Masjid Wapauwe Maluku, Usia 6 Abad & Mitos Turun Sendiri dari Bukit

5 April 2024, 6:00

Ambon, CNN IndonesiaMasjid Wapauwe di Negeri (Desa) Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah tercatat sebagai masjid tertua yang masih berdiri di Provinsi Maluku saat ini.
Masjid ini berdiri kokoh walau usianya sudah melewati 6 abad atau beranjak 610 tahun pada 2024 ini.
Ada mitos di kalangan warga bahwa masjid ini konon turun sendiri dari bukit Tehala ke pesisir pantai yang menjadi lokasinya hingga saat ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam catatan sejarah, Masjid Wapauwe didirikan pada 1414 Masehi oleh seorang pendakwah Islam, Pernada Jamilu, keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Dia dikenal warga sekitar dengan gelar Tuni Ulama, karena yang bersangkutan tak sempat memberitahu nama aslinya hingga wafat.
Semula Masjid Wapauwe bernama Masjid Wawane, karena terletak di lereng gunung Wawane. Di sanalah perkampungan pertama penduduk Kaitetu.

Penjaga Masjid Wapauwe, Nus Iha, bercerita Tuni Ulama dalam perjalanannya itu menemukan permukiman penduduk yang menghuni pegunungan Wawane yang masih menganut agama Hindu. Penduduk itu tersebar di lima perkampungan kecil di kaki Gunung Wawane yakni Desa Wawane, Assen, Atetu, Tehala, dan Nukuhaly.
Berdakwahlah dia di sana, hingga kemudian mendirikan masjid Wawane.
“Alhamdulillah, semua terima oleh masyarakat, lalu dibuatlah masjid ini tahun 1414. Namanya di gunung Wawane, di gunung Wawane itu tempat bukit yang pertama yang masyarakat didirikan masjid ini, ada lima negeri terutama negeri Wawane, Negeri Essen, Negeri Tehala, Atetu, dan Nukuhaly,” ucap Nus Iha saat ditemui CNNIndonesia.com di kawasan Masjid Wapauwe, Rabu (13/3).

Ada sebuah mitos yang menjadi cerita turun temurun dari generasi ke generasi di Negeri Kaitetu, bahwa masjid Wapauwe itu turun sendiri dari lereng gunung ke pesisir pantai.
Raja Negeri Kaitetu, Muhammad Armin Lumaela menceritakan singkat soal mitos tersebut. Dia mengatakan Masjid Wapauwe yang semula di Gunung Wawane dipindahkan ke Bukit Tehala, lalu turun ke pesisir pantai sendiri. Itulah, kata dia, keunikan dari masjid tua tersebut.
“Uniknya, Masjid Wapauwe, awalnya tinggal di gunung dan turun sendiri dalam waktu semalam. Masjid ini diberi keberkahan oleh Allah SWT, dengan kelebihan-kelebihan yang dengan akal sehat terkadang tidak bisa terjadi, tapi memang terjadi. Inilah keunikan dari Masjid tertua, Masjid Wapauwe unik karena masih bertahan karena dilindungi oleh hukum adat,” kata Lumaela saat ditemui di Rumah Raja, Rabu.

Masjid Wapauwe di Negeri (Desa) Kaitetu, Kabupaten Maluku Tengah dibangun pada 1414 di daerah Wamane dan sempat dipindah-pindah karena invasi Belanda (VOC). Foto pada 2021 lalu. (ANTARA FOTO/FB Anggoro)

Semua gara-gara kedatangan VOC
Penjaga masjid, Nus Iha bercerita masjid itu berpindah-pindah tak lain karena kedatangan kompeni Belanda alias VOC yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di sana.
Abad ke-17, ketika kompeni Belanda di bawah bendera VOC datang pada 1614, demi keamanan maka penduduk kampung pindah ke lokasi baru yakni Bukit Tehala. Bukit kecil itu berjarak sekitar 6 kilometer arah Timur Gunung Wawane. Pindahnya pemukiman diiringi pula pemindahan masjid yang dipimpin Imam bernama Rijali.
Di lokasi baru  itu banyak pohon mangga hutan atau mangga berabu yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Akhirnya, masjid pun berganti nama menjadi Masjid Wapauwe artinya masjid yang didirikan di bawah (uwe) pohon mangga (wapa).
Pada 1646, VOC berhasil memenangkan perang dan menguasai Tanah Hitu.  Demi memenuhi kepentingan politik dagang mereka, Belanda lantas memerintahkan seluruh penduduk yang bermukim di pegunungan agar segera turun ke pesisir pantai. Tujuannya, agar mereka bisa terpantau sehingga tidak menimbulkan kekacaua
Masjid Wapauwe ikut pindah lokasi ke Kaitetu atau lokasi saat ini. Pemindahan masjid termasuk lima negeri yang terjadi pada tahun 1664 itu dikenal sebagai tahun berdirinya Negeri Kaitetu.
“Jadi kedatangan bangsa VOC-Belanda itu [membuat] masyarakat di Gunung Wawane tidak nyaman. Jadi kita punya salah satu imam namanya Rijali [menggagas] memindah masjid ini dari Wawane ke Bukit Tehala. Beliau sama masyarakat memindahkan, itu jaraknya 6 kilometer [dari tempat berdiri] di tahun 1414,” ujar Nus Iha.
” Lalu dibangun lagi di Bukit Tehala, lalu diberi nama Masjid Wapauwe. Jadi itu bahasa Kaitetu sini, Wapa itu Mangga, Uwe di bawah. Jadi masjid ini didirikan di sekitar ‘Bawah Pohon Mangga atau Mangga Berabu,” imbuhnya.

Jemaah mendengarkan penceramah di Masjid Wapauwe Negeri Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Rabu (13/3). (CNN Indonesia/Said)

Dibangun tanpa paku, hanya pasak-pasak kayu
Keunikan lain Masjid Wapauwe selama berabad-abad adalah tak ditemukan sebiji pun paku di sana, hanya pasak-pasak kayu saling terkait yang didapati di setiap sudut. Ini digunakan untuk menyambung sehingga setiap bagian-bagiannya dapat dibongkar pasang.
Jadi tak heran, jika masjid ini menjadi masjid unik sehingga memungkinkan masjid bisa berpindah-pindah.
Masjid Wapauwe memiliki ukuran luas 10×10 meter persegi dengan bentuk persegi. Pola bangunan masjid pun masih tradisional seperti dinding masjid berbahan gaba-gaba atau pelepah pohon sagu yang dikeringkan. Sementara setengah dinding-dinding masjid bahannya bercampuran kapur.
Mimbar masjid Wapauwe  berukuran 2×2 meter persegi, bentuknya seperti sebuah kursi yang berbahan kayu. Untuk menambah ketinggian mimbar, alasnya ditambah anak tangga sehingga meninggi. Sedangkan pada bagian atasnya mimbar terdapat ukiran bermotif floris.
Keunikan lainnya yang masih tersimpan di Masjid Wapauwe adalah lembaran-lembaran Al-Quran tulisan tangan dari abad ke-16. Mushaf Al-quran ini ditulis tangan oleh Imam Masjid Wapauwe, Muhammad Arikulapessy pada 1550 silam.
Tak hanya itu, Masjid Wapauwe juga tersimpan sebuah kitab Barzanji dan kertas naskah khutbah jumat sepanjang 3 meter yang ditulis tangan oleh cucu pertama Imam Masjid Wapauwe, Muhammad Arikulapessy yakni Nur Cahya pada 1590.

Sekumpulan naskah khotbah tersebut akan dibacakan setiap salat Jumat di awal Ramadan. Sementara kitab Barzanji dibaca selama bulan suci Ramadan di Masjid Wapauwe atau di rumah tua keturunan 14 Imam Masjid Wapauwe, Muhammad Arikulapessy.
Keunikan lain yang masih tersimpan, yakni timbangan Zakat Fitrah seberat 2,5 kilogram yang terbuat dari campuran pasir dan kapur hingga putih telur sebagai pelekat. Leluhur mereka menggunakan timbangan zakat kala setiap mengeluarkan zakat fitrah di bulan suci Ramadan.
Kala itu, zakat fitrah masih mengandalkan bahan makanan tradisional sagu dan singkong.
Masjid Wapauwe ini termasuk dalam cagar budaya yang dilindungi pemerintah.
Tulisan ini adalah rangkaian dari kisah masjid-masjid kuno di Indonesia yang diterbitkan CNNIndonesia.com pada Ramadan 1445 Hijriah
Baca halaman selanjutnya

Tokoh

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi