Gedung Surabaya Pagi Terancam Dieksekusi, Pimpinan Redaksi Gugat Bank Artha Graha Rp80 Miliar

Gedung Surabaya Pagi Terancam Dieksekusi, Pimpinan Redaksi Gugat Bank Artha Graha Rp80 Miliar

Surabaya (beritajatim.com) – Sengketa hukum melibatkan Pimpinan Redaksi Koran Surabaya Pagi, Raditya Mohammer Khadaffi, dengan Bank Artha Graha International Tbk kini memasuki babak baru. Raditya menggugat Bank Artha Graha sebesar Rp80 miliar atas dugaan perbuatan melawan hukum (PMH) terkait peralihan piutang atau cessie gedung kantor medianya yang dilakukan tanpa sepengetahuannya.

Selain Bank Artha Graha International Tbk dan Winarta, Raditya juga menggugat notaris Mochamad Ali Wahyudi, Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya 1, serta Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Jawa Timur. Sidang perdana gugatan tersebut dijadwalkan digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada Selasa (21/10/2025) mendatang.

Raditya mengaku peralihan utang tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan resmi kepada dirinya. “Saat Covid-19, periode itu banyak usaha pers terguncang, termasuk usaha klien saya. Sehingga, pada tahun ketiga kredit, kurang lancar membayar cicilan,” ujar Jamal Abdul Nasir, kuasa hukum Raditya, Kamis (16/10/2025).

Jamal menjelaskan, kliennya membeli gedung kantor Surabaya Pagi pada Juni 2017 seharga Rp7 miliar. Setahun kemudian, Raditya mengajukan kredit ke Bank Artha Graha sekitar Rp1,7 miliar untuk keperluan renovasi. Hingga akhir 2022, total angsuran yang telah dibayarkan mencapai Rp350 juta. Namun pada Januari 2023, ia mendapat informasi bahwa sisa kreditnya tinggal Rp1,4 miliar.

Situasi berubah pada Desember 2024 ketika seorang bernama Winarta mengaku telah membeli piutang Raditya dari Bank Artha Graha Cabang Surabaya Karet senilai Rp2,5 miliar. “Angka yang menurut saya fantastis, sebab BAG cabang Surabaya mencharge klien saya bunga 13,5 persen. Bahkan berapa rinciannya juga tak pernah ditunjukkan,” lanjut Jamal.

Peralihan piutang tersebut baru diketahui Raditya pada 21 Februari 2025 melalui Akta Perjanjian Jual Beli Piutang No.07. Surat itu menyebut bahwa utangnya telah beralih tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. “Apalagi bila tidak ada pemberitahuan sebelumnya kepada klien saya, sebelum surat pemberitahuan ini dikirim. Ini jelas ada permainan dan persekongkolan,” tegas Jamal.

Gugatan ini telah terdaftar di PN Surabaya dengan nomor perkara 1154/Pdt.G/2025/PN Sby tertanggal 13 Oktober 2025. Dalam gugatannya, pihak Raditya menuding ada dugaan permufakatan jahat antara pimpinan Bank Artha Graha Cabang Surabaya Karet dengan Winarta. “Ini katagori kejahatan kerah putih atau white collar crime yang sangat berbahaya di dunia perbankan,” ucapnya.

Menanggapi gugatan tersebut, Corporate Secretary PT Bank Artha Graha International Tbk, Rumi Khresna Wibowo, menyatakan bahwa setiap gugatan harus dibuktikan secara formil dan materil. “Kalau kami dari Bank secara prosedur sudah terlaksana seluruh proses tahapan penjualan atau penyelesaian itu sesuai dengan prosedur,” ujar Rumi.

Rumi menambahkan, pihak bank sudah menjalankan semua tahapan sesuai ketentuan perbankan. “Kami secara perbankan sudah melakukan sesuai dengan aturan yang ada,” katanya.

Saat ditanya apakah pihak Bank Artha Graha telah memberitahukan Raditya terkait proses cessie, Rumi menyebut hal itu bersifat teknis. “Karena itu masuk kepada proses ya. Tapi secara umum saja, kami sudah menyelesaikan seluruh kreditur bermasalah sesuai prosedur. Tentu tahapannya sudah ada. Kalau kreditur itu bermasalah kan harus disomasi, peringatan dan sebagainya. Kami sebetulnya ini terdampak saja dari jual-beli yang mereka lakukan. Saya kira itu saja,” ujarnya.

Sementara itu, pihak tergugat lainnya, Winarta, hingga kini belum memberikan tanggapan terkait perkara tersebut. [uci/ian]