Jember (beritajatim.com) – Narasi pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengemuka di sejumlah aksi unjuk rasa akhir-akhir ini sesungguhnya mematikan demokrasi. Lembaga parlemen tetap diperlukan dalam sistem demokratis.
“Narasi itu sebetulnya dalam sudut pandang konstitusi negara hukum maupun komunikasi politik adalah sebuah narasi yang sesat dan menyesatkan,” kata Muhammad Iqbal, doktor ilmu komunikasi politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (6/9/2025).
Presiden Soekarno pernah membubarkan konstituante saat berkuasa melalui dekrit 5 Juli 1959. “Dampaknya sistem demokrasi kita jatuh ke dalam jurang otokrasi, yakni sistem otoritarian yang dipimpin oleh pemimpin sentralistik dan diktator,” kata Iqbal.
Undang-Undang Dasar melindungi trias politika. “Dalam pasal 7C, bahkan presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Konstitusi hasil amandemen belajar dari pembubaran konstituante melalui mekanisme dekrit presiden,” kata Iqbal.
Iqbal menyadari, sistem demokrasi memiliki kelemahan dan kendala.”Namun dengan berbagai macam kelemahan dan kendalanya, demokrasi masih pilihan yang terbaik sebagai jalan tengah, di antara sistem tirani di satu pihak dan sistem anarki di lain pihak,” katanya.
Anarkisme, menurut Iqbal, tidak memiliki aturan sama sekali. “Sedangkan tirani adalah sebuah sistem yang bajunya bisa seolah-olah demokrasi, tetapi dijalankan dengan sistem otokrasi, dengan otoritarian dan sangat diktator,” katanya.
Iqbal melihat kelompok pemuja anarkisme dan pemuja tirani tengah berupaya mengambil kesempatan dan memiliki agenda terselubung untuk menunggangi aksi unjuk rasa mahasiswa.
Bubarnya parlemen hanya akan memunculkan pemerintahan yang otoriter. “Jadi jangan sampai masyarakat sipil, gerakan mahasiswa, dan kelompok-kelompok rakyat terprovokasi atau termakan oleh jebakan kelompok-kelompok yang sejatinya bukan pecinta demokrasi, tetapi pemuja anarki atau pemuja tirani,” kata Iqbal.
Iqbal percaya unjuk rasa demonstrasi dan kritik yang disampaikan masyarakat sipil masih murni. “Hanya kemampuan berkonsolidasi dan menjaga soliditas yang berbeda di setiap zaman,” katanya.
Kendati menolak narasi pembubaran DPR, Iqbal setuju untuk mengevaluasi total parlemen. “Sudah seharusnya partai politik sebagai institusi demokrasi yang menempatkan orang-orangnya di parlemen harus mereformasi diri,” katanya. Hal ini harus menjadi komitmen bersama.
Iqbal juga meminta evaluasi total oleh Presiden Prabowo terhadap semua struktur dan sistem institusional yang menciptakan jurang ketimpangan sosial, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan akibat tidak tegaknya supremasi hukum. “Kalau itu tidak dilakukan, saya kira Presiden bukan lagi menjadi harapan untuk memecahkan krisis, tapi justru menjadi bagian dari krisis kepercayaan,” katanya. [wir]
