Ekonomi AS Makin ‘Gelap’, Saatnya Tinggalkan Dolar?

28 April 2023, 7:15

Jakarta, CNBC Indonesia – Dunia sudah sejak lama bergantung dengan the greenback alias dolar Amerika Serikat (AS). Di tengah negeri Paman Sam itu dihadapkan dengan fenomena gagal bayar utang atau default, ekonom menilai sudah saatnya negara di belahan dunia tidak tergantung dengan dolar AS.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh ekonom senior Raden Pardede kepada CNBC Indonesia, Kamis (27/4/2023).
“Dunia ini, central bank, bahkan ekonomi dunia kena trap. Tingkat ketergantungan dunia terhadap dolar AS terlampau besar. Itu sebabnya ingin mengurangi eksposur ke dolar, seperti yang kita lihat baru-baru ini pergerakannya,” jelas Raden.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Seperti diketahui, terdapat aliansi negara BRICS (Brazil, Russia, India, China, dan Afrika Selatan) untuk mengurangi ketergantungan dolar AS, dengan berencana untuk membuat mata uang baru.
Begitu juga, langkah Indonesia dengan penggunaan skema transaksi mata uang lokal atau local currency transaction (LCT) dengan beberapa negara mitra dagang dan investasi, seperti Jepang, China, dan negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.

Menurut Raden, langkah banyak negara untuk meninggalkan dolar AS sepenuhnya dalam bertransaksi, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar.
“Karena banyak ekonomi negara di dunia ini belum stabil seperti di AS,” jelas Raden.
Misalnya saja di China, likuiditas atau devisa negaranya belum bebas keluar masuk. Oleh karena itu, untuk negara bisa benar-benar tidak bergantung dengan dolar AS diperkirakan butuh waktu. Dari hal yang sudah terjadi, seperti pengalihan poundsterling ke dolar AS dibutuhkan waktu 30 tahun.
Kendati demikian, kata Raden sudah waktunya untuk negara di dunia ini tidak lagi bergantung terhadap dolar, mengingat saat ini volatilitas mata uang global ini sangat tinggi.
“Akan ada transisi yang panjang untuk merubah reserve currency itu dari dolar AS kemanapun mata uang negara lainnya,” ujar Raden.

“Dampak dari apa yang kita lihat akan ada transisi secara gradual, akan terjadi pengurangan dolar AS. Karena ujung-ujungnya kita kena trap, seperti dibajak oleh AS. Apa yang terjadi dalam perpolitikan di AS akan berpengaruh ke seluruh kebijakan ekonomi di dunia,” kata Raden lagi.
Seperti diketahui, dari tahun ke tahun, jumlah utang Negara Adikuasa memang terus meningkat, disebabkan defisit fiskal yang terus membengkak, dan semakin terakselerasi memasuki abad 21.
Jika melihat ke belakang, Amerika Serikat tidak pernah lagi mencatat surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sejak 1957. Amerika Serikat saat itu dipimpin Presiden Dwight Eisenhower, dan mencatat surplus sebesar US$ 2,2 miliar.
Sejak saat itu, Amerika Serikat terus mengalami defisit APBN. Artinya, untuk membiayai belanja perlu menambah utang melalui penerbitan Treasury misalnya. Pembayaran bunga utang yang ada sebelumnya juga dilakukan dengan menerbitkan surat uang lagi, begitu seterusnya, gali lubang tutup lubang hingga akhirnya menumpuk.
Utang Amerika Serikat menembus US$ 31 triliun atau sekitar Rp 460.000 triliun (kurs Rp 14.900/US$) untuk pertama kali dalam sejarah pada Oktober tahun lalu.
Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan per 31 Maret utang Amerika Serikat menembus US$ 31,45 triliun, menjadi yang terbesar di dunia.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya

Perang Makin Ngeri, AS Lampu Hijau Ukraina Bom Wilayah Rusia

(cap)

Partai

Institusi

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Event

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi