Jember Alami Krisis Seni Budaya Tradisional, Peleburan Dispora-Disparda Ditolak

Jember Alami Krisis Seni Budaya Tradisional, Peleburan Dispora-Disparda Ditolak

Jember (beritajatim.com) – Kabupaten Jember, Jawa Timur, saat ini sedang mengalami krisis seni budaya tradisional. Ini membuat penolakan dari kalangan pelaku seni tradisi dan budayawan lokal terhadap penggabungan Dinas Kepemudaan dan Olahraga dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan semakin menguat.

Pemerintah Kabupaten Jember memangkas jumlah dinas dari 22 menjadi 17 organisasi perangkat daerah (OPD) melalui proses penggabungan untuk menghemat anggaran.

Dinas Kepemudaan dan Olahraga dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan akan digabung menjadi satu dinas, yakni Dinas Kepemudaan dan Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata.

Sebenarnya urusan kebudayaan hendak dimasukkan ke Dinas Pendidikan. Namun hal itu diurungkan, karena visi dan misi Bupati Fawait mensinkronkan urusan kebudayaan dengan pariwisata.

“Kami menolak rencana penggabungan Dinas Pemuda dan Olahraga Dispora dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan karena bertentangan dengan semangat pemajuan kebudayaan.,” kata Novi Agus, juru bicara pelaku seni budaya dan pengurus Balai RW Institute, sebuah kelompok kolektif pendidikan dan kebudayaan Jember.

Para pelaku seni budaya justru menuntut Pemerintah Kabupaten Jember membentuk Dinas Kebudayaan tersendiri, sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 5 tahun 2017.

Pemkab Jember juga diminta menyediakan alokasi anggaran yang proporsional untuk program perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan.

“Fasilitasi kebutuhan komunitas seni, budaya, dan sastra serta literasi secara berkelanjutan, termasuk ruang ekspresi, pendidikan, pelatihan, pendampingan, dokumentasi karya, distribusi, serta penguatan kapasitas kelembagaan komunitas,” kata Novi, Minggu (11/5/2025).

Jember memiliki alun-alun yang sangat representatif sebagai ruang publik. Namun, menurut Istono, salah satu pelaku seni budaya, alun-alun Jember tidak pernah digunakan sebagai ruang publik untuk pemajuan kebudayaan.

Padahal, Novi Agus mengingatkan, pemerintah daerah wajib membangun gedung kesenian sebagaimana Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.

Pokok PIkiran Kebudayaan Daerah
Novi menuntut kebijakan kebudayaan daerah disusun secara partisipatif dengan melibatkan komunitas-komunitas seni, budaya, dan sastra, serta literasi di Jember.

Hal ini bisa dimulai dari penyusunan ulang Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) secara inklusif dan menyeluruh. “Kami mendesak percepatan penyelesaian penyusulan PPKD menuju Peraturan Daerah Kebudayaan Jember yang hebat,” kata Novi.

Pelaku seni budaya juga meminta Pemkab Jember menjamin adanya sumber daya manusia bidang kebudayaan yang profesional di lingkup birokrasi daerah, termasuk dengan membuka ruang rekrutmen dan pelatihan.

“Bentuk forum dialog reguler antara pemangku kebijakan dan pelaku budaya untuk monitoring dan evaluasi kebijakan kebudayaan,” kata Novi.

Seluruh tuntutan itu, menurut Novi, akan terus disuarakan sebagai bagian dari agenda kebudayaan Jember. “Minimal ada pemisahan Dinas Kebudayaan dengan Pariwisata dan Olahraga,” katanya.

Para pelaku seni budaya dan literasi sempat bertemu dengan tiga anggota Komisi B DPRD Jember, yakni sang ketua Candra Ary Fianto dari PDI Perjuangan, Nilam Noor Fadilah dari Golkar, dan Hurul Fatoni dari Nasdem, 7 Mei 2025 lalu.

Dalam kesempatan itu, Ketua Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Jember Catur Budi Prasetyo menegaskan, peleburan dua dinas itu mengerdilkan urusan kebudayaan. “Mulai dari zaman Bupati Samsul Hadi Siswoto sampai sekarang, kebudayaan belum ada yang serius untuk mengurusi. Kok tiba-tiba ada penggabungan,” katanya.

Catur mencontohkan kegiatan festival musik patrol yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember setiap Ramadan. “Tidak ada support dari pemerintah daerah. Untung masih ada Universitas Jember yang bisa melestarikan,” katanya.

Djoko Supriatno, pegiat Rumah Budaya Pendalungan, mengatakan, esensi kebudayaan bukan hanya melekat pada kedinasan. “Kalau kita mau bicara, hampir semua itu ada nilai kultur, ada nilai budaya di dalamnya. Budaya apapun,” katanya.

Krisis Regenerasi dan Keberpihakan Politik
Saat ini, dunia seni budaya tradisional Jember menghadapi krisis regenerasi. “Bapaknya dalang, belum tentu anaknya mau jadi dalang. Padahal turunan dari orang tuanya meninggalkan gamelan,” kata Djoko.

Djoko mencontohkan seorang seniman di Kelurahan Mangli, Kecamatan Kaliwates. Setelah meninggal dunia, perangkat berkeseniannya dijual oleh sang anak.

Para seniman tradisi di Jember kekurangan tempat sebagai ruang ekspresi. “Ada beberapa tempat yang dibangun sebenarnya ini mewakili, tapi secara regulasi juga tidak bisa mewakili, bahwa mereka bisa memakai tempat-tempat ini,” kata Djoko.

Hal ini dibenarkan ulung Lukman, seorang pelaku seni budaya dan guru. “Anak-anak tukang ludruk malu mempelajari ludruk. Itu kan miris. Padahal mereka itu makan paginya, bisa jadi dari ibu bapaknya yang ngeludruk tadi malam. Tapi ketika mereka untuk diminta, “Ayo latihan ludruk,” malu,” katanya.

Dari sini Sulung melihat ada sesuatu yang salah dalam mentransformasi gagasan dan paradigma kebudayaan dari generasi ke genrasi. “Sehingga mereka malu berkebudayaan, bertradisi seperti yang dilakukan nenek-nenek kita,” katanya.

Semua penanganan persoalan dan agenda kebudayaan dan kesenian tradisional di Jember, menurut Sulung, membutuhkan keberpihakan politik.

“Secara politis seharusnya ada yang berpihak di sini. Siapa yang membela ini? Secara politik kami tidak kuat, kecuali kalau anggota Dewan yang memang sudah fungsinya sebagai legislator. Anggota Dewan yang punya power lebih kuat, bisa menyuarakan lebih lantang,” katanya. [wir]