Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

CITA Kritisi Laporan Bank Dunia soal RI Kehilangan Potensi Pajak Rp944 Triliun per Tahun

CITA Kritisi Laporan Bank Dunia soal RI Kehilangan Potensi Pajak Rp944 Triliun per Tahun

Bisnis.com, JAKARTA — Center for Indonesia Taxation Analysis alias CITA mengkritisi laporan Bank Dunia yang menunjukkan pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak hingga Rp944 triliun per tahun.

Manajer Riset CITA Fajry Akbar meragukan angka-angka dalam laporan tersebut. Dia menggarisbawahi bahwa selalu ada biaya administrasi yang timbul pemungutan pajak.

Fajry mencontohkan jika jumlah wajib pajak yang masuk ke dalam sistem maka jumlah pegawai pajak yang mengawasi juga perlu ditambah. Tak hanya itu, selalu ada hambatan teknis apabila ada objek pajak baru yang ingin diincar atau malah dihilangkan.

“Jadi, kalau biaya yang ditimbulkan tersebut lebih besar dari potensi penerimaannya maka pemungutan pajaknya menjadi tidak feasible [mungkin dilaksanakan]. Bukannya untung malah buntung,” ujar Fajry kepada Bisnis, Kamis (27/3/2025).

Oleh sebab itu, sambungnya, di berbagai negara terdapat ambang batas pengenaan pajak. Di Indonesia sendiri, hanya usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun yang wajib memungut PPN dan menyetor PPh Badan.

Di bawah ambang batas tersebut, menurut Fajry, pemungutan pajaknya menjadi sulit untuk dijalankan karena termasuk sektor hard to tax (HTT) alias sulit untuk dipajaki.

Dia mencontohkan, jika akhirnya pemerintah menurunkan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) ke kisaran Rp2—2,5 miliar maka potensi penerimaan tambahan tak cukup besar untuk menambal target penerimaan pajak. Menurutnya, kisaran Rp2—2,5 miliar termasuk kisaran yang masih mungkin dilaksanakan.

“Perhitungan saya, besarannya [penerimaan tambahan] tidak akan mencapai Rp3 triliun. Jadi, angka ‘wah’ yang dipaparkan oleh Bank Dunia tersebut tidak tepat atau kurang tepat,” jelas Fajry.

Dia pun takut otoritas merespons dan salah mengartikan laporan Bank Dunia tersebut. Fajry khawatir Direktorat Jenderal Pajak malah akan bertindak lebih ‘agresif’ yang akan mengakibatkan dunia usaha dan pada pekerja sektor formal menjadi korban.

Secara historis, lanjutnya, upaya agresif otoritas pajak yang berdampak ke penurunan penerimaan pajak dan keluhan pelaku usaha sempat terjadi ketika peralihan pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Joko Widodo (Jokowi).

Selain itu, pemerintah juga berpotensi melakukan belanja yang jor-joran karena dianggapnya ada sekian ratus triliun penerimaan yang bisa digali atau dioptimalkan. Padahal, pada kenyataan sulit dilakukan.

“Alhasil, bendahara negara akan kesulitan dalam mengelola keuangan negara secara hati-hati, ada peningkatan risiko bagi defisit APBN. Kembali, hal ini pernah terjadi sebelumnya pada era peralihan dari Presiden SBY ke Jokowi. Sudah ada preseden sebelumnya,” katanya.

Apalagi, laporan Bank Dunia mendorong pemerintah untuk memajaki kelompok kecil dan mikro. Fajry mengingatkan bahwa pada saat yang sama Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan ingin memberikan keringanan pajak bagi kelompok konglomerat melalui family office.

“Jadi, yang kecil dihantam, yang super kaya diberikan keringanan. Kalau desainnya seperti ini, ini sangat tidak berkeadilan sekali,” tutupnya.

Merangkum Semua Peristiwa