Triliun di Telinga Rakyat

Triliun di Telinga Rakyat

Judul naskah ini tidak salah. Ya, memang di telinga rakyat. Hanya di telinga. Bukan di tangan rakyat.
Belakangan para elit sedang berbicara tentang uang triliunan. Diucapkan dengan nada enteng. Dalam berita, di sidang kabinet, pidato menteri, atau di media sosial. Rakyat berdompet tipis pun ikut-ikutan bicara triliunan. Cuma bicara.

Kabar baiknya, kadang angka triliunan rupiah itu dalam konteks berita baik: proyek pembangunan jembatan, makan gratis bergizi (meski kadang beracun), dana suntikan untuk bank pemerintah, atau bantuan sosial. Dan, yang tak pernah ketinggalan, dana ratusan triliun yang diembat koruptor cerdik.

Berjuta rakyat kecil dipaksa mendengarkan angka triliunan itu. Dari warung kopi atau di sela kerja harian. Mereka hanya bisa mengelus dada. Bagi mereka, angka jutaan saja sudah terasa jauh, apalagi triliunan.
Perbedaan yang sangat mencolok. Dirasakan sebagian besar rakyat yang tengah bergulat mendapatkan seribu atau seratus ribu. Maka perbincangan mengenai dana triliunan rupiah menggigit rasa ketidakadilan, frustrasi, dan bahkan kepedihan.

Mengapa terasa menyakitkan? Rakyat mengalami kesulitan finansial yang nyata dan mendesak. Bagi rakyat setiap rupiah sangat berarti. Wajar jika nominal triliunan rupiah terasa sangat abstrak dan jauh dari realitas mereka. Serasa menciptakan jurang lebar antara elit pengambil kebijakan dan rakyat biasa.

Pernyataan tentang dana triliunan yang “menghambur” atau dialokasikan untuk hal-hal yang tidak terasa mendesak atau langsung membantu rakyat, telah menimbulkan persepsi bahwa para pembuat keputusan tidak sensitif atau tidak memahami kesulitan hidup rakyat.

Ketika rakyat bergulat dengan harga kebutuhan pokok, munculnya berita tentang dana triliunan untuk proyek, membuat publik bertanya-tanya: “Apakah prioritas pemerintah sudah tepat?” Apakah dana digunakan mengatasi masalah dasar yang dialami rakyat?

Rasa Sakit
Tentu saja rakyat paham bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang beredar dalam skala ratusan hingga ribuan triliun rupiah. Ketika berbicara tentang pembangunan infrastruktur, dana bantuan sosial nasional, atau pembayaran utang negara, nominalnya selalu triliunan.

Pertanyaan rakyat sederhana saja: Apakah dana triliunan yang dialokasikan untuk pos-pos besar berdampak jangka panjang pada perekonomian dan kesejahteraan rakyat? Sebut saja pembangunan jalan, bandara, atau pelabuhan, subsidi energi dan pangan, anggaran kesehatan dan pendidikan.

Jadi, masalah utamanya bukan semata pada angka triliunan, melainkan pada akuntabilitas dan dampak nyata dana. Publik berharap transparansi dan kejelasan tentang ke mana dana triliunan itu mengalir dan untuk kepentingan siapa.

Nominal triliunan harus diterjemahkan menjadi dampak positif yang dapat dirasakan langsung. Seperti penciptaan lapangan kerja, stabilitas harga pangan, perbaikan layanan publik, atau peningkatan daya beli masyarakat.

Jika dana triliunan terkesan “menghambur” tanpa hasil yang jelas atau bahkan ada indikasi korupsi, ini akan semakin memperparah rasa sakit dan menyulut ketidakpercayaan publik.

Harapan rakyat itu sekaligus mengirimkan pesan tentang rasa sakit akibat kontras antara kesulitan rakyat dan ucapan dana triliunan. Sangat valid dan merupakan cerminan dari tuntutan publik akan keadilan sosial, sensitivitas kepemimpinan, serta pengelolaan keuangan negara yang transparan dan berorientasi pada kepentingan rakyat kecil.

Dana Mengendap
Ada dua topik utama mengenai dana triliunan rupiah yang sedang menjadi sorotan publik.
Ada dana Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengendap “diternakkan” di bank sebesar Rp234 triliun. Menteri Keuangan Purbaya bilang, dana Pemda yang bersumber dari APBN itu seharusnya digunakan untuk pembangunan. Bukan diendapkan di rekening perbankan.

Melihat ini saja kita bisa memahami rasa sakit rakyat. Uang publik itu seharusnya berputar untuk menggerakkan ekonomi lokal, menciptakan pekerjaan, dan membiayai layanan dasar bagi rakyat.

Di sini terbaca kontrasnya. Rakyat kesulitan mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari, sementara uang negara mengendap dalam jumlah sangat besar karena lambatnya serapan anggaran atau eksekusi program di daerah.

Masih soal angka triliunan. Pemerintah menyalurkan dana Rp200 triliun ke bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Tujuannya jelas: dana disalurkan sebagai kredit untuk menggerakkan sektor riil dan meningkatkan perekonomian.

Pemerintah maunya memicu pertumbuhan ekonomi. Namun publik khawatir dana tidak benar-benar mengalir ke Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Atau sektor yang bersentuhan langsung dengan rakyat, Jangan justru menguntungkan konglomerat atau proyek besar saja. Seolah menyuarakan kecemasan rakyat, Menkeu Purbaya mewanti-wanti bank agar dana tersebut tidak diberikan sebagai kredit kepada konglomerat.

Kedua kasus itu menunjukkan bahwa perbincangan tentang “dana triliunan” menjadi menyakitkan bukan hanya karena kontrasnya dengan isi dompet rakyat. Tapi karena dana Rp234 T yang mengendap di saat rakyat membutuhkan pergerakan ekonomi.

Pada bagian ini diperlukan sensitivitas dan akuntabilitas para pemangku kebijakan untuk memastikan kekayaan negara benar-benar digunakan untuk memecahkan masalah dasar rakyat. Rakyat kecil sudah cukup diiming-iming angka trilunan.

Zainal Arifin Emka,
Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik