Di negeri ini, kejujuran rajin diundang ke seminar, tapi sering lupa diajak ke ruang pelayanan. Kita mudah tersinggung pada istilah “maling” namun cukup toleran pada praktiknya. Bahkan, tak jarang yang jujur dianggap kurang luwes, sementara yang licik dipuji pandai menyesuaikan diri.
Yudo Sadewa melontarkan kritik keras terhadap praktik birokrasi di Indonesia. Ia menyebut sebagian besar pejabat terlibat dalam praktik korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kritik itu menarik lantaran diucapkan anak Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, saat Yudo sedang live streaming dengan YouTuber Bigmo, Selasa (23/12/2025).
“Hampir semua pejabat korupsi. Hampir 80 persen pejabat itu pasti korupsi. Maling semua itu,” ujarnya.
Yudo melanjutkan, anggaran rapat dan perjalanan dinas pejabat sering kali tidak masuk akal. Ia menyatakan geram melihat biaya rapat dan perjalanan dinas bisa menelan anggaran sampai miliaran rupiah.
Gayung bersambut. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti menyatakan sepakat dengan pandangan Yudo Sadewa. Lebih dari 80 persen pejabat di negeri ini masih memiliki mentalitas “nyolong” atau korup.
“Bener banget. Bahkan mungkin lebih,” sambut Susi sambil membubuhkan emotikon tertawa, Rabu (23/12/2025).
Susi juga menanggapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengingatkan anak buahnya untuk jangan coba-coba mark up anggaran. Susi pun menjelaskan lewat X bahwa para oknum pejabat biasanya mark up minimal hingga 50 persen dari anggaran yang ditentukan.
Momen Retoris
Kritik bersambut kritik ini layak dibaca bukan sekadar sebagai “pernyataan keras”, melainkan momen retoris. Alarm moral sengaja dibunyikan keras agar publik dan birokrasi berhenti pura-pura tuli. Saya tak bermaksud ikut menghakimi massal. Namun juga tidak elok bila meninabobokan diri dengan pembelaan normatif.
Pernyataan Yudo maupun dukungan Susi sebaiknya dibaca sebagai pernyataan provokasi etis, bukan sensus kriminal. Angka “80 persen” hampir pasti bukan data statistik, melainkan angka retoris. Ia berfungsi seperti palu: memukul kesadaran. Di sini, yang penting bukan presisi angka, melainkan pesan etis: korupsi sudah begitu sistemik sampai kejujuran terasa minoritas.
Setengah serius, separuh berkelakar orang boleh saja mengatakan: “Angka 80 persen barangkali tak lahir dari BPS, tapi dari rasa lelah yang menumpuk.”
Pertanyaan nakalnya: apakah Yudo dan Bu Susi sedang melakukan apa yang dikatakan orang Jawa sebagai gebyah uyah, apa asine menggeneralisasi? Kalau jawabnya “ya”, maka akan segera terlihat dua risikonya: kritik yang menggugah versus kritik yang melumpuhkan.
Menggeneralisasi pejabat sebagai “bermental maling” punya dua sisi. Positifnya: mengguncang zona nyaman, memecah budaya sungkan. Sisi negatifnya: melemahkan pejabat jujur, menormalisasi sinisme publik yang suka bilang: “ya sudah, memang begitu”.
Sistem Permisif
Titik tengahnya mungkin ada di sini: mengakui fungsi kejut pernyataan Yudo dan Susi, sambil mengingatkan bahaya label kolektif. Meski angka 80 persen bukan angka resmi namun dukungan Susi bisa dibaca sebagai legitimasi moral berbasis reputasi.
Publik paham reputasi Bu Susi Pudjiastuti selama menjadi menteri. Pernyataan dukungan Susi Pudjiastuti penting secara simbolik. Ia dikenal keras, relatif konsisten, dan “tidak berutang budi” pada banyak pihak. Dukungannya membuat pernyataan tidak terdengar sebagai curhat birokrat, tapi vonis moral dari luar sistem.
Di sini, kita pingin bertanya: “Jika suara keras selalu datang dari mereka yang tak lagi bergantung pada sistem, apa kabar keberanian di dalam sistem?”
Jadi, ini memang tentang sistem, bukan sekadar watak. Apa yang disebut sebut sebagai “mental maling” sebagai sifat personal, bisa kita geser ke insentif yang salah: pengawasan yang tumpul, dan budaya yang memberi ruang aman bagi penyimpangan kecil.
Kata orang bijak: “Di sistem yang permisif, orang baik belajar diam; orang licik belajar naik.”
Pembelaan Diri
Pada akhirnya, pernyataan tentang mental maling itu tidak perlu dijawab dengan kemarahan, apalagi dengan lomba pembelaan diri. Jika kita tersinggung, barangkali bukan karena angkanya keliru, melainkan karena cerminnya terlalu jujur.
Negeri ini tidak kekurangan orang pandai merumuskan bantahan, tapi sering kehabisan keberanian untuk berbenah. Dan selama kejujuran masih dianggap sikap naif, sementara kelicikan diperlakukan sebagai kecakapan birokrasi, maka berapa pun persentasenya, masalahnya akan tetap terasa seratus persen.
Maka, alih-alih sibuk mempersoalkan apakah angka 80 persen itu kebesaran atau kekecilan, mungkin lebih berguna jika kita bertanya: mengapa pernyataan itu terasa akrab di telinga. Sebab di negeri ini, kejujuran sering dipuji dalam seminar, tapi jarang dipraktikkan di meja pelayanan.
Kita gemar marah pada kata “maling” namun relatif tenang hidup berdampingan dengan kelakuannya. Maka, daripada sibuk menghitung apakah angka 80 persen itu terlalu besar atau sekadar kebablasan, rasanya lebih sehat jika kita bertanya mengapa pernyataan itu terdengar begitu familiar.
Di negeri ini, kejujuran rajin diundang ke seminar, tapi sering lupa diajak ke ruang pelayanan. Kita mudah tersinggung pada istilah “maling”, namun cukup toleran pada praktiknya. Bahkan, tak jarang yang jujur dianggap kurang luwes, sementara yang licik dipuji pandai menyesuaikan diri.
Jika sudah begitu, barangkali persoalannya memang bukan pada persentase, melainkan pada kebiasaan yang sudah telanjur dianggap biasa.
Zainal Arifin Emka,
Wartawan Tua, Pengajar Stikosa-AWS.
