Hidup di Era Soeharto Lebih Enak, Yakin?

21 May 2023, 9:15

Jakarta, CNBC Indonesia – Tepat hari ini 25 tahun lalu Presiden Soeharto terjungkal dari kursi kepresidenan yang didudukinya selama 32 tahun. Sejak itu, Indonesia memasuki episode baru yang disebut reformasi. 
Meski begitu, episode baru ini tak semulus yang dibayangkan. Banyak orang kecewa karena situasi masa reformasi tak jauh beda dibanding orde baru, bahkan lebih parah. Korupsi masih merajalela, kesejahteraan rakyat stagnan, pertumbuhan ekonomi tidak stabil, dan sebagainya menjadi indikator kekecewaan itu. 
Alhasil, mulai muncul romantisme masa lalu terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Salah satunya tertuang dalam slogan “Piye Kabare? Penak Jamanku, Toh?” (“Gimana kabarnya? Masih enak zamanku, kan?”.) yang disertai foto Soeharto tersenyum khas dibalut jaket hitam. Slogan ini kerap terlihat dalam sejumlah poster, lukisan di belakang bagian truk, baliho, maupun unggahan di media sosial.
Mengutip CNN Indonesia, Angela Pontororing menyebut slogan ini memberi pesan kepada masyarakat di masa kini bahwa masa Orde Baru lebih enak dan sudah sepatutnya timbul penyesalan karena kenyataannya di masa kini kondisi lebih parah. Tak sedikit pula yang mengamini slogan tersebut dan ingin kembali merasakan Indonesia di bawah Orde Baru.
Lalu, memang benar hidup di era Soeharto lebih enak?

 
Sukses kendalikan ekonomi
Pemerintahan Soeharto dimulai saat dia dilantik sebagai presiden oleh MPRS pada 1968. Kala itu, dia diwarisi beban kekacauan ekonomi peninggalan pemerintahan Sukarno.
Boediono lewat Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah (2016) menceritakan kalau kekacauan itu berupa hiperinflasi 600%, penumpukan utang luar negeri yang berujung pada kegagalan pembayaran, dan defisit anggaran yang membuat berhentinya kegiatan ekspor-impor.
Sejarah memang mencatat bahwa seluruh permasalahan ini kemudian teratasi di tangan Soeharto yang percaya sektor ekonomi adalah segalanya.
Di awal-awal kekuasaannya, dia membentuk tim ekonomi yang berisi ekonom UI lulusan Amerika Serikat. Tim itu kelak dikenal sebagai Mafia Berkeley yang beranggotakan Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Subroto, dan Emil Salim. 

Sejarawan M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008) menyebut mereka berupaya memberi masukan dan membuat resep ekonomi bagi pemerintahan Soeharto. Hasilnya adalah kebijakan ekonomi pintu terbuka.
Presiden RI Ke-2 ini dengan cepat membuka pintu masuk bagi investor asing guna memantik pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 
Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2016) menuliskan, kebijakan moneter dan fiskal yang diusulkan para teknokrat itu telah berhasil menurunkan inflasi, memperbaiki hubungan dengan lembaga donor, dan penambahan kas anggaran. Cara ini pada akhirnya efektif merehabilitasi dan menstabilkan ekonomi negara yang penuh kekacauan.
Tak heran, setelahnya puja-puji pun mengalir dari dalam dan luar negeri kepada Soeharto. Ini semua dibarengi dengan semakin derasnya dana asing masuk ke Indonesia. Praktis, karena uangnya banyak maka negara dapat menjalankan pembangunan.
Seluruh pembangunan ekonomi di era Soeharto mencapai puncaknya pada 1996. Hal ini ditandai dengan terkendalinya inflasi, peningkatan jumlah ekspor, tingginya pertumbuhan ekonomi, penurunan angka kemiskinan dan derasnya arus investasi. Bahkan, pada 1984 Indonesia dianugerahi FAO penghargaan karena keberhasilannya mencapai swasembada pangan.
Tak heran berkat ini semua Indonesia dinilai dunia internasional sebagai negara yang sukses dan disebut sebagai “Macan Asia” oleh Bank Dunia.
Meski begitu, kepemimpinan Soeharto bukanlah nihil kontroversi.

Berbagai dosa Orde Baru
Salim Said dalam Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016) menyebut stabilitas yang terjadi sesungguhnya dibangun di atas otoritarianisme. Dengan tangan besi, Soeharto perlahan mengontrol negara, dan juga tentara, untuk menguasai Indonesia. 
Dia rela memberangus siapapun yang bertentangan dengan kehendaknya. Tak heran, kalau banyak lembaga Hak Asia Manusia (HAM) menyoroti pelanggaran HAM selama masa kepemimpinannya. Mulai dari penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Timor Timur, hingga penculikan aktivis.
Akibatnya, rakyat tidak bebas mengkritik pemerintahannya. Termasuk juga pers, yang terpaksa membebek kepada Soeharto. Sekalipun bisa ‘berontak’, resikonya pun besar: dibredel.
Ini terjadi pada Tempo, DeTik, dan Editor. Ketiga pers nasional itu dibubarkan pemerintah pada 1994 karena dianggap mengganggu stabilitas nasional usai pemberitaannya membongkar borok pemerintahan Soeharto. 
Dan ‘dosa’ lain yang tak kalah parahnya ialah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).  
Airlangga Pribadi Kusuma di kolom opini Tirto.id menulis sejak Soeharto merebut kekuasaan dari Sukarno, proses pembentukan institusi politik yang korup, otoritarian dan ekstraktif dalam pembangunan tatanan ekonomi kapitalis dimulai. 
Kata Airlangga, Soeharto kerap menyalahgunakan kekuasaan dengan menjadikan aliansi militer dan kekuatan bisnis sebagai ATM yang membuat masyarakat Indonesia menyaksikan kisah penjarahan sumber daya alam dan manusia.

“Dalam banyak kasus, perusahaan besar tidak tumbuh melalui investasi dan persaingan pasar, namun melalui “penyesuaian paksa.” Apabila ada bisnis lokal yang baru saja tumbuh, maka keluarga, teman atau lingkaran dekat Soeharto akan menawarkan diri sebagai mitra,” tulis Airlangga.
Dan kita tahu bahwa dengan menjadi mitra siapa yang bakal lebih menguntungkan.
Ross H. McLeod dalam “Soeharto’s Indonesia: A Better Class of Corruption” (A Journal of Policy Analysis and Reform, 2000), juga menyebut masalah penyalahgunaan kekuasaan ini.
Soeharto kerap membangun sistem terstruktur yang menguntungkan dirinya sendiri. Mulanya, Soeharto memperkerjakan para tentara, baik yang masih aktif atau tidak, dan menyediakan pekerjaan bagi kerabat dan pendukung dirinya di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dengan langkah ini, pengaruh Soeharto di sana semakin luas. Artinya, Soeharto dapat dengan mudah meminta mereka menjadi mesin pendulang uang. Berkat tindakan licik ini, Transparency International berani menobatkannya sebagai presiden terkorup di dunia. 
Presiden Abdurrahman Wahid dalam acara Kick Andy di Metro TV beberapa tahun lalu bahkan menyebut “Soeharto itu jasanya besar tetapi dosanya juga besar.” Dosa-dosa yang tercatat dalam sejarah inilah yang lantas menjadi bahan perenungan: apakah tetap ingin hidup di era Soeharto?

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Krisis Baht 1997 Jadi ‘Kiamat’ Ekonomi di Indonesia

(mfa/luc)

Partai

Institusi

K / L

BUMN

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Agama

Brand

Club Sports

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi