Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Legislator PKS Tolak Klaim Tanah Ahli Waris Warga Jerman Era Kolonial di Jember

Legislator PKS Tolak Klaim Tanah Ahli Waris Warga Jerman Era Kolonial di Jember

Jember (beritajatim.com) – Nurhasan, legislator Partai Keadilan Sejahtera di DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, menolak klaim ahli waris warga Jerman, Victor Clemens Boon, yang diwakili Perkumpulan Penggarap Tanah Telantar (P2T2) atas tanah seluas 2.100 hektare di Kabupaten Jember.

Ketua Pendiri P2T2 Iskandar Sitorus menyatakan, tanah yang terletak di Kecamatan Puger, Rambipuji, dan Silo itu dibeli Clemens Boon pada 1930, saat belum dihuni warga. Kendati membayar pajak hingga 1957, Clemens Boon akhirnya kehilangan hak atas tanah setelah Presiden Soekarno menasionalisasi seluruh aset yang dikuasai pihak asing. Clemens Boon bangkrut.

Saat ini, P2T2 tengah berusaha mendapatkan kembali hak atas tanah yang sekarang dikuasai perkebunan negara. Mereka berjanji hanya akan mencari lahan-lahan yang telantar atau tak terurus untuk dikuasai. Sementara lahan yang sudah dikuasai dan diduduki warga selama puluhan tahun akan dilepaskan dan disertifikasi untuk warga bersangkutan.

“Intinya P2T2 ingin mempertemukan pengelola lahan hari ini dengan ahli waris untuk mencari solusi jalan tengah. Sedangkan secara de facto tanah-tanah yang dikuasai masyarakat itu hari ini diklaim milik BUMN (Badan Usaha Milik Negara),” kata Nurhasan, ditulis Selasa (26/3/2024).

Nurhasan mengaku bingung dengan permintaan P2T2. “Selama ini kita tidak menyangka. Banyak persoalan yang masuk ke Komisi A soal permohonan masyarakat untuk menguasai tanah yang mereka garap kepada PT Perkebunan. Secara de jure mereka (perusahaan perkebunan negara) yang memiliki, tapi secara de facto dikuasai masyarakat tapi tak punya bukti apapun secara hukum,” katanya.

Nurhasan khawatir obyek tanah yang dimohonkan P2T2 sama dengan yang dipersoalkan warga. “Semoga saja beda obyek,” katanya.

Menurut Nurhasan, tanah peninggalan Belanda di Kecamatan Kencong dan Semboro sangat banyak. “Cuma tidak ada orang dari Belanda yang datang ke Indonesia untuk menuntut. Saya baru ngeh, orang yang dulu menjajah kita, menguasai tanah-tanah itu mungkin tidak dengan membeli tapi merampas, sekarang datang mau menguasai lagi,” katanya.

“Saya sebagai anggota DPRD Jember tidak rela, kalau ceritanya kayak begini. Saya tidak mendukung sama sekali, karena mereka pada 1930 masih menjajah bangsa ini. Mereka tidak akan membeli (tanah). Potong jari saya, kalau mereka membeli dari masyarakat pada waktu itu. Mereka bisanya hanya merampas hak milik masyarakat pribumi,” kata Nurhasan.

“Setelah kita merdeka, mereka minggat ke negara masing-masing. Tanah dikuasai pemerintah. Pemerintah tidak bisa menggarap dan digarap oleh masyarakat. Saya seratus persen tidak mendukung rencana P2T2. Biarkan saja tanah itu dikuasai masyarakat tetap atas nama PTP,” kata Nurhasan.

Nurhasan yakin tanah yang dikuasai Clemens Boon juga diakuisis dari masyarakat dengan memaksa. “Saya yakin itu. Jadi saya secara pribadi tidak mendukung gerakan penguasaan tanah-tanah itu oleh Wong Londo,” katanya.

Sitorus membantah anggapan Nurhasan. “Victor Clemens Boon bukan penjajah. Dia pengusaha. Pertama, dia warga negara Jerman, bukan warga negara Belanda. Lalu pada 1930, dia bayar pajak. Artinya orang yang patuh pada aturan,” katanya.

Menurut Sitorus, istri Clemens Boon adalah perempuan pribumi Jember dan dimakamkan di Kelurahan Mangli, Kecamatan Kaliwates. “Jadi perspektif penjajah itu jahat iya. Tapi bukan berarti semua orang yang datang ke Indonesia dulu itu orang jahat. “Coba di mana kah orang ini (Clemens Boon) disebut orang jahat? Dia bayar pajak,” katanya.

Pemerintah menasionalisasi tanah yang dikuasai warga asing untuk kemudian dikelola menjadi perusahaan perkebunan negara pada 1957. “Ciri-ciri tanah peninggalan Belanda yang kemudian menjadi tanah negara berstatus HGU (Hak Guna Usaha), HGB (Hak Guna Bangunan), atau hutan,” kata Sitorus.

Clemens Boon meninggal dunia pada 14 Agustus 1963. Istrinya, Kartini, meninggal tiga dasawarsa kemudian, yakni pada 16 November 1994. Ineke meninggal dunia pada 3 Agustus 2007 dan suaminya, Slamet, wafat pada 12 Desember 2013 meninggalkan dua orang anak, Winangku Prihatiningsih dan Bagus Ari Wibowo.

Sitorus mengatakan, penyelesaian masalah tanah ini bukan oleh P2T2, melainkan oleh pemerintah dan parlemen daerah melalui GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria). “Kami mendorong pemerintah agar Forkopimda dan bupati bisa tergerak menuntaskan hal-hal yang kami sajikan sesuai dokumen yang ada,” katanya. [wir]