Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold 20%. Keputusan itu membuka keran di tengah paceklik calon alternatif dan terbatasnya pilihan dalam setiap kontestasi pemimpin tingkat nasional atau pemilihan presiden (Pilpres).
Adapun amar putusan MK yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Suhartoyo, menyatakan bahwa norma Pasal 222 UU No. 7/2017 yang mengatur ambang batas presiden Inkonstitusional. “Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo.
Putusan MK menjadi kejutan pada awal tahun. Pasalnya, dengan dihapusnya ambang batas presiden, keran kompetisi politik dibuka lebar. Selain itu, putusan itu menjamin proses pencalonan presiden tidak melulu dimonopoli koalisi atau partai besar yang mencukupi threshold 20%. Semua partai politik bisa mengusung calon presidennya masing-masing.
Presidential threshold sejatinya telah ada sejak Pilpres secara langsung pertama kali diterapkan, yakni tahun 2004. Hanya saja, besarannya kerap berubah-udah. Pada Pilpres 2004 misalnya, Undang-undang No.23/2003 tetang Pemilihan Umum alias Pemilu mengatur secara eksplisit bahwa partai atau gabungan partai politik yang mengusung calon presiden dan wakil presiden harus merepresentasikan 15% kursi parlemen atau 20% suara sah nasional.
Besaran ambang batas presiden kemudian dinaikan pada tahun 2009. Saat itu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang didukung mayoritas kursi di parlemen, menaikan ambang batas pencalonan presiden menjadi 25% kursi di parlemen dan 20% suara sah pemilihan legislatif alias Pileg.
Pada Pemilu 2014 besaran presidential threshold tidak berubah. Namun pada Pemilu 2019 terjadi perubahan. Undang-undang No.7/2017, mengamanatkan tentang perubahan ambang batas yakni 20% kursi parlemen dan 25% suara sah nasional.
Pada Pemilu 2024 ketentuannya masih sama. Meski demikian, banyak pihak berupaya untuk menggugat penerapan aturan mengenai presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, mayoritas gugatan ditolak MK.
Dalam catatan Bisnis, pasal tentang Presidential Threshold yang tercantum dalam Undang-undang Pemilu adalah salah satu masalah yang sering digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pasal itu akhirnya dihapus pada Kamis (2/1/2025) kemarin setelah 36 kali gugatan ke MK.
Alasan Hakim MK
Ada sejumlah pertimbangan hakim konstitusi menghapus pasal mengenai presidential threshold. Pandangan mayoritas hakim konstitusi itu tercermin dalam pertimbangan mahkamah, kecuali satu hakim yang menyatakan disenting opinion atau berbeda pendapat yakni Anwar Usman.
Anwar Usman adalah adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga paman dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Anwar semula adalah Ketua Mahkamah Konstitusi. Namun jabatan itu dicopot setelah Mahkamah Kehormatan (MKMK) menyatakan Anwar melanggar etik pelanggaran etik saat memutus perkara No.90/PUU.XXI/2023.
Adapun mayoritas hakim berpandangan bahwa presidential threshold telah membatasi hak konstitusional pemilu karena calon hanya didominasi bahkan dimonopoli oleh partai-partai besar. Terbatasnya jumlah calon, yang dalam dua pilpres terakhir hanya 2, berpotensi memunculkan polarisasi di tengah masyarakat.
Selain itu, keberadaan threshold pencalonan presiden juga bisa memunculkan calon tunggal. Hal itu setidaknya tercermin dalam Pilkada 2024 yang baru saja selesai. Pada Pilkada 2024, besarnya threshold nyaris membuat kontestasi politik di sejumlah daerah menghadapkan calon dengan kotak kosong.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.”
Komentar Politisi
Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menghormati dan menghargai putusan MK yang menghapus persentase presidential threshold.
Menurutnya, pemerintah dan DPR akan menindaklanjutinya dalam pembentukan norma baru di UU terkait dengan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden (wapres).
“Saya kira ini babak baru bagi demokrasi konstitusional kita, di mana peluang mencalonkan presiden dan wapres bisa lebih terbuka diikuti oleh lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Said Abdullah. Said menyampaikan PDIP menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) minimal 20%.
Menurutnya, PDIP sebagai bagian dari partai politik sudah sepatutnya patuh pada putusan MK lantaran bersifat final dan mengikat. “Atas putusan ini, maka kami sebagai bagian dari partai politik sepenuhnya tunduk dan patuh, sebab putusan MK bersifat final dan mengikat,” ujarnya.
Sementara itu, Sekjen Partai Golkar Sarmuji mengaku dirinya terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi terhadap pasal 222 UU No.7/2017.Pasalnya, Sarmuji terkejut lantaran dia mengungkapkan bahwa sebelumnya MK selalu menolak dalam 27 kesempatan sebelumnya.
“Keputusan MK sangat mengejutkan mengingat putusan MK terhadap 27 gugatan [soal UU yang sama] sebelumnya selalu menolak,” kata Sarmuji saat dikonfirmasi, di Jakarta, pada Kamis (2/1/2025).
Lebih lanjut, dia turut mengungkit bawa MK dan pembuat Undang-Undang (UU) selalu memiliki cara pandang yang sama. “Dalam 27 kali putusannya cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama, yaitu maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif,” pungkasnya.