KPU Diminta Tak Beropini soal Putusan Sidang MK Putusan Pilpres 2024

17 April 2024, 14:20

Sidang MK putusan Pilpres 2024, Rabu (17/4/2024)(MI/Susanto)

PAKAR hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak beropini mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pilpres 2024. Hal itu disampaikannya menanggapi pernyataan anggota KPU RI Idham Holik soal boleh tidaknya MK menangani pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Dalam praktiknya, Titi mengatakan MK tidak hanya berkutat pada angka dan hasil pemilu yang ditetapkan KPU. MK, sambungnya, juga menyelesaikan pelanggaran yang besifat TSM karena dinilai berdampak signifikan pada hasil pemilihan yang inkonstitusional.
“Penyebabnya adalah bisa karena pelanggaran atau kecurangan yang dilakukan perserta pemilu atau akibat penyelenggara pemilu yang tidak profesional dan berintergritas dalam menyelenggarakan pemilihan,” terang Titi kepada Media Indonesia, Rabu (17/4).
Baca juga : Pakar Hukum UGM: Putusan Capres-Cawapres di Luar Kebiasaan MK
Bahkan bila dipandang perlu, Titi mengatakan MK juga dapat memandang tidak bekerja secara efektifnya insitusi formal pengawasan dan penegakan hukum yang ada sesuai dengan tujuan keadilan pemilu. Oleh karena itu, ia meminta KPU untuk membuktikan diri apabila sudah bekerja dengan benar sesuai peraturan perundang-undangan.
“Tidak perlu menafsir atau beropini apakah MK boleh menangani pelanggaran TSM atau tidak. Faktanya, ada juga pekerjaan KPU yang dikoreksi MK ketika MK menyelesaikan perselisihan hasil pemilu ataupun pilkada,” kata Titi.
Bagi Titi, meski sudah ada skema penegakan hukum di luar perselisihan hasil pemilu, selalu ada kemungkinan bahwa skema tersebut tidak bekerja sesuai tugas dan fungsi. Dengan demikian, MK harus turun tangan ikut andil dalam mengoreksinya. Baca juga : KPU Siapkan Rencana Revisi Syarat Usia Capres Cawapres Sebelum Diputuskan MK
Kepada Media Indonesia, Idham mengatakan bahwa pihaknya yakin MK bakal merujuk UU Pemilu dalam memutus perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden-Wakil Presiden 2024 yang dimohonkan kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
Baginya, putusan MK itu akan merujuk pada Pasal 473 ayat (3) dan Pasal 475 ayat (1), (2), dan (3) UU Pemilu. Beleid yang disebutkannya menjelaskan bahwa perselisihan penetapan perolehan suara hasil pilpres dilakukan lewat MK.
“Karena dalam UU Pemilu, PHPU pilpres berkenanan perselisihan hasil pemilu yang memengaruhi keterpilihan peserta pemilu. Mengapa demikian? Karena sistem keadilan pemilu secara sistematis dan ekspilisit telah diatur dalam UU Pemilu,” aku Idham. Baca juga : Penyelesaian Sengketa Pilpres di MK Tetap 14 Hari Kalender
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pelanggaran administratif yang bersifat TSM merupakan bentuk pelanggaran yang penyelesaiannya dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) maupun Mahkamah Agung. Hal itu disandarkan pada Pasal 286 maupun 463 UU Pemilu.
Namun, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Sumatera Barat, Feri Amsari menegaskan bahwa MK berhak memutuskan kecurangan TSM terkait sengketa hasil pemilu. Putusan MK terkait PHPU Presiden-Wakil Presiden 2019 lalu yang pun menyatakan bahwa MK berwenang untuk memeriksa perkara TSM.
Selain itu, ia juga mengingatkan Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 yang dimohonkan calon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Timur periode 2008-2013 Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono melawan KPU Jawa Timur.
Dalam putusan tersebut, MK yang masih diketuai Mahfud menegaskan bahwa pelanggaran TSM terjadi di daerah pemilihan Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Pamekasan.
MK menilai pelanggaran tersebut bertentangan dengan konstitusi, khususnya pelaksanaan pilkada secara demokratis sehingga penetapan rekapitulasi suara Pilkada Jawa Timur putaran kedua waktu itu harus dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang mengenai hasil penghitungan suara di kabupaten yang terkena dampak pengaruh pelanggaran dimaksud. (Z-10)