Bisnis.com, JAKARTA — DPR menginisiasi perubahan Undang-undang Pengampunan Pajak atau RUU Tax Amnesty. Usulan perubahan beleid itu kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional alias Prolegnas prioritas tahun 2025.
Pembahasan RUU Tax Amnesty dilakukan Komisi XI DPR dan dalam proses penyusunan. “Keterangan: proses penyusunan,” demikian tertulis dalam dokumen Prolegnas yang dikutip Bisnis, Jumat (19/5/2025).
Dalam catatan Bisnis, RUU Tax Amnesty itu adalah inisiatif DPR. Ketua Komisi XI DPR Misbakhun adalah satu pihak yang pernah mengemukakan pentingnya program tersebut.
Dia merasa program pengampunan pajak alias tax amnesty perlu berlaku kembali untuk mengawal berbagai visi misi pemerintah baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Misbakhun menjelaskan bahwa Komisi XI secara resmi telah mengusulkan agar RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 DPR.
Dia menjelaskan bahwa pembahasan RUU Tax Amnesty itu masih akan sangat panjang. Setelah disahkan masuk Prolegnas Prioritas 2025, sambungnya, pimpinan DPR masih akan menentukan RUU Tax Amnesty nantinya akan menjadi inisiatif pemerintah atau parlemen.
Jika menjadi inisiatif DPR maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Komisi XI. Sebaliknya, jika menjadi inisiatif pemerintah maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Kementerian Keuangan.
Oleh sebab itu, Misbakhun mengaku belum bisa menjelaskan substansi yang akan dibahas dalam RUU Tax Amnesty tersebut. Kendati demikian, tidak menampik bahwa akan ada Tax Amnesty Jilid III apabila beleid tersebut selesai dibahas.
“Sektor apa saja yang akan dicakup di dalam tax amnesty itu, tax amnesty itu meliputi perlindungan apa saja, sektor apa saja, ya nanti kita bicarakan sama pemerintah,” ujarnya di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).
TA Jilid 1 Tidak Efektif?
Pemerintah pernah berulangkali menerapkan pengampunan pajak. Namun hasilnya tidak terlalu signifikan. Pelaksanaan TA Jilid 1, misalnya, selama sembilan bulan pelaksanaan kebijakan, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun yang Rp1.036,7 triliun di antaranya berasal luar negeri. Selain itu, otoritas pajak juga mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun.
Kendati demikian, pengampunan pajak tak hanya menyisakan cerita manis. Bisnis mencatat, dibalik limpahan data ribuan triliun tersebut ada beberapa hal yang patut menjadi catatan.
Dari sisi tingkat partisipasi misalnya, jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan pajak kurang dai 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta.
Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.
Ilustrasi Kantor Ditjen Pajak./Ist
Tak heran sebenarnya jika hampir 6 tahun pascapelaksanaan tax amnesty, tingkat kepatuhan WP juga masih jauh panggang dari api. Tak banyak berubah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi data kepatuhan pajak menunjukkan rasio kepatuhan WP masih pada angka 83%. Angka itu masih di bawah standar yang ditetapkan OECD yakni pada angka 85%.
Selain itu, tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi non karyawan juga tidak melonjak signifikan. Kontribusi mereka ke penerimaan negara juga tidak lebih dari 1% dari total penerimaan pajak negara.
Satu hal lagi, menurut data OECD, rasio pajak Indonesia juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia Pasifik. Apalagi rata-rata OECD yang bisa di atas 30% dari produk domestik bruto. Rasio pajak RI paling hanya di kisaran 10% sampai 11-an persen.
Kepatuhan Formal Belum Beranjak
Di sisi lain, kendati telah melakukan berbagai macam relaksasi, Tten rasio kepatuhan formal wajib pajak yang hanya di angka 71% menunjukkan bahwa tudingan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak masih berburu di kebun binatang bukan isapan jempol semata.
Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Pajak melaporkan terjadi penurunan kepatuhan formal penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2024 wajib pajak orang pribadi (WP OP).
Setiap tahunnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat pada 31 Maret untuk WP OP dan 30 April untuk WP Badan. Pada tahun lalu, realisasinya penyampaian SPT Tahunan 2023 mencapai 1.048.242 atau 1,04 juta untuk WP Badan (korporasi) dan 13.159.400 atau 13,15 juta untuk WP OP.
Sementara pada tahun ini, realisasi penyampaian SPT Tahunan 2024 sebesar 1.053.360 atau 1,05 juta untuk WP Badan dan 12.999.861 atau 12,99 juta untuk WP OP.
Artinya, ada penurunan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini sebesar 159.539 (-1,21%) dibandingkan tahun lalu. Padahal, penyampaian SPT Tahunan WP Badan pada tahun ini meningkat sebanyak 5.118 (+0,49%) dibandingkan tahun lalu.
Pemerintah Belum Perlu
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menganggap bahwa penyelenggaraan program pengampunan pajak (tax amnesty) tidak perlu dilakukan secara rutin. Pemerintah akan fokus untuk mengoptimalkan regulasi-regulasi yang ada untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Menurut Purbaya, penyelenggaraan tax amnesty secara berulang dapat berdampak negatif pada upaya pemerintah meningkatkan penerimaan pajak. Kebijakan pengampunan pajak yang dilakukan berulang kali juga berpotensi merusak kredibilitas pemerintah dalam penegakan pajak.
“Pandangan saya, kalau (tax amnesty) berkali-kali, gimana kredibilitas amnesty? Itu memberikan sinyal ke pembayar pajak bahwa boleh melanggar. Nanti ke depan-depannya ada amnesti lagi,” katanya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).
Dia menambahkan, sepanjang tahun ini pemerintah juga telah menggelar tax amnesty sebanyak dua kali.
Purbaya menuturkan, pengadaan tax amnesty yang dilakukan berulang kali dapat membuat wajib pajak dapat berpikir praktik penghindaran pajak akan terus ditoleransi.
“Message yang kita ambil dari adalah begitu. Tahun ini kita sudah mengeluarkan ini sudah dua kali, nanti tiga (kali), empat, lima, dan seterusnya. Pesannya nanti kibulin aja pajaknya, nanti kita tunggu di tax amnesty, pemutihannya disitu. Itu yang enggak boleh,” jelasnya.
Dia menambahkan, jika tax amnesty kembali dijalankan dalam jangka pendek, wajib pajak justru akan memanfaatkan celah tersebut.
“Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, yaudah semuanya menyelundupkan uang. Tiga tahun lagi dapat tax amnesty. Jadi, pesannya kurang bagus untuk saya sebagai ekonom dan Menteri,” ujar Purbaya.
