FKUI Uji Klinis Final Vaksin Baru untuk TBC Tahun Ini

18 February 2024, 18:28

TEMPO.CO, Jakarta – Sebuah vaksin baru untuk pengobatan tuberkulosis (TB atau TBC) yang lebih efektif akan mulai dikembangkan di Universitas Indonesia (UI) pada tahun ini. Vaksin yang akan segera dimulai uji klinis finalnya itu diharap menggantikan vaksin saat ini yang telah berasal dari pengembangan 1970.”Sudah jadul. Kami di Fakultas Kedokteran UI akan segera uji klinis Vaksin M72, dari Bill and Melinda Gates Foundation, mudah-mudahan bisa menjadi perhatian masyarakat,” kata Erlina Burhan, dokter spesialis pulmonologi dan respirasi yang baru saja dikukuhkan sebagai guru besar di bidang yang sama oleh Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta, Sabtu 17 Februari 2024.Erlina menyebut vaksin jadul untuk TB itu adalah BCG, Bacille Calmette-Guerin. Pengobatan dengannya butuh enam bulan. Dengan vaksin M72 yang segera jalani uji klinis tahap tiga itu nanti diharap bisa mempersingkat masa pengobatan menjadi empat bulan.Selain Vaksin M72, Erlina mengungkap banyak penelitian baru dalam rangka menanggulangi TB di Indonesia. “Nantinya, Badan Pengawas Obat dan Makanan akan berperan menerapkan kebijakan membuat izin edar untuk obat dan vaksin tersebut apabila penelitian telah selesai dan dinilai aman untuk digunakan,” katanya menerangkan.Menurut Ketua Kelompok Kerja Infeksi di Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ini, Vaksin BCG tidak efektif karena hingga saat ini Indonesia masih menempati peringkat kedua dengan kasus TB tertinggi di dunia. Sedangkan uji klinis tahap dua dari Vaksin M72 telah memberi hasil kemampuan menghapus TB sebesar 50 persen. Berdasarkan data yang disampaikan Erlina, kasus TB di Indonesia saat ini mencapai 1.060.000 kasus per tahun. Jumlah kematiannya sebanyak 140.700, yang berarti setiap satu jam ada 16 orang yang meninggal karena TB. “Padahal, target eliminasi 2050 itu kita hanya sekitar 320 orang yang menderita TB di Indonesia,” katanya.Terkait target eliminasi TB dengan mengakhiri epidemi TB pada 2030, Erlina menegaskan perlu upaya lintas sektor yang berkelanjutan, dengan upaya yang terstruktur dan masif. Termasuk juga pendanaan. Harapannya, pemerintahan yang baru setelah Pemilu 2024 lebih banyak memberikan perhatian untuk kasus TB ini.”Target eliminasi TB itu 2030, tinggal enam tahun lagi dan kita berpacu dengan waktu,” katanya sambil menambahkan, “Yang saya lihat itu di Indonesia orang bekerja sendiri-sendiri, ada yang mengerjakan terapi, diagnosis, tetapi tidak ada orkestrasi.”Ia juga menekankan agar masyarakat tidak menganggap batuk-batuk sebagai gejala yang sepele, karena bisa jadi hal tersebut adalah gejala TB. Yang banyak terjadi, Erlina mengatakan, masyarakat baru kaget kalau sudah batuk darah. “Orang-orang tidak ngerti kalau batuk-batuk itu berbahaya, dianggap sepele padahal batuk itu tidak normal, sehingga harus ada upaya untuk memeriksakan diri,” katanya.WHO Umumkan Obat-obatan TBCIklan

Beberapa hari sebelum pernyataan dari Erlina, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan Rapid Communication atau informasi cepat tentang obat pencegah Tuberkulosis dalam upaya menekan laju kasus secara global. Ada lima poin dalam informasi cepat yang dikeluarkan pada 14 Februari lalu tersebut.  “Ini suatu aspek yang menarik, karena biasanya kita hanya bicara tentang mengobati yang sudah jatuh sakit, tetapi kembali ditegaskan bahwa ada obat untuk mencegah Tuberkulosis,” kata mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, melalui pesan singkat di Jakarta, Minggu.Poin pertama menyampaikan bahwa sekitar seperempat penduduk dunia sudah pernah terinfeksi kuman TB atau TBC, namun mereka belum tentu akan jatuh sakit, baik karena fenomena bakteri TBC yang bersifat dorman atau karena daya tahan tubuh yang lebih kuat.”Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sekitar 5-10 persen dari masyarakat yang terinfeksi TBC dapat jatuh sakit, dan utamanya penyakit akan muncul pada dua sampai lima tahun sesudah infeksi awal,” kata Tjandra mengungkapkan.Kedua, WHO secara jelas menyebutkan bukti ilmiah menunjukkan bahwa obat pencegah TB pada mereka yang risiko tinggi akan secara progresif menurunkan risiko itu. Hal Ketiga dalam publikasi itu disebutkan bahwa WHO merekomendasikan penggunaan obat levofloxacin selama 6 bulan, khusus untuk pengobatan pencegahan TB untuk mereka yang kontak dengan pasien TB dengan resistensi berganda atau resistensi rifampisin (MDR/RR-TB).”Ini sejalan dengan hasil penelitian terbaru dari Afrika Selatan dan Vietnam. Tentu akan bagus kalau di masa datang hasil penelitian Indonesia juga akan dapat jadi acuan dunia juga,” kata Tjandra yang juga Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi di FKUI.Keempat, ada perubahan dosis pada regimen pengobatan pencegahan TB pada obat levofloxacin dan rifapentine, dan juga penggunaan bersama dengan obat dolutegravir. Ke lima, ada integrasi rekomendasi WHO screening guidelines 2021 dengan WHO guidelines on new tests of TB infection.”Juga ada pembaruan algoritme bagaimana pengobatan pencegahan TBC ini dilakukan pada mereka yang kontak dengan pasien TBC, kelompok ODHA serta kelompok risiko tinggi lainnya.”Pilihan Editor: AMPV, Kendaraan Tempur Baru di Angkatan Darat Amerika Ini Diklaim Kompetitif terhadap Tank

Partai

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi