Jakarta –
Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menunda penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tahun 2026 dinilai sangat berisiko. Terutama terkait dampaknya ke penyakit tidak menular, obesitas, diabetes tipe 2, hingga risiko komplikasi lain akibat tingginya konsumsi minuman berpemanis.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives menyoroti penundaan ini bahkan terjadi sejak 2016, saat pertama kali kajian lintas kementerian dan lembaga terkait pengenaan cukai MBDK mencuat.
“Keputusan pemerintah untuk kembali menunda cukai MBDK dengan berpatokan pada target pertumbuhan ekonomi 6 persen sangat disayangkan. Padahal,
minuman berpemanis bukan kebutuhan pokok masyarakat dan justru menjadi faktor risiko meningkatnya beban kesehatan jangka panjang,” kata Nida Adzilah
Auliani, Project Lead for Food Policy CISDI dalam keterangannya, Rabu (17/12/2025).
Konsumsi Minuman Manis di RI Mengkhawatirkan
Mengutip data Susenas 2024, CISDI menyoroti tren konsumsi minuman manis di Indonesia relatif mengkhawatirkan. Sebanyak 68,1 persen atau 93,5 juta rumah tangga di Indonesia tercatat mengkonsumsi MBDK.
Fakta ini dibarengi dengan hampir setengah populasi berusia tiga tahun ke atas mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali sehari menurut laporan Survei Kesehatan Indonesia, 2023.
Dengan data tersebut, Nida menilai alasan pemerintah untuk kembali menunda cukai MBDK jelas tak beralasan.
Studi CISDI pada 2024 disebutnya menekankan Indonesia justru berpotensi menghemat Rp 24,9 triliun biaya pengobatan diabetes tipe 2 dan Rp 15,7 triliun kerugian akibat hilangnya produktivitas ekonomi dengan memberlakukan cukai minuman manis.
“Jika ditotal berdasarkan perhitungan Disability-Adjusted Life Years (DALYs) di atas, penundaan cukai minuman manis berpotensi menimbulkan kerugian negara
hingga Rp 40,6 triliun akibat diabetes tipe 2. Jika dihitung bersama penyakit tidak menular lainnya, dampak kesehatan dan ekonomi dipastikan jauh lebih besar,” ujar
Nida.
(naf/suc)
