Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mewanti-wanti bahwa kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto bisa lebih buruk dari era dua presiden sebelumnya, apabila tidak mendorong perputaran uang lebih besar di sektor swasta (privat).
Purbaya menjelaskan, khususnya pada masa pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) mesin ekonomi pincang karena perekonomian lebih banyak dijalankan oleh pemerintah. Sementara itu, sektor swasta yang disebut berkontribusi hingga 90% berhenti atau diperlambat.
Dia menyebut perputaran uang harus didorong melalui kebijakan fiskal maupun moneter.
“Zaman Pak Prabowo juga bisa sama. Ini sekarang masih baru. Kalau pemerintahnya masih lambat belanjanya, dan mencekik perekonomian juga dari sisi lain dan moneternya juga sama, maka akan lebih buruk dibanding dua zaman sebelumnya. Dua mesin mati,” terangnya pada saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (10/9/2025).
Purbaya menceritakan bahwa pernah bekerja di bawah Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Pada era SBY, dia menyebut pertumbuhan ekonomi bisa mencapai rata-rata 6% sejalan dengan pertumbuhan peredaran uang tunai atau dikenal basis moneter.
Pertumbuhan basis moneter atau M0 pada zaman SBY, terang Purbaya, rata-rata tumbuh 17%. Hal itu mendorong likuiditas di perbankan cukup sehingga kredit juga melesat.
“Akibatnya, uang di sistem cukup, kredit tumbuh berapa? 22%. Jadi waktu zaman pak SBY, walaupun dia enggak bangun infrastruktur habis-habisan, private sector yang hidup yang menjalankan ekonomi,” tuturnya.
Sektor swasta yang hidup, jelasnya, turut berkontribusi terhadap rasio pajak. Hal itu karena kontribusi penerimaan pajak dari dunia usaha sehingga dia menyebut rasio pajak era SBY 0,5% lebih tinggi dari zaman Jokowi.
Berbeda dengan SBY, lanjut Purbaya, pertumbuhan M0 era Jokowi hanya 7%. Bahkan, pertumbuhannya pernah 0% pada saat dua tahun sebelum krisis pandemi Covid-19. Dia mengaku pernah menyampaikan bahwa mesin ekonomi saat itu pincang karena hanya pemerintah yang jalan, sedangkan swasta berhenti maupun melambat.
“Mesin ekonomi kita pincang. Hanya pemerintah yang jalan, sedangkan yang 90% berhenti, atau diperlambat,” ujarnya.
Untuk itu, dia mengatakan tugasnya sebagai Bendahara Negara yang baru adalah untuk menghidupkan mesin moneter dan fiskal. Salah satu yang sudah akan dilakukannya adalah untuk menyuntik sistem keuangan Tanah Air dengan dana pemerintah yang disimpan di Bank Indonesia (BI).
“Saya sudah lapor ke Presiden, ‘Pak saya akan taruh uang ke sistem perekonomian. Berapa? Saya sekarang punya Rp425 triliun di BI, cash besok saya taruh Rp200 triliun’,” ungkapnya.
Ke depan, uang yang disuntikkan ke perbankan itu diminta agar BI tidak menyerapnya lagi. Harapannya, kebijakan fiskal untuk menghidupkan sektor swasta itu bisa menghidupkan perekonomian lagi.
“Di government side, saya akan pastikan lagi belanja-belanja yang lambat berjalan dengan lebih baik lagi,” tutupnya.
