasi,” pungkasnya. [aje]
